Mohon tunggu...
Senopati Handoko Sakti
Senopati Handoko Sakti Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang Mahasiswa yang gemar menulis artikel, opini, jurnal, dll

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Stigma Negatif Anak di Luar Pernikahan dan Jaminan Perlindungannya

12 Juni 2025   14:30 Diperbarui: 12 Juni 2025   14:22 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang kita ketahui, dewasa ini banyak sekali kita jumpai anak-anak yang lahir di luar pernikahan orang tuanya dan kerap mendapatkan stigma miring nan negatif dikalangan kehhidupan sosial masyarakat. Mereka mendapat tekanan sosial atas status yang mereka tanggung bukan atas keinginan mereka sendiri. Hal ini kemudian menjadi sorotan penting diantara maraknya ketimpangan stigma sosial yang terjadi. Oleh karena itu, kita perlu membahas perlindungan hukum yang dapat melindungi hak-hak kemasyarakatan mereka.

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu kita ketahui apa itu anak di luar perkawinan. Anak di luar perkawinan atau yang kerap disebut anak di luar nikah adalah anak yang lahir dari pasangan yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah menurut agama dan/atau negara secara hukum. Hal tersebut terbagi menjadi 3 golongan, yaitu:

  1. Anak hasil hubungan di luar nikah (zina)

  2. Anak hasil kawin sirih (tidak tercatat di KUA)

  3. Anak dari perkawinan adat atau agama tetapi tidak tercatat secara negara.

Setiap anak yang lahir ke dunia, terlepas dari statusnya, mendapatkan hak yang sama dalam kehidupan. Mereka mendapatkan perlindungan yang mengacu pada asa non-diskriminasi melalui UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Akan tetapi, pada praktiknya, anak-anak yang lahir dari hasil hubungan di luar pernikahan sering kali dicemoohkan dan dianggap sebagai "anak haram" yang menyebabkan mereka menerima perlakuan yang timpang.

Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 43: "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya". Menurut undang-undang ini, seorang anak yang lahir di luar nikah tetap mendapatkan hubungan keperdataan tetapi hanya kepada ibunya. Akan tetapi, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materiil UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa anak-anak tersebut bisa mendapatkan hubungan keperdataan dengan ayahnya jika dapat dibuktikan bukti keturunannya berdasarkan pemeriksaan, dan diakui oleh yang disebut sebagai ayahnya.

Namun, dalam perspektif hukum Islam, mayoritas ulama berpendapat bahwa anak yang lahir di luar pernikahan (anak hasil zina) tidak memiliki hubungan nasab atau keperdataan dengan ayah biologisnya, melainkan hanya dengan ibunya. Nasab, hak waris, dan kewajiban nafkah hanya berlaku jika anak dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut syariat Islam. Dengan demikian, meskipun secara hukum negara anak luar nikah bisa memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, hukum Islam tetap membatasi pengakuan hubungan hukum tersebut hanya kepada ibu dan keluarganya.

Meski begitu, sejatinya setiap anak yang lahir ke dunia tidak boleh menanggung akibat hukum dari perbuatan orang tuanya, dimana mereka tetap memiliki hak sipil dan identitas yang diakui secara hukum, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya apabila diakui. Orang tua dari anak-anak tersebut wajib untuk memberi nafkah dan mengasuh anak-anaknya, hal ini kemudian menjadikan landasan penting bagi perlindungan anak agar tidak mendapatkan penyelewengan dari orang tuanya.

Dalam era percepatan dan perkembangan pergaulan dengan entitas yang sangat dinamis, tidak jarang kita menemukan berita-berita yang menggores hati, seperti anak sd yang melahirkan, seorang wanita yang membuang janinnya, dan masih banyak lagi. Jika kita gali lebih dalam, banyak sekali pertanyaan "mengapa mereka tega?". Mereka melakukan itu semua untuk menghindari tekanan atas konsekuensk dari perbuatan yang mereka terima. Dibalik orang tua yang keji tersebur, tidak jarang pula dapat dijumpai orang-orang yang tetap membesarkan anaknya walau anak tersebut adalah hasil hubungan gelap. 

Namun perlu digaris bawahi, mereka tumbuh bukan pula tanpa tekanan. Cemoohan "anak haram" mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari hingga mereka pun kebal akan hal tersebut. Meskipun undang-undang telah menjamin hak-hak setiap anak ataupun individu, pola pemikiran dan konotasi negatif masyarakat akan terus melekat karena dorongan dari budaya masyarakat itu sendiri. Jika mereka ditanya, mereka juga tidak mau seperti itu, tetapi takdir yang membawanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun