Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Menyoal Perseteruan dr Tirta Vs Buzzer Politik Soal Lockdown

31 Maret 2020   23:49 Diperbarui: 1 April 2020   00:40 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Klarifikasi dr Tirta soal video dan pesan suara yang viral di media sosial (Gambar: TribunJogja.com)

Kemarahan dr Tirta di Instagram menuai banyak komentar publik di media sosial. Apalagi setelah video live Instagram-nya dibagikan di YouTube, tercatat 93 ribu penonton sudah mampir ke channel Aleria Entertainment pengunggah video tersebut.

Kemarahan dr Tirta ditimbulkan oleh ramainya isu lockdown dan karantina wilayah, yang sudah disuarakan oleh dr Tirta sebelumnya. Sebagai seorang yang vocal selama penanganan covid-19, dr Tirta sempat mengusulkan bahwa bagaimana pun Indonesia tidak perlu menerapkan lockdown atau karantina wilayah, mengingat situasi ekonomi yang tidak memungkinkan. 

Namun, video terbaru beredar bahwa dr Tirta begitu bersemangat mengusulkan lockdown atau karantina wilayah karena semakin bertambahnya pasien  covid-19. Inkonsistensi ini mengakibatkan keriuhan baru di media sosial yang menimbulkan pro dan  kontra bagi para warganet.

Dalam videonya, dr Tirta tidak henti-henti memaki buzzer politik yang menurutnya telah menggoreng isu-isu tidak benar seputar dirinya bahkan dikait-kaitkan  dengan tokoh-tokoh publik seperti Anies Baswedan, Presiden Jokowi, Sandi Uno, hingga Menkes Terawan. Bahkan dirinya di cap seorang 'Pansos' karena Covid-19, pernah memaki Anies dan Presiden Jokowi hingga tuduhan mantan cebong. Akibatnya, tidak tanggung-tanggung dr Tirta dengan kekhasannya yang tegas (ngegas) menantang para buzzer politik secara terbuka. Maklum, sebagai seorang dokter, ia mengaku pernah menjadi bagian dari kehidupan anak jalanan.

Lalu, siapa itu buzzer politik yang dimaksud dr Tirta? Mengapa dr Tirta terlihat sangat membenci buzzer politik yang dianggap memberitakan berita-berita miring tentangnya?


Buzzer: Dari Mencari Uang hingga Propaganda Politik

Siapa sangka buzzer merupakan pekerjaan baru yang menggiurkan setelah Youtubers, atau Vloggers. Jestin Coler mantan CEO Disinfomedia saat diwawancara All Tech Considered mengaku menghasilkan USD 10.000 hingga USD 30.000 perbulan dari AdSense. Ia mempunyai 25 domain dalam menjalankan aktivitas buzzer-nya, ditambah 25 penulis sebagai pemroduksi berita-berita hoaks.

Menurut laporan Diamond Management and Technology Consultant, buzzer pertama kali digunakan dalam istilah marketing, tugasnya menganalisis kepuasan konsumen soal produk yang dijual agar pembeli menularkan kepuasannya ke konsumen lainnya. 

Istilah ini seringkali dimaknai influencer, padahal baik buzzer maupun influencer berbeda. Fokus buzzer pada proses pengulangan informasi agar banyak dibicarakan banyak orang. Sedangkan fokus influencer pada terjualnya suatu produk atau diikutinya suatu aktivitas atau promosi tertentu. 

Influencer biasanya seseorang yang mempunyai pengaruh besar bagi komunitasnya, seperti tokoh, seniman, politisi, atau aktivis. Bagi buzzer sedikit pengikut di media sosial tidak masalah, namun bagi influencer jumlah pengikut sangat berpengaruh.

Dalam perkembangannya buzzer digunakan dalam dunia politik sebagai alat kampanye dan propaganda publik. Pilpres Amerika Serikat 2016 dipercaya sebagai awal mula buzzer digunakan dalam dunia politik. Tugasnya membuat hoaks dan ujaran kebencian kepada masing-masing paslon. Begitupun di Indonesia, pilpres 2014 hingga 2019 dipercaya diramaikan oleh peran buzzer. 

Menurut Paterson dalam Indonesian Cyberspace Exspansion: A Double-Edged Sword menyebut buzzer politik seringkali dibayar ketika memviralkan atau meng-caunter suatu opini atau berita suatu paslon tertentu.

Istilah buzzer dipercaya lahir di Twitter dengan merujuk kepada akun-akun anonim (palsu) yang sering membuat cuitan yang menggegerkan, propaganda, dan hoaks. Namun, menurut Ibrahim, Abdillah, Wicaksono, dan Adriani dalam International Conference of Data Mining Workshop 2016, buzzer terdiri dari individu dan kelompok orang yang mempunyai afiliasi politik, baik secara  sukarela maupun dibayar dengan menjalankan tugas propaganda politik di media sosial. Lebih jauh, Camil, Attamimi, dan Esti dalam Centre for Innovation Policy and Governance membagi strategi yang digunakan para buzzer menjadi tiga:

Pertama, memanfaatkan jaringan yang luas, termasuk kepada sumber informasi untuk membuat konten-konten yang halus atau emosional. Jaringan yang luas ini juga digunakan untuk memperluas informasi melalui media sosial semisal WhatsApp.

Kedua, menggunakan jejak digital, atau situs berita yang kredibel untuk memperkuat berita yang dibuat agar lebih dipercaya publik. Namun terkadang berita-berita yang diambil palsu (disinformasi).

Ketiga, persuasif. Artinya membujuk pengguna media sosial lainnya untuk terlibat dalam penyebaran informasi. Bukan buzzer namanya jika tujuan utamanya bukan mempengaruhi opini publik.

Sejatinya buzzer merupakan efek domino media sosial yang melahirkan real virtuality. Tentu pertanyaannya adalah apakah buzzer itu memang ada?

Era digital merupakan kesatuan dunia nyata dengan dunia maya yang tidak dapat dipisahkan. Akibatnya, aktivitas 'goreng-gorengan' isu menjadi hal lumrah terjadi. Hal tersebut tentu dilakukan oleh individu-individu atau kelompok di dunia nyata. Terlepas akun anonim maupun tidak, namun siapa pun bisa menjadi bagian dari buzzer di media sosial bahkan tanpa ia sadari.

Jejak Digital Senjata Utama Buzzer

Di era media sosial saat ini, sulit rasanya membendung siapapun tidak terkena propaganda buzzer. Terlebih propaganda dengan tujuan tertentu, seperti politik dan bahkan spiral kebencian.

Konflik antara dr Tirta dengan para buzzer politik mengingatkan kita bahwa jejak digital memang berbahaya, karena bisa menjadi senjata yang makan tuannya. Di era big data saat ini, apalah daya tidak ada yang bisa aman bersembunyi. Jejak digital memang bisa menjadi momok yang menakutkan.

Ketangkasan para buzzer memanfaatkan informasi menjadikan perseteruan ini terjadi. Bagi buzzer hal-hal kontroversi akan menjadi senjata untuk menyerang kelompok atau individu yang tidak sesuai dengan kelompok atau opininya. Begitupun kontroversi yang menimpa dr Tirta, mungkin para buzzer tidak akan berulah jika tidak ada video mengenai penolakan dr Tirta seputar lockdown soal corona jauh-jauh hari.

Menengok pernyataan dr Tirta yang akan melawan para buzzer di media sosial memang sudah seharusnya dilakukan. Bagaimana pun propaganda harus dilawan dengan klarifikasi agar terjadi keseimbangan informasi. Atau setidaknya terjadi perlawanan balik opini yang kemudian bisa disimpulkan publik.

Pada akhirnya, kita dihadapkan pada fenomena politik post-thruth dimana kebenaran dan fakta kadangkala tertukar. Fakta-fakta alternatif seringkali berdatangan dan membingungkan publik. Hal ini tidak dapat terelakkan lagi melihat era yang sudah berubah saat ini.

Di era ini, kita harus berhati-hati dalam bermedia sosial, karena siapapun akan dibunuh oleh jejak digitalnya sendiri. Jejak digital yang tidak dapat dihapus, tidak berdampak saat ini, mungkin suatu saat akan merugikan diri sendiri. Dan yang utama ialah kehati-hatian dalam menimbang informasi. Artinya, kebijaksanaan bermedia sosial tetap harus menjadi acuan. Ibaratnya pisau yang berguna untuk memotong sayuran, juga untuk perilaku yang membahayakan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun