Mohon tunggu...
shasy prisheyla
shasy prisheyla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

bermain basket

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Desa Terlupakan: Potret Kemiskinan di Lereng Gunung

9 April 2024   13:08 Diperbarui: 9 April 2024   14:09 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dilihat dari bentuk fisik rumah yang mereka huni, masyarakat lereng gunung sebagian besar masih mengalami kemiskinan, hal itu tampak dari bangunan rumah yang mereka tempati dan status kepemilikannya. Sebagian besar rumah yang mereka tempati merupakan pemberian orangtua atau warisan, walaupun ada juga yang membangun sendiri.
Masyarakat yang mampu membangun rumah sendiri model rumahnya seperti : rumah panggung yang berdinding kayu, atap dari sirap dan lantai rumah berasal dari semen atau kayu. Bagi mereka, rumah cenderung berfungsi untuk melindungi diri dari panas dan hujan, oleh karena itu model rumah tidak harus berdasarkan pola tertentu. Kadangkala rumah yang mereka tempati terkesan tidak sehat karena tidak ada ventilasi udara. Penerangan rumah pada malam hari dengan menggunakan lampu minyak dan tidak menggunakan listrik. Namun demikian keadaan seperti ini sudah melekat dalam kehidupannya.

Ketidakmampuan ekonomi masyarakat lereng gunung juga tercermin dari barang-barang yang mereka miliki. Rumah mereka tidak tampak diisi oleh barang-barang yang cukup berharga seperti TV, sepeda motor, maupun perabot rumah tangga lainnya. Ada sebagian penduduk yang mempunyai radio kecil dengan menggunakan baterai, dan ada beberapa memiliki TV rata-rata berukuran 14 inchi. Meja kursi tamu juga hanya sebagian kecil yang memiliki, itu pun dalam kondisi seadanya dan jauh dari kesan mewah.
Dalam hal berpakaian, rata-rata penduduk miskin di lereng gunung menggunakan pakaian seadanya dan sangat sederhana, tidak ada pembedaan pakaian untuk di rumah dan pakaian untuk bekerja sehari-hari ke sawah maupun ke ladang, warnanya sudah kusam. Ketika ditanyakan lebih jauh mengenai mengapa pakaian yang dikenakan tidak bervariasi antara pakaian di rumah dan pakaian kerja sehari-hari, ratarata mereka mengatakan yang penting sudah cukup untuk menutupi badan, ”gasan apa jua baju bagus mun begawean di pehumaan jua, nang panting kada kena hujan wan panas. Amun di rumah kaya itu jua, kenapa harus baganti pakaian amun kada kemanamana jua.” Yang dimaksud ”kemana-mana” menurut mereka adalah ada acara tertentu seperti undangan pengantin, belanja ke pasar dan sejenisnya. Pembedaan dalam berpakaian penduduk hanya dibedakan ke dalam dua kategori yaitu pakaian sehari-hari dan pakaian untuk acara tertentu, pakaian cadangan untuk acara tertentu jumlahnya paling banyak dua stel dan jauh dari kesan mahal.

Cerminan kemiskinan mereka juga terlihat dari pola makan dan menu makan yang dikonsumsi. Pola makan mereka tidak menentu, ada yang dua kali sehari, ada juga yang tiga kali sehari. Dari data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari jumlah responden yang hanya mampu makan dua kali sehari.
 
Dilihat dari perilaku sehat lingkungan ini, tampak bahwa rata-rata masyarakat miskin tidak mempunyai WC sendiri yang sehat, mereka mandi di sumur atau sungai. Untuk konsumsi air bersih mereka juga hanya memanfaatkan air dari sungai dan sumur yang kebersihannya kurang terjamin. Kondisi demikian ditunjang oleh kurang adanya penyuluhan tentang kesehatan, Posyandu juga belum berfungsi secara maksimal.

