Mohon tunggu...
shasy prisheyla
shasy prisheyla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

bermain basket

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Desa Terlupakan: Potret Kemiskinan di Lereng Gunung

9 April 2024   13:08 Diperbarui: 9 April 2024   14:09 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di balik megahnya Gunung Sindoro, tersembunyi sebuah desa terpencil bernama Karanganyar. Desa ini bagaikan dunia yang terlupakan. Jauh dari hingar bingar kota, terbelenggu dalam jerat kemiskinan yang tak kunjung terlepas. Jalanan desa berbatu dan berlubang, menjadi saksi bisu perjuangan para penduduknya. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu dan bambu, beratapkan seng yang berkarat. Di teras-teras rumah, terlihat anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki, dengan tatapan polos penuh tanya.

Jalanan desa berbatu dan berlubang menjadi rintangan pertama yang harus dihadapi para penduduknya. Rumah-rumah sederhana berbahan kayu dan bambu beratapkan seng berkarat menjadi pemandangan sehari-hari. Kemiskinan di Desa Karanganyar tercatat pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 yang mencapai 28,5%, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 9,54%. Jalanan desa berbatu dan berlubang, menjadi saksi bisu perjuangan para penduduknya.

Kemiskinan di Karanganyar bukan hanya soal materi. Akses pendidikan dan kesehatan yang terbatas menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Sekolah di desa ini hanya sampai tingkat SD, dan itupun dengan kondisi yang memprihatinkan. Data menunjukkan, hanya 60% anak usia SD di Karanganyar yang melanjutkan pendidikan ke SMP. Guru-guru honorer yang mengajar dengan penuh dedikasi, tak mampu menutupi kekurangan fasilitas dan infrastruktur pendidikan.

Tak jauh berbeda dengan kondisi kesehatan. Puskesmas desa hanya memiliki satu dokter dan beberapa bidan, yang harus melayani ribuan penduduk. Puskesmas desa hanya memiliki satu dokter dan dua bidan, yang harus melayani 3.500 penduduk. Fasilitas kesehatan yang minim, membuat banyak warga desa memilih berobat ke dukun atau menggunakan pengobatan tradisional. Data Puskesmas Karanganyar menunjukkan, angka kematian ibu dan bayi di desa ini masih tergolong tinggi.Fasilitas kesehatan yang minim, membuat banyak warga desa memilih berobat ke dukun atau menggunakan pengobatan tradisional.

Mata pencaharian utama penduduk Karanganyar adalah bertani. Namun, hasil panen mereka tak sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat. Harga pupuk dan pestisida yang mahal, membuat mereka terjebak dalam lingkaran hutang yang tak berujung. Data menunjukkan, 70% petani di Karanganyar terlilit hutang kepada tengkulak.
Di tengah keterbatasan dan keputusasaan, masih ada secercah harapan di Karanganyar. Semangat gotong royong dan kepedulian antar warga masih terasa kental. Mereka saling membantu dalam kesulitan, dan bahu membahu membangun desa mereka. Sebuah komunitas kecil yang terdiri dari pemuda-pemudi desa, berinisiatif untuk membuka taman bacaan dan mengadakan kelas belajar bagi anak-anak. Mereka ingin memberikan pendidikan yang lebih baik bagi generasi penerus desa.

