Tempat makan itu terletak di antara terminal dan pasar burung. Pasar burung selalu ramai oleh pengunjung dari pagi hingga sore. Pasar ini tidak seperti pasar pada umumnya. Lebih menyerupai jajaran orang-orang yang menjual burung tanpa aturan, melanggar peraturan pemerintah dan mengisi trotoar semaunya. Mereka sudah beberapa kali diperingatkan oleh petugas, namun hanya mengangguk atau berjanji untuk berlalu, meskipun kenyataannya mereka tetap berada di sana.
"Mereka, para penjual burung itu---orang-orang lapar, Pardi," ucap Mas, saat bercerita tentang pasar burung.
"Iya, Mas. Macam kita," jawab Pardi sambil tersenyum. "Antar saya ke taman."
Pardi pun bersedia menuntun sahabat karibnya keluar dari tempat makan. Pasar burung sudah terdengar bersahutan dari arah timur. Pardi iseng menuntun Mas sepanjang trotoar, kaki Mas menjadi bagian dari kaki Pardi---kaki Pardi adalah sebagian kaki Mas.
Tahi burung berserakan di sepanjang trotoar menuju pasar burung. Pardi tersenyum-senyum, terutama ketika kaki Mas, yang Pardi tuntun, menginjak tahi burung. Mas mundur beberapa langkah, lalu mendeham. Mas tahu bahwa sahabatnya telah berbuat demikian padanya. Pardi tertawa, diiringi tawa dari seorang penjual burung yang sudah lama mereka kenal.
"Awas tahi burung, Mas!" teriak penjual burung, diikuti tawa terbahak-bahak.
"Pardi Bangsat!" Mas berteriak. Dengan tawa beriringan. Pardi dan penjual burung tertawa bersama.
Penjual burung itu bercerita, "Petugas itu bukan main repotnya. Kemarin mereka nunjuk-nunjuk ke arah burung saya."
"Burung yang mana?," tanya Pardi antusias, mas tersenyum. Penjual burung terdiam melirik ke ke beberapa arah.
"Urusannya negara---jadi susah bantunya," ikut mas selepas tersenyum tadi.
"Bener, susah juga. Â urusan negara---bisa bahaya," ujar Pardi sambil mengangguk.