Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Menyoal Perseteruan dr Tirta Vs Buzzer Politik Soal Lockdown

31 Maret 2020   23:49 Diperbarui: 1 April 2020   00:40 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Klarifikasi dr Tirta soal video dan pesan suara yang viral di media sosial (Gambar: TribunJogja.com)

Dalam perkembangannya buzzer digunakan dalam dunia politik sebagai alat kampanye dan propaganda publik. Pilpres Amerika Serikat 2016 dipercaya sebagai awal mula buzzer digunakan dalam dunia politik. Tugasnya membuat hoaks dan ujaran kebencian kepada masing-masing paslon. Begitupun di Indonesia, pilpres 2014 hingga 2019 dipercaya diramaikan oleh peran buzzer. 

Menurut Paterson dalam Indonesian Cyberspace Exspansion: A Double-Edged Sword menyebut buzzer politik seringkali dibayar ketika memviralkan atau meng-caunter suatu opini atau berita suatu paslon tertentu.

Istilah buzzer dipercaya lahir di Twitter dengan merujuk kepada akun-akun anonim (palsu) yang sering membuat cuitan yang menggegerkan, propaganda, dan hoaks. Namun, menurut Ibrahim, Abdillah, Wicaksono, dan Adriani dalam International Conference of Data Mining Workshop 2016, buzzer terdiri dari individu dan kelompok orang yang mempunyai afiliasi politik, baik secara  sukarela maupun dibayar dengan menjalankan tugas propaganda politik di media sosial. Lebih jauh, Camil, Attamimi, dan Esti dalam Centre for Innovation Policy and Governance membagi strategi yang digunakan para buzzer menjadi tiga:

Pertama, memanfaatkan jaringan yang luas, termasuk kepada sumber informasi untuk membuat konten-konten yang halus atau emosional. Jaringan yang luas ini juga digunakan untuk memperluas informasi melalui media sosial semisal WhatsApp.

Kedua, menggunakan jejak digital, atau situs berita yang kredibel untuk memperkuat berita yang dibuat agar lebih dipercaya publik. Namun terkadang berita-berita yang diambil palsu (disinformasi).

Ketiga, persuasif. Artinya membujuk pengguna media sosial lainnya untuk terlibat dalam penyebaran informasi. Bukan buzzer namanya jika tujuan utamanya bukan mempengaruhi opini publik.

Sejatinya buzzer merupakan efek domino media sosial yang melahirkan real virtuality. Tentu pertanyaannya adalah apakah buzzer itu memang ada?

Era digital merupakan kesatuan dunia nyata dengan dunia maya yang tidak dapat dipisahkan. Akibatnya, aktivitas 'goreng-gorengan' isu menjadi hal lumrah terjadi. Hal tersebut tentu dilakukan oleh individu-individu atau kelompok di dunia nyata. Terlepas akun anonim maupun tidak, namun siapa pun bisa menjadi bagian dari buzzer di media sosial bahkan tanpa ia sadari.

Jejak Digital Senjata Utama Buzzer

Di era media sosial saat ini, sulit rasanya membendung siapapun tidak terkena propaganda buzzer. Terlebih propaganda dengan tujuan tertentu, seperti politik dan bahkan spiral kebencian.

Konflik antara dr Tirta dengan para buzzer politik mengingatkan kita bahwa jejak digital memang berbahaya, karena bisa menjadi senjata yang makan tuannya. Di era big data saat ini, apalah daya tidak ada yang bisa aman bersembunyi. Jejak digital memang bisa menjadi momok yang menakutkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun