Mohon tunggu...
Sharfina Hafizah
Sharfina Hafizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi IAIN Langsa

Berikanlah satu informasi walau itu hanya sebuah kabar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Adat dan Hukum Islam di Aceh Kontemporer

12 Juni 2022   22:23 Diperbarui: 12 Juni 2022   22:53 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengingat kenyataan ini dan sejauh menyangkut posisi birokrasi DSI dan MAA, adalah sah untuk mengatakan bahwa adat memiliki peran yang kurang berpengaruh dibandingkan hukum Islam dalam kehidupan publik kontemporer Aceh. Meskipun posisi MAA vis a-vis DSI dirusak dalam sistem pemerintahan Aceh saat ini, 

adat telah dibentuk kembali dan diubah menjadi bagian dari struktur negara. Akibatnya, seperti banyak lembaga formal negara lainnya, sangat mungkin bahwa sifat elastis adat akan beralih ke bentuk yang tidak fleksibel dan struktur yang kaku.

Kedaulatan Budaya

Kedaulatan Budaya Kewenangan MAA atas adat bahkan dipertanyakan mengingat fakta bahwa lembaga lain yang sangat dihormati secara politik, wali nanggroe, didirikan pada tahun 2013. Dianggap sebagai pelindung warisan Aceh baik di dalam maupun di luar provinsi, wali nanggroe telah menghilangkan peran dan status penting MAA.

MAA berada di bawah kekuasaan wali nanggroe dan hanya menjadi "majelis fungsional" di antara dewan-dewan lain yang ada dalam struktur tersebut. Pendirian lembaga wali nanggroe di Aceh mendapat kritik dari berbagai pihak. Kementerian mencantumkan 21 item yang termasuk dalam Qanun 8 Tahun 2012 tentang Kelembagaan Wali Nanggroe yang harus diperjelas terutama dalam konteks kewenangannya yang tumpang tindih dengan kepemimpinan politik di tingkat provinsi.

Seorang anggota DPRD provinsi dari Partai Islam (PKS) mendesak pemerintah pusat untuk tidak mencurigai lembaga wali nanggroe, karena seperti banyak provinsi lain di Indonesia yang memiliki lembaga adat, wali nanggroe di Aceh juga merupakan lembaga yang terutama menyangkut adat. Masyarakat di Aceh masih mencari jalan terbaik untuk mempertemukan tugas dan fungsi masing-masing wali nanggroe dan MAA guna memperkuat posisi adat di Aceh.

Di sisi lain, MAA merupakan salah satu perangkat wali nanggroe dalam membina kehidupan adat di Aceh. Posisi ambivalen ini semakin parah karena otoritas wali nanggroe tidak secara aktif mengarahkan atau membimbing MAA ke arah mana harus berjalan. Lagi pula, lembaga wali nanggroe lebih suka menghadiri upacara yang hanya melibatkan pengunjung internasional atau investor asing yang masuk daripada berurusan dengan segala macam formalitas adat di tingkat lokal.

Hak atas Sumber Daya Alam

Hak atas Sumber Daya Alam Seperti yang terjadi di bagian lain Indonesia dan sebagai akibat dari reformasi hukum dan politik yang mengarah pada undang-undang desentralisasi dan otonomi khusus yang diberikan kepada sejumlah provinsi di Indonesia (khususnya Aceh), telah terjadi kebangkitan adat yang nyata.

Isu pengelolaan tanah khususnya yang menyangkut hak ulayat atau hak masyarakat menjadi topik kunci dan krusial dari berbagai perbedaan pendapat di antara berbagai pihak. Tuntutan warga desa akan hak untuk mengakses sumber daya alamnya sendiri mulai muncul setelah lama dibungkam pada masa Orde Baru (1966-1998).

Sebuah kasus di bawah ini menggambarkan bagaimana hak atas sumber daya alam telah digaungkan melalui peristiwa dan resolusi konflik di berbagai bagian Aceh. Kasus ini bermula ketika warga Desa Lhoknga di Kabupaten Aceh Besar menuntut untuk menggunakan norma adat tanah hak ulayat untuk mengklaim akses ke sumber daya alam desa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun