Mohon tunggu...
Pojok Kampus
Pojok Kampus Mohon Tunggu... Editor - jurnalistik/Mahasiswa

Info seputar kampus di jawatimur. temukan berita kami di gogle!

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Marhaenisme & Pemerataan Kesejahteraan: Potret Kemiskinan di Hari Raya Idul Fitri

16 April 2024   00:22 Diperbarui: 16 April 2024   00:22 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kemiskinan (DOK. PIXABAY)

Menjelang hari raya Idul fitri 1445H, merupakan momentum bagi umat Islam merayakan kemenangan, setelah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Terlepas dari setiap aktivitas (baik itu yang pekerja maupun pelajar), baik itu masyarakat lokal, kedaerahan, nasional, maupun Internasional turut merayakan. 

Namun masih terdapat perbedaan secara ekstrem bagi umat muslim yang menyambutnya. Misalnya terdapat kalangan muslim yang merayakannya dengan suka cita tahu gembira begitu pun sebaliknya masih menjumpai muslim yang merenungkan nasib kemiskinan dalam meratapi hari kemenangan simbolik contoh, memamerkan baju baru, omon-omon pekerjaan yang gaji besar dan sebagainya.  

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Indonesia mencapai jumlah 25,90 juta jiwa (7,29%) pada Maret 2023 dari total populasi penduduk Indonesia berjumlah 278 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan data sebelumnya per September 2022 menunjukkan angka 26.36 juta jiwa (0,46 juta orang menurun, dari September 2022 ke Maret 2023).

Melihat data di atas, pemerintah sudah menekan angka kemiskinan, namun tidak signifikan. Sependek penelusuran penulis, masih ditemukan fenomena kesenjangan sosial, serta maraknya penggunaan sumber daya alam yang di manfaatkan  secara ilegal bahkan ugal-ugalan yang dapat menyebabkan kerusakan alam. Selain itu juga maraknya korupsi secara berjamaah akibat menguatnya oligarki di tubuh pemerintahan (Kongkalikong pemerintah antara pengusaha)

Contoh pemberitaan Tempo dengan judul "Bahlil Lahadalia Soal Pencabutan Izin Tambang dan Dugaan Permintaan Uang" dalam redaksi Tempo tersebut menjelaskan dugaan ada dua ribu izin tambang yang di cabut oleh Bahlil sejak Januari 2024 melalui penghidupan pembentukan satgas sesuai keputusan presiden 2021. Dugaan tersebut bermuatan adanya pungli kepada pengusaha sebesar 5-25 milliar oleh orang yang dekat Bahlil, bahkan pengusaha juga diminta saham oleh Bahlil sendiri.

Bahkan fenomena tersebut juga mendapatkan respon dari Jaringan Advokasi tambang. Jatam menilai bahwa ada dugaan pungli yang di lakukan oleh Menteri Bahlil terhadap para pengusaha. Sejauh yang diketahui oleh penulis dari berbagai sumber, atas kejadian tersebut, Pihak Jatam melaporkan Menteri Bahlil ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Isi laporan itu mengenai adanya gratifikasi atau pencucian uang yang dilakukan oleh orang dekat Bahlil. Jatam berharap kepada KPK untuk sesegera mungkin kasus ini di selidiki dan di ungkap secara cepat. Sebagai lembaga penegak hukum, KPK harus Independen dalam menangani perkara tersebut, agar nantinya tidak ada kerugian yang dialami negara maupun perseorangan.

Langkah-langkah tersebut yang diharapkan oleh penulis, semakin masif negara melakukan penindakan kepada koruptor secara tidak langsung juga mengurangi angka kemiskinan atau kesenjangan sosial. Mengingat bahwa negara mempunyai tanggung jawab yang besar kepada rakyatnya, serta menjamin hidup secara berkeadilan sosial dan sejahtera dalam bidang ekonomi maupun pendidikan sesuai amanat Undang-undang amandemen ke-4.

Cerita Kemiskinan Bung Karno Menjelang Hari Raya Idul Fitri

Di sini penulis mencoba merefleksikan kejadian kemiskinan ekstrem menjelang Hari Raya Idul Fitri yang di alami oleh bapak Proklamator kita (Ir. Soekarno). Mengutip dari bukunya Cindy Adam yang berjudul "Bung Karno Penyambung lidah Rakyat Indonesia", dalam bukunya tersebut tepatnya pada Bab 3, menceritakan Sosok Soekarno dimasa muda yang hidup melarat di Mojokerto dengan keluarganya. Dalam kehidupan tersebut Soekarno tidak memiliki rumah pribadi, ia dan keluarganya menyewa kos yang bertempat di jalan Pahlawan No. 88. Dengan mengandalkan gaji bapaknya 25 di potong dengan harga sewa kos, ia bertahan hidup bersama keluarganya.

Seperti yang di ceritakan di buku tersebut, pada bulan Ramadhan tepatnya menjelang hari raya Idul fitri, di mana momentum tersebut adalah momentum yang sangat dinantikan oleh umat muslim di seluruh pelosok dunia setelah melaksanakan ibadah puasa selama 30 hari. Namun bagi Soekarno tidak, ia tidak pernah merayakan lebaran dengan suka gembira seperti teman-temanya atau pun tetangganya yang bisa membeli baju baru, bahkan zakat fitrah pun ia tidak sanggup untuk mengeluarkannya. Ia pada saat itu hanya berbaring di kamar seolah mati rasa sambil mendengarkan bunyi petasan yang meletup di sana kemari.

Mengapa  pada masa itu banyak masyarakat atau rakyat melarat sepeti yang di alami oleh Soekarno? Perlu diketahui pada zaman tersebut Indonesia masih dikuasai oleh kaum penjajah atau kolonial Belanda. Sistem pemerintahan hanya bertumbuk kepada pusat atau bisa di sebut dengan sentralisasi (pembagian wilayah daerah), yang bertujuan untuk menumpuk kekuasaan pemerintah pusat ketimbang meningkatkan kesejahteraan rakyat.

 Penduduk yang imperialistik pada saat itu berkibar-kibar, yang hanya memberikan keuntungan sepihak melalui eksploitasi pengurasan sumber daya alam, kawasan-kawasan perkebunan di ubah dijadikan pabrik serta mengubah buruh tani  menjadi buruh pabrik lewat kerja paksa yang hanya digaji minim.

Marhaenisme Sebuah Ide maupun Praktik Pengentasan Kemiskinan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun