"Hei, bangsat! Kamu siapa?" jawab seorang petugas.
Mas berteriak memanggil Pardi. "Manggil siapa kamu?" Seorang petugas menendang tubuh Mas.
"Ampun, Pak! Ampun!," rengek Pardi. Tubuhnya menunduk, hampir sujud di dekat kaki-kaki petugas tersebut.Â
Pardi bangkit dari tidurnya setelah mendengar teriakan Mas. Dia berlari dari  kejadian itu, memperhatikan dari balik pohon.
"Siapa yang suruh kamu duduk di sini? Mengganggu!" teriak seorang petugas, sambil menyeret kayu yang menghantam kepala Mas.
Mas menunduk, bersujud di kaki salah satu petugas, darah bercucuran dari hidungnya. "Ampun! Gusti, ampun!"
Petugas itu tertawa, dan yang lainnya mengikuti. "Sudah! Sudah! Bisa mati dia," cegah salah seorang petugas.
Mereka meninggalkan Mas yang tergeletak di trotoar, sementara Pardi menggotong tubuh sahabatnya ke bangku panjang taman yang tadi dia gunakan untuk tidur.
Keadaan semakin buruk. Darah di pipi Mas mengering, dan dia pingsan hingga pukul setengah lima sore. Pardi masih menangis, meneteskan air mata untuk sahabatnya yang terluka.
Mas akhirnya dibawa Pardi ke terminal. Tidak ada tempat berteduh selain terminal yang bau burung itu. Malam datang, penuh dengan nyamuk kurus, terminal tetap ramai. Lampu-lampu menyinari wajah-wajah manusia, baik yang terhormat maupun yang tidak.
Pardi duduk di samping Mas, di bekas kamar mandi terminal. Ia berpikir sahabatnya akan mati di sana, tanpa ada gejala untuk sadar kembali. Pardi berdoa kepada Tuhan, berharap ada kabar baik dari malaikat, berharap semoga Mas diberi kesempatan hidup.