Orang miskin seringkali kurang memiliki peranan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Hal ini akan semakin membuat orang miskin menjadi apatis dan tertutup dalam kehidupannya, karena mereka merasa lingkungannya tidak mempedulikan. Mereka hanya mampu bergaul dengan sesama yang masuk dalam kelompok miskin. Rasa ketertutupan dan apatisme ini karena ia merasa rendah diri. Akibat sikap tertutup dan apatis tersebut mereka akan sulit mengembangkan dirinya.
Kemiskinan menjadi masalah multidimensional yang dihadapi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di mana pun menjadi tujuan utama dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Kemiskinan sendiri dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia lebih kepada bentuk kemiskinan struktural atau buatan, karena sebenarnya secara alamiah Indonesia mempunyai cukup potensi dan sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk mencegah kemiskinan (Mulyadi, 2016).

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari superstruktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya, struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan. Hal ini dibuktikan dengan angka kemiskinan nasional sebesar 9,57 persen pada tahun 2022 tidak mencerminkan realitas di setiap provinsi, karena hampir separuh dari total provinsi di Indonesia memiliki tingkat kemiskinan di atas level nasional.
 
Dilihat dari perspektif ekonomi, bahwa kemiskinan adalah sebagai suatu kondisi yang bisa dicirikan dengan: kekurangan makan dan gizi, pakaian dan perumahan yang memadai, tingkat pendidikan yang rendah, dan sedikitnya kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan, atau tidak terpenuhinya kebutuhan pokok dan sumber modal yang diperlukan bagi kelangsungan hidup dan peningkatan pengembangan kehidupannya.

Dilihat dari perspektif wawasan kebangsaan, bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi yang bisa dicirikan dengan: rendahnya moral dan etika, rendahnya pemahaman terhadap hukum & HAM, rendahnya semangat cinta tanah air dan bela negara, lemahnya jiwa persatuan dan kesatuan bangsa, tipisnya  iman dan taqwa terhadap agama, mudah masuknya idelogi selain Pancasila, mudahnya diprovokasi atau dimobilisasi untuk tujuan tertentu, mudahnya tersulut kerusuhan sosial, rawan terhadap anarkisme, radikalisme, terorisme, dan separatisme.

Kemiskinan perspektif wawasan kebangsaan antara lain disebabkan oleh faktor pendidikan (kecerdasan dan intelektual), kualitas kejiwaan, sosial psikologis, sosial budaya, dan lingkungan strategis. Kondisi masyarakat yang demikian dapat berdampak antara lain pada faktor: moraldan etika (lunturnya budaya malu, hilangnya penghormatan terhadap sesama, dan mudah berperilaku a moral), filosofis(tidak mampu mengakses sumber daya sebagai mata pencaharian), psikologis (tidak percaya diri, minder, dan mudah putus asa), ideologis (mudah dimasuki idiologi selain Pancasila), politis (mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik), sosial budaya (dapat menghambat pencapaian Indek Pembangunan Manusia), ketertiban dan keamanan (dapat mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat), hukum dan HAM, (mudah melakukan pelanggaran hukum dann HAM), religius (menghalalkan segala cara), dan lingkungan hidup (merusak kelestarian alam dan lingkungan).

Masyarakat pada dasarnya berkeinginan untuk membangun kehidupan dan kesejahteraannya dengan berlandaskan pada kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Masyarakat miskin yang potensinya belum termanfaatkan secara penuh, diharapkan melalui pemberdayaan dapat meningkat bukan hanya ekonominya semata tetapi juga terhadap harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya.
 
Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat tidak hanya terfokus pada upaya menumbuhkembangkan nilai tambah ekonomi semata, melainkan juga harus diimbangi dengan peningkatan wawasan kebangsaan dan nation and character building dalam rangka membentuk moral dan etika bangsa, memberi nilai tambah sosial dan nilai-nilai budaya, serta menjadikan wahana transformasi budaya, untuk meningkatkan kualitas kehidupan berdemokrasi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemberdayaan masyarakat tidak bisa dilakukan hanya sepotong-sepotong, melainkan harus dilakukan secara menyeluruh dan komprehensip baik ekonomi maupun yang bukan ekonomi. Secara umum pemberdayaan masyarakat mencakup pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (communit-based development). Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia. Masalah kemiskinan ini belum dapat diatasi secara tuntas karena sifatnya yang multidimensional. Kemiskinan dapat disebabkan oleh banyak faktor. Selain itu, kemiskinan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan, tetapi juga di perkotaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun