Program Keluarga Berencana (KB) merupakan kebijakan jangka panjang yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengendalikan jumlah penduduk dan membentuk keluarga sejahtera. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas hidup ibu dan anak melalui kontrol kelahiran, perencanaan jarak kelahiran, serta akses alat kontrasepsi seperti pil, kondom, dan IUD. Namun demikian, walaupun manfaatnya diakui luas, program KB tetap menimbulkan perdebatan tertulis berdasarkan dimensi kesehatan, sosial, hingga agama. Esai ini mengeksplorasi kedua sisi dari argumen tersebut.Â
Pertama, penurunan angka kematian ibu dan bayi merupakan dampak signifikan dari KB. Dengan adanya pengaturan jarak kehamilan, tubuh ibu memiliki waktu pemulihan yang cukup antara satu kehamilan dengan selanjutnya sehingga risiko komplikasi dan kematian menurun. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi KB mampu mencegah sekitar 28--30% kematian ibu akibat kehamilan berisiko, termasuk yang terjadi pada usia muda.Â
Kedua, perbaikan kualitas asuhan anak juga menjadi manfaat penting. Keluarga yang mengikuti KB cenderung lebih mampu memfokuskan sumber daya (termasuk gizi, pendidikan, dan perhatian) pada anak sehingga kesehatan dan perkembangan mereka lebih terjamin.Â
Ketiga, pemberdayaan perempuan menjadi indikator sosial ekonomi. Akses terhadap alat kontrasepsi memberi kontrol lebih atas tubuh dan reproduksi mereka sehingga perempuan dapat merencanakan kehamilan selaras dengan pendidikan atau karier mereka, berimbas positif pula pada pembangunan sumber daya manusia.
Namun, efek samping medis seperti perubahan hormon, mual, pusing, fluktuasi berat badan, dan menstruasi tidak teratur sering dicatat oleh pengguna kontrasepsi hormonal. Walau bersifat sementara, efek ini cukup untuk menimbulkan kecemasan dan keraguan terhadap penggunaan KB.Â
Selanjutnya, dari aspek demografi dan budaya, skeptisisme muncul terkait risiko penurunan angka kelahiran yang drastis yang bisa memicu fenomena penuaan populasi (aging population) jika tidak disikapi secara holistik. Hal ini mengingat pengalaman di negara maju yang menghadapi tantangan demografi serupa akibat kebijakan KB yang terlalu digalakkan.Â
Tidak hanya itu, dari perspektif etika dan agama, program ini tidak selalu diterima secara universal. Dalam pandangan sebagian masyarakat muslim, anak dianggap sebagai rezeki ilahi; pengaturan kelahiran melalui KB dipandang seolah menolak anugerah tersebut. Ada pula anggapan bahwa program ini bertentangan dengan nilai-nilai keluarga atau budaya tradisional yang menganjurkan "banyak anak banyak rezeki".Â
Terakhir, mengenai artikel kontroversial tentang penyediaan KB untuk remaja: meskipun Permenkes dan PP No. 28 Tahun 2024 menyebutkan layanan kontrasepsi sebagai bagian dari pelayanan reproduksi bagi remaja, ketentuan tersebut tegas menyasar remaja yang sudah menikah saja (bukan semua remaja secara umum) untuk menunda kehamilan pada usia yang belum ideal. Kritik muncul karena masyarakat merasa kebijakan ini dapat disalahpahami sebagai izin terhadap perilaku seksual di luar nikah; tetapi klarifikasi dari Kemenkes menekankan bahwa tujuan utamanya adalah aspek kesehatan reproduksi dalam konteks pernikahan dini.Â
Secara keseluruhan, program KB memiliki manfaat yang nyata dalam  menurunkan kematian ibu dan bayi, meningkatkan kualitas asuhan anak, serta  memberdayakan perempuan untuk berpartisipasi lebih luas dalam pendidikan dan  pekerjaan. Namun, penerapannya harus diiringi dengan perhatian terhadap efek  samping medis, keseimbangan demografi jangka panjang, serta sensitivitas sosial dan budaya termasuk dalam konteks agama. Kebijakan, terutama yang terkait  dengan kelompok rentan seperti remaja, harus dikomunikasikan dengan jelas dan  diberikan dalam kerangka hukum serta pendidikan yang tepat. Dengan demikian,  KB tetap relevan sebagai upaya kesehatan publik jika dilaksanakan secara inklusif,  adil, dan berbasis edukasi komprehensif.Â
KATA KUNCI: Anak, Ibu, KB
DAFTAR PUSTAKAÂ