Kisah Karanganyar adalah potret buram kemiskinan di Indonesia. Masih banyak desa-desa terpencil di pelosok negeri yang tertinggal dalam pembangunan. Data BPS menunjukkan, terdapat 12.548 desa tertinggal di Indonesia, dengan tingkat kemiskinan rata-rata 23,7%.
Pemerintah perlu memberikan perhatian serius dan solusi konkret untuk mengatasi masalah ini. Masyarakat desa membutuhkan akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Untuk mengatasi kemiskinan tersebut, perlu dilakukan beberapa langkah yang melibatkan kerja sama antara masyarakat Karanganyar dan pemerintah, di antaranya:
• Menyediakan akses pendidikan yang lebih baik: Membangun sekolah-sekolah baru, meningkatkan kualitas guru, dan menyediakan beasiswa bagi siswa berprestasi.
• Meningkatkan akses layanan kesehatan: Membangun puskesmas dan rumah sakit di desa-desa terpencil, menyediakan dokter dan tenaga medis yang berkualitas, dan meningkatkan kualitas obat-obatan.
• Memberdayakan ekonomi masyarakat: Memberikan pelatihan dan bantuan modal untuk usaha kecil menengah, membangun infrastruktur yang mendukung kegiatan ekonomi, dan membuka akses pasar bagi produk-produk desa.
• Meningkatkan kesadaran masyarakat: Melakukan kampanye tentang pentingnya pendidikan dan kesehatan, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.

Selain itu, dengan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk organisasi non-pemerintah, swasta, dan masyarakat luas. Kita semua perlu bahu membahu untuk membantu desa-desa terpencil seperti Karanganyar agar dapat keluar dari keterpurukan. Di tangan pemerintah dan kepedulian masyarakat, desa-desa terpencil seperti Karanganyar dapat keluar dari lilitan kemiskinan dan meraih masa depan yang lebih cerah.    
 
Desa tertinggal yang ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu merupakan unit sosial dimana kemiskinan dapat dideteksi dan juga merupakan perspektif dari mana penanggulangan kemiskinan itu dapat dimulai. Kemiskinan di suatu desa tidak terlepas dari stratifikasi sosial yang sudah ada sejak lama. Ketimpangan ekonomi dapat dilihat dari penguasaan sumber daya, yang menyangkut pemilikan lahan yang sejak dulu sudah menjadi fenomena yang penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan.

Kemiskinan berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Kemiskinan muncul karena sumber daya manusia yang tidak berkualitas, artinya apabila kita berusaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia berarti kita sedang berupaya untuk menghapuskan kemiskinan. Secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan sosial yang terdapat dalam karya sastra yang menjadi masalah dalam menjalani kehidupan. Permasalahan kemiskinan dalam karya di ungkapkan pengarang sangat berkaitan dengan gambaran kehidupan yang sebenarnya. Kemiskinan dalam karya sastra muncul karena merupakan masalah sosial yang terjadi di sekitar lingkungan hidup pengarang. Secara sosiologis, sebab munculnya masalah tersebut adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi. Kepincangan tersebut akan menjalar ke bidang-bidang yang lain, misalnya pada kehidupan keluarga yang tertimpa oleh kemiskinan.

Menurut Abdul Syani (2002:190), kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan seseorang, keluarga, atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar sebagaimana anggota masyarakat lain pada umumnya. Sedangkan Menurut Emil Salim dalam Abdul Syani (1984:190), bahwa 2 kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

Gambaran kemiskinan yang terjadi pada novel sangat jelas, dari jenis kemiskinan yang digambarkan sangat berhubungan dengan kehidupan nyata. Namun di dalam novel tersebut, digambarkan juga bagaimana perjuangan untuk mengatasi kemiskinan yang dialami oleh satu keluarga maupun penduduk di pedesaan.
Pembangunan masyarakat desa tujuannya selalu dikaitkan dengan masalah kemiskinan, yang dialami oleh sebagian masyarakat dalam kategori masyarakat desa dan lebih khusus lagi masyarakat nelayan dan petani kecil. Pembangunan masyarakat desa adalah suatu proses untuk meningkatkan harkat, martabat, dan derajat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Kemiskinan banyak yang mengartikan kurang makan, hidup di bawah standar, tingkat ekonomi rendah, kurang gizi dan sebagainya. Pendapat tersebut tidak salah karena secara umum kemiskinan adalah keadaan yang serba kurang dilihat dari berbagai aspek dan menurut kepentingan.

Dilihat dari bentuk fisik rumah yang mereka huni, masyarakat lereng gunung sebagian besar masih mengalami kemiskinan, hal itu tampak dari bangunan rumah yang mereka tempati dan status kepemilikannya. Sebagian besar rumah yang mereka tempati merupakan pemberian orangtua atau warisan, walaupun ada juga yang membangun sendiri.
Masyarakat yang mampu membangun rumah sendiri model rumahnya seperti : rumah panggung yang berdinding kayu, atap dari sirap dan lantai rumah berasal dari semen atau kayu. Bagi mereka, rumah cenderung berfungsi untuk melindungi diri dari panas dan hujan, oleh karena itu model rumah tidak harus berdasarkan pola tertentu. Kadangkala rumah yang mereka tempati terkesan tidak sehat karena tidak ada ventilasi udara. Penerangan rumah pada malam hari dengan menggunakan lampu minyak dan tidak menggunakan listrik. Namun demikian keadaan seperti ini sudah melekat dalam kehidupannya.

Ketidakmampuan ekonomi masyarakat lereng gunung juga tercermin dari barang-barang yang mereka miliki. Rumah mereka tidak tampak diisi oleh barang-barang yang cukup berharga seperti TV, sepeda motor, maupun perabot rumah tangga lainnya. Ada sebagian penduduk yang mempunyai radio kecil dengan menggunakan baterai, dan ada beberapa memiliki TV rata-rata berukuran 14 inchi. Meja kursi tamu juga hanya sebagian kecil yang memiliki, itu pun dalam kondisi seadanya dan jauh dari kesan mewah.
Dalam hal berpakaian, rata-rata penduduk miskin di lereng gunung menggunakan pakaian seadanya dan sangat sederhana, tidak ada pembedaan pakaian untuk di rumah dan pakaian untuk bekerja sehari-hari ke sawah maupun ke ladang, warnanya sudah kusam. Ketika ditanyakan lebih jauh mengenai mengapa pakaian yang dikenakan tidak bervariasi antara pakaian di rumah dan pakaian kerja sehari-hari, ratarata mereka mengatakan yang penting sudah cukup untuk menutupi badan, ”gasan apa jua baju bagus mun begawean di pehumaan jua, nang panting kada kena hujan wan panas. Amun di rumah kaya itu jua, kenapa harus baganti pakaian amun kada kemanamana jua.” Yang dimaksud ”kemana-mana” menurut mereka adalah ada acara tertentu seperti undangan pengantin, belanja ke pasar dan sejenisnya. Pembedaan dalam berpakaian penduduk hanya dibedakan ke dalam dua kategori yaitu pakaian sehari-hari dan pakaian untuk acara tertentu, pakaian cadangan untuk acara tertentu jumlahnya paling banyak dua stel dan jauh dari kesan mahal.

Cerminan kemiskinan mereka juga terlihat dari pola makan dan menu makan yang dikonsumsi. Pola makan mereka tidak menentu, ada yang dua kali sehari, ada juga yang tiga kali sehari. Dari data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari jumlah responden yang hanya mampu makan dua kali sehari.
 
Dilihat dari perilaku sehat lingkungan ini, tampak bahwa rata-rata masyarakat miskin tidak mempunyai WC sendiri yang sehat, mereka mandi di sumur atau sungai. Untuk konsumsi air bersih mereka juga hanya memanfaatkan air dari sungai dan sumur yang kebersihannya kurang terjamin. Kondisi demikian ditunjang oleh kurang adanya penyuluhan tentang kesehatan, Posyandu juga belum berfungsi secara maksimal.

Orang miskin seringkali kurang memiliki peranan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Hal ini akan semakin membuat orang miskin menjadi apatis dan tertutup dalam kehidupannya, karena mereka merasa lingkungannya tidak mempedulikan. Mereka hanya mampu bergaul dengan sesama yang masuk dalam kelompok miskin. Rasa ketertutupan dan apatisme ini karena ia merasa rendah diri. Akibat sikap tertutup dan apatis tersebut mereka akan sulit mengembangkan dirinya.
Kemiskinan menjadi masalah multidimensional yang dihadapi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di mana pun menjadi tujuan utama dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Kemiskinan sendiri dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia lebih kepada bentuk kemiskinan struktural atau buatan, karena sebenarnya secara alamiah Indonesia mempunyai cukup potensi dan sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk mencegah kemiskinan (Mulyadi, 2016).

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari superstruktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya, struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan. Hal ini dibuktikan dengan angka kemiskinan nasional sebesar 9,57 persen pada tahun 2022 tidak mencerminkan realitas di setiap provinsi, karena hampir separuh dari total provinsi di Indonesia memiliki tingkat kemiskinan di atas level nasional.
 
Dilihat dari perspektif ekonomi, bahwa kemiskinan adalah sebagai suatu kondisi yang bisa dicirikan dengan: kekurangan makan dan gizi, pakaian dan perumahan yang memadai, tingkat pendidikan yang rendah, dan sedikitnya kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan, atau tidak terpenuhinya kebutuhan pokok dan sumber modal yang diperlukan bagi kelangsungan hidup dan peningkatan pengembangan kehidupannya.

Dilihat dari perspektif wawasan kebangsaan, bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi yang bisa dicirikan dengan: rendahnya moral dan etika, rendahnya pemahaman terhadap hukum & HAM, rendahnya semangat cinta tanah air dan bela negara, lemahnya jiwa persatuan dan kesatuan bangsa, tipisnya  iman dan taqwa terhadap agama, mudah masuknya idelogi selain Pancasila, mudahnya diprovokasi atau dimobilisasi untuk tujuan tertentu, mudahnya tersulut kerusuhan sosial, rawan terhadap anarkisme, radikalisme, terorisme, dan separatisme.

Kemiskinan perspektif wawasan kebangsaan antara lain disebabkan oleh faktor pendidikan (kecerdasan dan intelektual), kualitas kejiwaan, sosial psikologis, sosial budaya, dan lingkungan strategis. Kondisi masyarakat yang demikian dapat berdampak antara lain pada faktor: moraldan etika (lunturnya budaya malu, hilangnya penghormatan terhadap sesama, dan mudah berperilaku a moral), filosofis(tidak mampu mengakses sumber daya sebagai mata pencaharian), psikologis (tidak percaya diri, minder, dan mudah putus asa), ideologis (mudah dimasuki idiologi selain Pancasila), politis (mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik), sosial budaya (dapat menghambat pencapaian Indek Pembangunan Manusia), ketertiban dan keamanan (dapat mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat), hukum dan HAM, (mudah melakukan pelanggaran hukum dann HAM), religius (menghalalkan segala cara), dan lingkungan hidup (merusak kelestarian alam dan lingkungan).

Masyarakat pada dasarnya berkeinginan untuk membangun kehidupan dan kesejahteraannya dengan berlandaskan pada kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Masyarakat miskin yang potensinya belum termanfaatkan secara penuh, diharapkan melalui pemberdayaan dapat meningkat bukan hanya ekonominya semata tetapi juga terhadap harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya.
 
Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat tidak hanya terfokus pada upaya menumbuhkembangkan nilai tambah ekonomi semata, melainkan juga harus diimbangi dengan peningkatan wawasan kebangsaan dan nation and character building dalam rangka membentuk moral dan etika bangsa, memberi nilai tambah sosial dan nilai-nilai budaya, serta menjadikan wahana transformasi budaya, untuk meningkatkan kualitas kehidupan berdemokrasi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemberdayaan masyarakat tidak bisa dilakukan hanya sepotong-sepotong, melainkan harus dilakukan secara menyeluruh dan komprehensip baik ekonomi maupun yang bukan ekonomi. Secara umum pemberdayaan masyarakat mencakup pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (communit-based development). Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia. Masalah kemiskinan ini belum dapat diatasi secara tuntas karena sifatnya yang multidimensional. Kemiskinan dapat disebabkan oleh banyak faktor. Selain itu, kemiskinan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan, tetapi juga di perkotaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun