Pagi ini agaknya agak berat satu topik diskusi dengan seorang rekan, upaya sikapi beberapa masalah di jalur komunikasi. Entah mengapa niatan baik seringkali gagal dipahami karena factor komunikasi, sementara di sisi lain ada organisasi besar gagal mencapai tujuan besarnya gegara ketidakmampuannya menjabarkan visinya sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ditemukan jelas definisi komunikasi; yakni pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Tiga kata kunci antara lain isi pesan, person yang terlibat, dan tujuan untuk diterimanya isi (konten). Ketiga unsur tersebut tentu saling berkait. Sebagai analogi sebagai berikut:
Analogi satu, seorang guru bernama Pak Reka terlibat dalam kasus perkataan kasar terhadap peserta didik. Ia kala itu dilaporkan salah satu murid lelaki dengan ujaran "Murid bodoh".. kata itu agaknya sangat menyinggungnya sebagai anak laki-laki pujaan keluarga pejabat desa. Setelah interogasi dilakukan oleh Kepala sekolah ternyata si pak guru bercerita kejadian saat itu ia memberi motivasi kepada sang anak untuk menjadi pribadi yang pekerja keras agar tidak menjadi bodoh di masa depan, ia sampaikan juga "lho di awal saya sudah menyampaikan bahwa ini sebagai contoh pak, buk tapi dia tetap salah paham, saya dikira mengatainya. Sungguh saya tak ada niatan buruk. Namun, tak banyak yang percaya padanya.
Kedua, seorang anak laki-laki kelas 4 SD mendapat hukuman dari guru walinya membeli sabun cuci merk tertentu. Kala itu dalam situasi pembelajaran IPA, si anak telah selesai mengerjakan tugasnya mencoba menjahili teman sebelahnya. Ia ambil pulpen lalu spontan ia gambar dua huruf V dan R di baju temannya. Lalu datanglah teman lain nimbrung menggambar alat kelamin laki-laki. Si guru dengan tensi tinggi darahnya memarahi si anak. Lalu mengirim sebuah pesan kepada ibu si anak, tentang betapa terkejutnya ia mendapati peristiwa tersebut. Dengan kata dan Bahasa yang ia rangkai membuat si orangtua Penerima pesan tadi shock dua kali lipat. Dalam bayangnya tak mungkin anaknya menggambar hal jorok seperti itu. Si anak, sampai rumah ditanya ini itu, sementara ia tetap berkilah bukan dia yang punya ide alat kelamin, ia hanya menjadi pioneer ide jahilnya. Namun, apakah orangtua percaya? Faktanya dia berkata yang sebenarnya, namun pesan WA sang guru itu begitu dia percayai. Malang kali nasib si anak.
Terakhir, seorang guru dalam pembelajaran yang hebat dalam angan-angan. Malam hari ia siapkan banyak hal. Perencanaan rampung dibuat, media ajar telah penuh dalam diska, sesekali ia coba satu persatu, berbicara sendiri di depan kaca. Esok hari di jam yang telah dinanti, entah kemudian ia hilang fokus gegara melihat Kepala Sekolah duduk di pojok ruang mengamati pergerakannya sana dan sini. Â Terbatas-bata, lisan yang tak begitu jelas, alur diskusi yang entah kemana. Murid mulai bingung, sesekali gaduh tak terkendali. Keringat dingin berhambur atas terjun ke bawah. Ia bisa jelaskan apa yang terjadi, namun bukan sekarang, ia masih menyesali apa yang terjadi.
Dalam tiga contoh kejadian di atas dapat dianalisis secara sederhana. Ketiganya memiliki pesan awal yang hendak disampaikan. Unsur kedua yakni jumlah person yang terlibat juga ada, namun keersampaian isi pesan menjadi kata kunci.
Missing message
Sering kali sampai atau tidaknya sebuah pesan dengan berbagai factor yang melatarbelakangi menjadi permasalahan utama. Kenneth Burke, dalam Philosophy of Literary Form (1941) menyampaikan bahwa "The meaning of a message is the change which it produces in the image." Maka begitu pentingnya memahami dan cara untuk memahamkan pesan menjadi begitu penting. Apalagi sebuah institusi dalam pengambilan kebijakan. Hal Demikian untuk memastikan tujuan tidak hanya dipahami oleh semua orang, namun juga dapat terealisasi sesuai yang dicita-citakan.
Sekolah sebagai institusi formal pemerintah wajib memiliki cara khusus untuk menyampaikan satu sudut pandang arah masa depannya melalui sebuah visi. Rosabeth Moss Kanter dalam The Change Masters (1983) menyampaikan "A vision is not just a picture of what could be; it is an appeal to our better selves, a call to become something more.". bahwa visi bukan sekadar gambaran masa depan, tetapi juga sebuah cara mengomunikasikan ide yang mampu menggerakkan orang untuk bertindak dan berubah. Kalimat ini kemudian dipertegas oleh Theodore Hesburgh, Presiden University of Notre Dame dengan kalimatnya "The very essence of leadership is that you have to have vision. It's got to be a vision you communicate clearly and forcefully." Visi tidak hanya penting untuk dimiliki, tetapi juga harus dikomunikasikan secara jelas dan meyakinkan agar dapat dipahami dan diikuti oleh orang lain. Maka visi menjadi jalur komunikasi primer untuk mencitrakan dirinya ke lingkungan masyarakat. Pertanyaan berikutnya tentu, bagaimana cara menyusun visi?
Menyusun visi yang lugas, Â jelas, dan komprehensif bukan satu hal yang sulit. Shelley Kirkpatrick, How to Build a Better Vision Statement, Academic Leadership: The Online Journal Vol. 6, No. 4, 2008 berkata bahwa "A vision statement can improve organizational performance as well as individual follower performance, but only if the vision contains certain characteristics." Maka didapatkan kriteria sebagai berikut: kejelasan (clarity), fokus pada masa depan (future focused), abstrak namun menantang (abstract and challenging), ringkas (brevity), dan menyatakan ukuran keberhasilan organisasi.
Berikut adalah contoh sederhana. Pak Ari adalah Kepala sekolah SMP Negeri 12 Kota Mojokerto. ia memiliki impian membangun sekolah yang maju dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki sekolah antara lain: berada di daerah kota, internet lancar, memiliki komputer yang cukup, tenaga guru yang potensi baik dari gelar akademis maupun prestasi lain, lingkungan sekolah yang asri walaupun ada beberapa kekurang seperti: tenaga administrasi yang kurang memadai, serta kesadaran warga sekolah untuk menjaga kebersihan lingkungnan masih rendah. Namun Demikian ia sadar betul bahwa potensi lingkungan sekitar cukup bisa dimanfaatkan seperti lingkungan dekat niaga/pasar, warga masyarakat yang kooperatif, orangtua/wali murid yang peduli, serta dukungan Lembaga pemerintah daerah.Â