Mohon tunggu...
Shanan Asyi
Shanan Asyi Mohon Tunggu... Dokter -

Seorang dokter umum sekaligus penulis jurnal kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perjalanan Hidup, Sang Pemburu (Bab 9)

12 Januari 2018   18:14 Diperbarui: 12 Januari 2018   18:18 1409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Setelah terbangun jam 4 pagi. Agam diliputi ketakutan berat, pisau kakaknya Lukman terngiang-ngiang di kepalanya. Bahkan sampai masuk kedalam mimpinya.

            Ia melangkah keluar rumah tanpa membawa apapun. Terus melangkah melewati hutan dan bergerak ke atas gunung menuju dataran tinggi. Ia tidak tau kemana ia akan melangkah. Pikirannya sudah tidak sehat, ia takut akan dibunuh oleh kakaknya Lukman.

            Ketika dalam perjalanan ia semakin masuk ke hutan yang jalannya menanjak. Ia terus berjalan hingga tersesat, ia telah buta arah. Ia lapar dan haus. hari sudah malam dan tangannya gatal. Ia coba untuk merebahkan diri tanpa ia sadari ia tertidur.

            "Rauwrr." Ia terbangun dengan perasaan Aneh. Rupanya ada seekor harimau sedang menjilati wajahnya. Ia kaget dan menghindar, harimau itu juga ikut kaget.

            Badannya sangat kecil. Dengan badan yang kecil itu sulit baginya untuk melawan seekor harimau.

            Ia tersudut di sebuah pojok. Ia ingin berlari namun kakinya pegal semua efek berjalan seharian. Harimau itu terus mendekat padanya, pikirannya mulai buntu. Dan akhirnya datang seorang membawa parang. Ia mendekati harimau itu dengan berani. "Hushh." Kata orang itu mengusir harimau itu sambil menyodongkan parangnya.

            Harimau tersebut pergi seolah-olah ia sudah sangat kenal dengan orang ini.

            Wajah orang itu kemudian berpaling pada Agam, seorang kakek tua dengan rambut putih dan jenggot putih.

            "Kenapa kamu berada disini nak?" tanyanya.

            Agam masih terdiam dia syok. Kakek itu mengulurkan tangan, agam meraihnya lalu mereka bangun. Ia membopong Agam menuju pondoknya. Pondoknya tidaklah terlalu besar namun cukup untuk diisi seorang diri. Sebuah rumah panggung tipe Aceh yang terbuat dari kayu jati.

            Pintu dibuka dan perlahan-lahan mereka masuk. Agam terkejut melihat banyaknya tengkorak serta kulit hewan di rumah itu. Bapak ini pastilah seorang pemburu pikirnya.

            "Ini makanlah." Katanya memberikan daging dan nasi pada Agam. Ia memakannya dengan lahap. Hanya 3 menit makanan itu telah habis.

            "Kamu mau tambah?"

            Agam tidak bisa menolak, ia masih terlalu lapar. Ia mengangguk.

            "ini." Kata bapak itu sambil menyodorkan piring yang telah diisi.

            Melihat makanan di depannya Agam kembali memakannya dengan lahap. Bapak itu hanya tersenyum melihat Agam.

            "Siapa kamu nak?" tanya bapak itu setelah Agam selesai makan. "Apa yang kamu lakukan malam-malam di hutan?"

            Jika aku bisa mengatakan tentang kondisi pikiran Agam saat ini, tentu pikirannya saat ini sangatlah tidak sehat. Dari mulai perceraian orang tuanya sampai ancaman pembunuhan, ia menerima banyak sekali syok psikologis. Ia tidak tau harus berpikir apa. Di usianya yang masih sangat muda, ia merasakan apa yang sejatinya tidak perlu untuk ia rasakan.

            'A-a a agam." Jawab agam dengan terbata-bata.

            "Dari mana asal kamu?"

            Agam tidak menjawab.

            "Mungkin kamu butuh istirahat. Bapak itu bangkit, mengambil tikar lalu menggelarnya di salah satu sudut ruangan. "tidurlah." Kamu disini, katanya sambil menaruh bantal lalu segera keluar pondok.

            Bulan hari itu purnama dan megah, saat yang paling tepat bagi bapak tersebut untuk menghidupakan rokok. Nama Bapak itu adalah Bokir. Mungkin kalian berpikir itu bukan nama aslinya? Kalian salah, Bokir memang namanya sejak lahir. Nama panjangnya adalah Untung Bokir Setiowibowo. Dari namanya sudah terlihat ia bukan orang Aceh. Ia seorang anak bangsa yang lahir di Jawa.

            Bapak itu tersenyum sambil melihat bulan, lalu masuk ke dalam sesaat lalu mengambil gitar kecil di pondoknya. Kembali duduk di depan, memetik gitar, kemudian bernyanyi.

            Nyanyian paling indah yang pernah didengar Agam.

            ****

            Bapak itu sedang memotong kayu dengan gergaji ketika Agam terbangun dan melihat keluar. Ia bingung apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang.

            "Sudah bangun?" kata Bapak itu. "Kamu lapar?" tanyanya pada Agam.

            Agam menggeleng. Ia lalu duduk di depan anak tangga depan dan melihat bapak itu menggergaji.

            "Sini" kata bapak itu sambil memberikan isyarat tangan. Agam beranjak mendekat.

            "Mau coba?" katanya. Agam mengangguk.

            "Kamu sepertinya masih sangat muda. Berapa umurmu nak?" tanyanya.

            "sem-sembilan."

            "Oh sudah 9 tahun ya, kenapa kamu tidak sekolah?"

            "Se-sekolah."

            "Hmm lalu mengapa kamu bisa berada disini?" Ia melanjutkan bertanya.

            "Tersesat."

            "Rumah kamu memang dimana?"

            "di kelurahan Bungong Jeumpa pak."

            "Lumayan jauh juga, hmm, mau aku antarkan kembali?"

            Agam menggeleng, "Tidak, aku tidak ingin kembali ke rumah."

            "Loh kenapa?" tanya Bapak itu makin penasaran.

            Agam diam kembali. Lalu dia melanjutkan. "Bolehkah aku tinggal disini untuk sementara?"

            Bapak tua itu menggaruk kepalanya. Sebenarnya ia senang dengan kehidupannya sendiri, namun melihat Agam membuat dia jadi teringat kepada anaknya.

            "Ya boleh."

            "terimakasih kek. Bolehkah aku membantu kakek setiap hari?" Ia kembali bertanya.

            "Membantu apa?"

            "Semua yang bisa aku lakukan kek."

            "Hmm memang kamu bisa?"

            "Aku mau belajar."

            "Baiklah."

            Sore itu menjadi awal baru bagi Agam. Ia meninggalkan kehidupan lamanya dan memulai hari baru.

            ****

            Agam belajar segala hal disana, mulai dari memotong kayu, mencari buah, memasak dan berburu.

            "Kamu lihat rusa itu."

            "iya kek."

            "nah sekarang coba kamu fokus ke bagian tengah badannya."

            "Iya" kata Agam dengan mata serius sedangkan tangannya mengangkat tombak.

            "Fokus pada satu titik lalu empar sekuat tenaga."

            "Baik."

            "Sekarang lempar."

            Agam melempar tombak itu, dan ia berhasil tombak itu tempat mengenai badan rusa.

            "kerja yang bagus" kata Bapak itu sambil memegang kepala Agam.

            "Daging rusa ini cukup untuk 3 hari kedepan."

            Mereka pulang ke rumah. Kakek itu mengangkat rusa di pundaknya dan berjalan dengan Agam.

            Ada satu hal yang membingungkan bagi Agam. Bagaimana pondok tempat mereka menginap bisa dialiri listrik. Ia belum pernah menanyakannya sama sekali. Pondok itu terletak jauh dari pedesaan terdekat. Tapi iya  bingung bagaimana bisa?

            "ini namanya genset, mesin listrik." Begitulah jawabannya ketika Agam tiba-tiba bertanya siang itu.

            "Hidup begitu saja?"

            "Tindak dia harus diisi bahan bakar. Kamu liat tong dibelakang rumah? Itu isinya bensin. Aku ke kota sebulan sekali untuk membelinya."

            "Agam mengangguk."

            Sampai di rumah rusa itu di letakkan di atas terpal. "Ayo kita kuliti."

            kakek itu langsung mengambil pisau favoritnya. Pisau yang dia asah setiap pagi.

            Agam hanya melihat dan diam. "Nih." Kata kakek itu sambil memberikan kaki serta paha rusa itu. Potong kecil-kecil kita masak rendang hari ini. Agam melakukannya. Ini pertama kali bagi dia mengikuti proses menyiapkan makanan. Dia sudah 2 minggu disini dan yang dia lakukan sebelumnya hanya lah memnggergaji kayu dan menyiram tanaman.

            Daging  dipotong secara perlahan-lahan dengan tangannya yang masih bergetar. Belum terbiasa.

            "Ini kek sudah."

            Kakek itu melihat, hasilnya tidak terlalu buruk untuk pemula.

            "Sekarang ambil bawang, cabe, dengan jahe di kebun ya."

            "baik kek." Kata Agam langsung bergegas.

            Ketika Agam mulai berjalan menjauh, ia mendengar sesuatu. Kakek itu mulai bernyanyi kembali. Suara yang sangat indah bathin Agam.

            Agam masuk ke kebun yang sudah ia sirami selama dua minggu. Kebun tersebut dibatasi oleh pagar kayu, disana terdapat banyak sekali jenis tanaman. Jagung, terong, apel, dan berbegai sayur-sayuran seperti bayam, daun singkong juga ada. Kebun ini membuat mereka tidak perlu turun dari gunung untuk membeli bahan makanan. Semuanya setiap hari tersedia dengan lengkap disini.

            Ia memetik beberapa bawang, cabe, dan juga jahe seperti yang diperintahkan, mengenggamnya lalu kembali ke kakek.

            "Sudah?" Kakek itu bertanya ketika Agam kembali.

            "Sudah kek."

            "Bagus. Sekarang kamu cuci dahulu, lalu cabenya diiris, dan kulit bawangnya dibersihkan."

"iya kek"

            Agam kemudian pergi ke sumur. Ia mengambil ember yang sudah diikatkan dengan tali lalu mulai menimba air. Ia pelan-pelan mengangkat kembali ember tersebut dan mencuci bahan masakannya.

            Ia kembali lalu menaruh bawang jahe dan cabe di atas batu bersih yang bentuknya pipih kemudian mengiris.

            "kamu tahu sesuatu?"

            "Ya kek?"

            "Dulu aku punya anak seusia kamu."

            "?"

            "Tapi dia sudah tidak ada."

            "Maksud kakek? Dia meninggal?"

            "Ya ada Tsunami 2004 silam."          

            Kenangan tentang Tsunami kembali membayangi Agam. Daerah kampungnya Empetrieng memang tidak terkena dampak. Namun ia ingat sekali bagaimana air besar itu menghantam provinsi Aceh. Banyak stasiun TV yang mengulang tayangan tersebut berulang-ulang.

            "Badannya hitam seperi kamu." Kata sang kakek. "Cita-citanya pemain bola, ia suka sekali bermain itu. Posisi kesukannya dibelakang sebagai Bek."

            Agam, oper bola itu. Bagus Agam. Kita menang hari ini. Ingatan tentang bermain di desa Empetrieng kembali berkelebat di kepalanya.

           "Lalu mengapa kakek seorang diri disini, kakek masih punya sanak saudara bukan?"

            Kakek itu tersenyum. Ia mencuci tangan lalu bangkit. Mengambil rokok, menaruh di mulutnya, menghidupkan pemantik, lalu mulai mengisap.

            "Ada beberapa hal dalam hidup ini yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata."

            Agam melihat kakek itu masih bingung dengan pernyataannya.

            "Semakin kau beranjak dewasa nanti kau akan paham apa  maksud prerkataanku."

            ****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun