Mohon tunggu...
Tri Sukmono PBS
Tri Sukmono PBS Mohon Tunggu... Dosen - Tenaga Pengajar pada STKIP Bina Mutiara Sukabumi, Auditor pada Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi

Hobi membaca, senang menjadi narasumber di Bidang Manajemen Risiko

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyoal Kembali Ideologi Pendidikan di Indonesia

15 Mei 2024   08:14 Diperbarui: 28 Mei 2024   14:18 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak masa reformasi di negara tercinta ini, orang dengan latah bicara tentang rendahnya mutu pendidikan, semua kalangan membicarakan pendidikan dan menjadikan pendidikan sebagai obyek untuk jualan politik. Namun, pembicaraan tentang kualitas pendidikan ini ditafsirkan dengan keliru bahkan lebih banyak bersifat materialistik. Mungkin yang saya bicarakan ini bukanlah hal yang baru, tetapi kekeliruannya dan dampak buruk dari penafsiran tadi tetap berjalan hingga saat ini, bahkan lebih parah. Dunia modern dipengaruhi secara kuat oleh pandangan materialistik yakni kehidupan ekonomi. Makna kehidupan ditentukan oleh nilai ekonomi yang dapat dinikmati atau diperoleh setiap orang. Demikian pula berbagai sektor kehidupan diukur dengan nilai-nilai ekonomi.

Menurut Tilaar (2006) pemikiran ekonomi matereialistis juga memasuki juga dunia pendidikan nasional. Berpikir di dalam dunia pendidikan menggunakan epsitema-epistema yang berlaku dalam dunia ekonomi. Jadi benar tidaknya pendidikan diukur dari sejauhmana dunia pendidikan memberikan sumbangan terhadap kebutuhan perkembangan ekonomi. Sehingga bisa kita saksikan pendidikan saat ini menyiapkan lulusannya dengan memberikan kompetensi yang dituntut oleh kehidupan ekonomi. Lembaga-lembaga pendidikan lebih berfungsi sebagai lembaga-lembaga pelatihan untuk memperoleh komptensi-kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kompetensi-kompetensi tersebut adalah kompetensi-kompetensi yang dituntut oleh dunia modern yang terlepas dari idealisme pendidikan sebgaimana yang dikenal pada masa sebelumnya.

Kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat terus berubah, sehingga standar kompetensi pendidikan lebih banyak disesuaikan dengan standar yang dibuat oleh para pengusaha atau perusahaan. Dunia pendidikan tidak lagi memikirkan bagaimana menciptakan manusia yang cerdas namun berkarakter baik, manusia yang cerdas namun memiliki empati sosial yang tinggi dan seterusnya. Akan ada yang menyangkal pernyataan saya ini tentunya, dengan menunjukkan ini loh program pemerintah itu ada program yang terkait pembangunan karakter peserta didik. Oya memang program itu ada, tetapi apa indikator keberhasilannya? Apakah program itu tidak hanya sebatas formalitas saja yang mengutamakan out put dan tidak memikirkan out come. Apa buktinya kalau pendidikan di Indonesia ini sudah melakukan pendidikan yang mengembangkan karakter baik? Karena justru bukti tidak baik terlihat membentang dihadapan kita. Bukti-bukti itu antara lain kita banyak melahirkan lulusan yang cerdas banyak profesor dan doktor, namun tidak berkarakter baik. 

Kita bisa lihat para pelaku korupsi itu kebanyakan berpendidikan tinggi bukan pendidikan rendah, kita lihat bagaimana seorang dosen melakukan kejahatan seksual terhadap mahasiswa, guru melakukan kekerasan terhadap siswa, lembaga perguruan tinggi tidak peduli dengan tangisan mahasiswa yang menuntut pembayaran UKT yang fantastis ditetapkan oleh para pengurus perguruan tinggi yang sudah pasti tidak berpendidikan rendah.

Dengan kenyataan fakta-fakta yang ada, apakah kita akan tetap mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia ini adalah pendidikan yang berazaskan ideologi Pancasila? Apakah pendidikan Indonesia ini pendidikan bisa dikatakan berazaskan ideologi kapitalis atau materialistis? Akar pendidikan  kita seharusnya kembali kepada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 dan 2:

  • Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
  • Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Permasalahannya adalah para pendidik kesulitan bagaimana mengimplementasikan pendidikan yang memiliki spirit keagamaan, pendidikan yang membentuk akhlak mulia, dan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai Pancasila. Yang terjadi di lapangan adalah pendidikan hanya menyampaikan formalitas yakni mengajar atau mentransfer pengetahuan dan tidak mampu memberikan contoh praktik baik yang hidup yang bisa jadi panutan atau teladan.

Permasalahan lainnya adalah para pengajar kita baik di satuan pendidikan ataupun perguruan tinggi umumnya adalah orang-orang yang konsumtif terhadap teori dan konsep dunia barat yang sudah tentu dilandasi oleh falsafah ekonomi materialistis yang lebih memuja keberhasilan itu dengan standar ekonomi, kekayaan yang dikumpulkan, barang mewah yang digunakan, serta kecantikan dan ketampanan palsu yang menguras banyak uang. Kita tidak bangga dengan Pancasila, kita asing dengan Pancasila, kita bingung memahami Pancasila, kita bingung bagaimana mengamalkan Pancasila, kita bingung mencari figur teladan Pancasila.

Mungkin kita akan mengulang seruan serupa dari para tokoh nasional kita ditahun 1950-an yakni mari kita kembali kepada Pancasila. Pertanyaan berikutnya untuk kembali kepada sesuatu berarti kita harus ingat tentang sesuatu itu, untuk kita ingat kepada sesuatu itu berarti kita pernah lahir dan hidup bersama dengan sesuatu itu. Mungkinkah kita akan kembali kepada Pancasila bila tidak pernah lahir dan hidup bersama Pancasila dan lebih banyak hidup dengan falsafah asing? Bila demikian berarti banyak di antara kita sudah kehilangan jati diri sehingga tidak mampu mengingat tempat untuk kembali.

Saya kira sudah selayaknya kita melakukan tinjauan kembali secara kritis atas epistema-epistema ekonomi yang disisipkan dalam pendidikan. Epistema-epistema tadi membawa bahaya, yakni lahirnya manusia-manusia atau masyarakat yang terkungkung terpenjara oleh standar dan kompetensi yang statis dan terjebak pada bukti administrasi formal berupa sertifikasi-sertifikasi yang tidak menjamin pemegang sertifikatnya memiliki kompetensi sebenarnya.

Terdapat dua kekuatan besar yang memengaruhi jalannya pendidikan nasional yakni kekuatan politik dan kekuatan ekonomi.

Pertarungan Politik Dalam Kurikulum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun