Budiman menyampaikan gagasannya dengan gaya reflektif dan historis, mengaitkan situasi sekarang dengan Reformasi 1998 dan Ketetapan MPR 2001 tentang etika berbangsa. Ia menegaskan krisis moral dengan menunjuk hilangnya tokoh bangsa yang menjadi panutan, seperti Gus Dur dan Buya Syafii Maarif. Retorika ini memperkuat pesan bahwa politik kehilangan arah moral. Namun, penekanannya pada figur individu membuat solusi terasa kurang konkret.
 Ia menegaskan krisis moral dengan menunjuk hilangnya tokoh bangsa yang menjadi panutan, seperti Gus Dur dan Buya Syafii Maarif.Â
Tulisan ini tajam dalam mengkritik krisis etika politik, tetapi cenderung normatif karena hanya menyoroti hilangnya keteladanan pribadi. Padahal, masalah sumpah yang dilupakan tidak hanya disebabkan oleh lemahnya moral individu, melainkan juga oleh struktur politik yang oligarkis dan transaksional. Penulis belum menyinggung solusi sistemik, seperti reformasi kelembagaan atau penguatan masyarakat sipil. Kritik ini tetap penting, tetapi agar lebih berdampak harus diikuti tawaran jalan keluar, bukan sekadar nostalgia moral. (3)
Di tengah riuh rendah persoalan bangsa, kita kembali disuguhi kenyataan yang membuat rakyat semakin kehilangan kepercayaan. DPR, lembaga yang seharusnya menjadi corong aspirasi, justru sibuk membangun benteng kenyamanan diri sendiri. Rakyat menuntut transparansi soal anggaran, mereka menutup pintu rapat dengan alasan prosedural. Publik menagih etika komunikasi, yang hadir justru kalimat-kalimat arogan yang menyinggung hati. Inilah wajah krisis etika dan moral yang nyata hari ini.
Fenomena itu sejatinya berkelindan dengan apa yang pernah diingatkan Rahardi tentang bangsa yang gampang panik pada ulat bulu, tapi abai pada persoalan jauh lebih besar: kepemimpinan yang rapuh. Editorial Tempo juga telah memberi bukti betapa hukum bisa dipermainkan demi kepentingan segelintir elit, persis sebagaimana DPR kerap memelintir aturan untuk melanggengkan fasilitas. Sementara Budiman dengan gamblang menyebut sumpah jabatan hanya tinggal teks mati, dan bukankah itu kini semakin terbukti ketika sumpah memperjuangkan rakyat digadaikan demi kursi, proyek, dan kepentingan pribadi?
Masalah ini bukan sekadar soal individu yang khilaf. Ia sudah menjadi penyakit struktural. Dari DPR hingga eksekutif, dari partai hingga birokrasi, moralitas yang pudar melahirkan arogansi, dan arogansi melahirkan apatisme rakyat. Ketika kepercayaan publik runtuh, demokrasi hanya tinggal panggung sandiwara yang meninabobokan. Pertanyaannya adalah sampai kapan kita membiarkan keadaan ini terus berjalan? Apakah kita akan terus menonton, atau mulai sadar bahwa krisis ini adalah milik kita bersama, yang hanya bisa diubah bila kita berani menghadapinya?
Pertanyaannya adalah sampai kapan kita membiarkan keadaan ini terus berjalan? Apakah kita akan terus menonton, atau mulai sadar bahwa krisis ini adalah milik kita bersama, yang hanya bisa diubah bila kita berani menghadapinya?
Sumber artikel:
1. Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu  (F. Rahardi, Kompas.com)
2. Sandiwara Penyelesaian Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo)
3. Ketika Sumpak dan Etika hanya Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024) Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI