Mohon tunggu...
selasastra media
selasastra media Mohon Tunggu... media jurnal pemikiran & tafsir budaya

Selasastra Media adalah jurnal tafsir dan pemikiran independen. Lahir dari suara yang tak larut dalam wacana ramai, berpijak pada sikap, dan ditulis dengan kesadaran yang jernih. Kami menulis bukan untuk menyenangkan arus, tapi untuk menafsirkan realitas — secara jujur, tajam, dan kadang puitis. Rubrik tetap hadir tiap Selasa lewat #selasastra, dengan kemungkinan edisi khusus saat kenyataan perlu segera diungkap. Berpikir dalam, bersikap tegas, dan berbicara jernih — itulah cara kami menyapa semesta.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Pendakian Seorang Brahma Bertubuh Sudra - #selasastra episode 33

12 Agustus 2025   22:02 Diperbarui: 12 Agustus 2025   22:02 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Selasastra Eps 33 (sumber: konten original Ahmad Maulidi Adib)

Aku telah berdiri di sini jauh sebelum manusia belajar membedakan timur dan barat. Batu-batuku telah menelan langkah ribuan orang, tapi hari itu seorang pendaki datang membawa sesuatu yang lain. Dari langkah pertamanya di kakiku aku tahu ia mencium bau emas yang kusimpan di puncakku. Aromanya tipis namun menusuk, seperti rahasia yang hanya mau berbisik kepada kepala yang sanggup mendengarnya. Kepala brahma itu langsung mengenalinya. Aku bisa merasakan pikirannya bekerja, memetakan jalur di atas tubuhku. Batu mana yang harus diinjak, lereng mana yang harus dilipat jaraknya, jurang mana yang harus dihindari, bahkan saat matahari sore akan membuat puncakku berkilau sebagai penanda kemenangan.

Namun peta di kepalanya hanyalah gambar di udara. Tubuh sudra yang ia bawa adalah satu-satunya modal, dan modal itu rapuh. Bekal airnya hanya setengah botol. Sepatunya tipis, solnya menganga di sisi. Tali tasnya kusut seperti sedang menunggu waktu untuk terputus. Di sakunya hanya ada sisa biji kopi kering yang ia pungut di pos pendakian, tanda bahwa ia bahkan tak memiliki ruang untuk berlebih.

Langkahnya pelan, berusaha menukar luasnya pikiran dengan tipisnya perbekalan. Di jalur awal ia sempat menyalip beberapa pendaki yang bergerak lambat. Mereka sempat kagum ketika ia menyebutkan jalur alternatif yang lebih singkat. Tapi saat kemiringanku mulai menekan dari segala arah, mereka melaju dengan peralatan lengkap, sementara ia berhenti lebih sering daripada berjalan. Nafasnya seakan aku sedot pelan-pelan. Setiap langkah menjadi keputusan. Aku melihat matanya mulai menghitung bukan lagi jarak menuju puncak, tetapi berapa kali lagi kakinya mampu mengangkat tubuhnya sendiri.

Di tengah perjalanan ia melewati sekelompok pendaki yang tertawa di pelukanku. Mereka membagi air, membuka roti tebal yang aromanya menguar. Seseorang menawarinya seteguk. Ia menolak. Bukan karena ia tidak haus, aku tahu itu, tapi karena ia sadar tak punya apa-apa untuk mengembalikannya. Modal sudra yang ia bawa tak memberinya ruang untuk menjadi dermawan. Untuk dirinya sendiri saja ia harus berhemat rasa.

Langkahnya terus menanjak. Kepalanya kian tajam. Ia melihat jalur rahasia yang bahkan para pemandu yang sering menapaki tubuhku tidak tahu. Ia menyusun strategi agar pendakian ini selesai lebih cepat. Di kepalanya ia sudah berdiri di puncakku. Emas itu dalam genggaman. Mimpi-mimpi yang akan ia bangun darinya berbaris menunggu perintah. Namun semua itu hanya hidup di dalam sana. Di dunia nyata, tangannya meraih batu, kakinya gemetar, dan sisa air tinggal satu tegukan. Modalnya semakin tipis seperti pasir yang lolos dari sela jarinya.

Akhirnya ia sampai di tebing terakhir sebelum puncakku. Hanya beberapa puluh meter memisahkan kami. Aku tahu ia tahu emas itu menunggu di atas sana. Kepalanya memerintah untuk maju. Tubuh sudranya memohon berhenti. Modal yang ada tak lagi sanggup membayar risiko. Aku mendengar benturan suara di kepalanya. Naik dan mati di tengah jalan atau diam dan tetap hidup. Naik dan mati atau diam dan hidup. Kalimat itu berputar seperti mantra yang merobek keyakinannya.

Ia berdiri lama di situ. Angin dari puncakku membawa aroma emas yang lebih pekat, dingin, dan mengejek. Aku melihatnya menimbang seribu cara untuk meraihnya namun tak satu pun bisa ia gunakan. Sakitnya bukan di kaki, bukan di paru-paru, tapi di dadanya. Sakit hidup di antara dua kutub yang tak pernah bersentuhan. Kepala yang sanggup menjangkau surga, kaki yang hanya sanggup melangkah di tanah lembap penuh lumpur. Kepala yang bisa melihat cahaya, tangan yang hanya bisa menggenggam debu.

Perlahan ia memunggungi puncakku dan mulai turun. Bau emas itu masih menempel di tubuhnya, terbawa sampai jauh di kaki gunung. Dan aku tahu, ini bukan terakhir kalinya ia hidup dengan aroma kemenangan yang hanya bisa ia cium, tapi tak pernah ia genggam.

Penulis: Ahmad Maulidi Adib

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun