Masjid Nurut Taubah KH. Muhammad Tahir Imam Lapeo menjadi saksi bisu atas keikhlasan para musafir yang melintas di depannya. Tak henti-hentinya, para pengguna jalan, baik pengendara roda dua, mobil pribadi, maupun sopir bus dan truk, singgah sejenak hanya untuk memasukkan sejumlah uang ke dalam kotak amal yang terpajang di depan masjid. Uniknya, aliran donasi ini tak pernah surut, seakan ada magnet yang menarik tangan para dermawan untuk berbagi rezeki.
Baca Juga:Â Campalagian: Destinasi Utama di Bulan Ramadhan bagi Pencari Ilmu Agama
Fenomena ini menjadi menarik untuk ditelaah. Apa yang mendorong masyarakat untuk berhenti dan menyisihkan hartanya di tempat ini? Keajaiban apa yang tersimpan di balik bangunan masjid sederhana ini? Tak hanya warga lokal yang tergerak untuk menyumbang, tetapi juga banyak kendaraan berpelat luar Sulawesi Barat yang turut menunaikan niat baik merek
Masjid Nurut Taubah bukan sekadar tempat ibadah. Di dalam kompleksnya, terbaring makam seorang ulama besar, KH. Muhammad Tahir Imam Lapeo, sosok yang diyakini memiliki kedekatan spiritual yang luar biasa. Konon, beliau disebut sebagai salah satu min auliyaullah (seorang wali Allah) di tanah Mandar. Namanya harum sebagai pembawa cahaya ilmu dan keislaman yang terus bersinar, bahkan setelah wafatnya.
Keberkahan yang menyelimuti masjid ini mungkin menjadi jawaban atas fenomena tak biasa tersebut. Keikhlasan yang tertanam dalam hati para penyumbang, doa yang terhatur di depan gerbang rumah Allah, serta keberadaan makam seorang alim yang dihormati, semuanya menjadi bagian dari keajaiban yang terus mengalir tanpa henti. Masjid Nurut Taubah KH. Muhammad Tahir Imam Lapeo bukan sekadar bangunan fisik, tetapi juga simbol kebersamaan, spiritualitas, dan keimanan yang tetap hidup di hati umat.
Baca Juga:Â Eksistensi Tarekat di Kassi: Warisan Spritual yang terjaga di Maros
Selama bulan Ramadan, suasana malam tarawih di masjid ini semakin terasa khidmat, tentu jumlah rakaat disini itu genap 20 rakaat ditambah tiga rakaat untuk witir. Jamaah memenuhi setiap sudut masjid, larut dalam kekhusyukan ibadah dengan lantunan bacaan yang khas. Setelah shalat tarawih, suasana semakin syahdu dengan pembacaan qasidah yang selalu diperdengarkan. Irama yang khas nan merdu dari qasidah ini membawa pendengarnya bernostalgia, mengingat masa-masa penuh keberkahan dan kedamaian. Bagi penulis, momen ini adalah sesuatu yang selalu dinanti-nantikan setiap kali berkesempatan mengikuti shalat tarawih berjamaah di masjid yang penuh keberkahan ini.
Sering kali, jamaah yang datang dari luar Mandar menyamakan perspektif mereka dengan pertanyaan yang sama: bagaimana rasanya berada di Mandar, khususnya di Campalagian dan Lapeo? Pertanyaan ini menggambarkan betapa daerah ini memiliki daya tarik tersendiri, baik dari segi spiritualitas maupun budaya yang menyambut setiap tamu dengan hangat. Masjid Nurut Taubah, dengan segala keistimewaannya, menjadi bagian dari pengalaman religius dan emosional yang sulit dilupakan oleh siapa saja yang berkunjung. Hampir semua dari mereka menjawab dengan rasa tenang dan nyaman, merasakan vibes yang berbeda dibandingkan tempat lain. Kedamaian yang terasa di daerah ini semakin menegaskan betapa Mandar, terutama Campalagian dan Lapeo, memiliki atmosfer yang mendalam dan menyentuh hati setiap pengunjungnya.
Hal ini tak lepas dari pengaruh warisan para ulama Mandar yang telah menanamkan nilai-nilai keislaman yang kuat di tengah masyarakat. Para ulama besar, seperti KH. Muhammad Tahir Imam Lapeo dan ulama lainnya, telah membangun fondasi keimanan yang kokoh, mengajarkan ketulusan dalam beribadah, serta menanamkan rasa persaudaraan yang erat. Warisan mereka tetap hidup dalam budaya masyarakat, tercermin dalam ketenangan dan kesejukan yang dirasakan oleh siapa saja yang datang ke daerah ini.
Lapeo,
14 Ramadhan 1446H / 14 Maret 2025