Mohon tunggu...
Samuel Dave Kan
Samuel Dave Kan Mohon Tunggu... Pelajar SMA Kolese Kanisius Jakarta

Siswa Kolese Kanisius

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangsa yang Lupa Sumpah, Mengabaikan Rakyat

21 September 2025   20:52 Diperbarui: 21 September 2025   21:03 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: id.pngtree.com)

Bangsa ini sedang dilanda krisis yang lebih dalam daripada sekadar permasalahan lingkungan atau teknis birokrasi.

F. Rahardi menulis artikel Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu dengan gaya satir dan reflektif, menunjukkan bahwa ketakutan berlebihan terhadap ulat bulu hanyalah fobia yang merugikan diri sendiri. Ia membandingkan bagaimana generasi terdahulu justru memanfaatkan ulat sebagai sumber pangan dan aksesori bernilai, sementara masyarakat kini histeris tanpa alasan ilmiah yang kuat. Artikel ini secara cerdas mengaitkan isu kecil seperti ulat bulu dengan persoalan besar bangsa, yaitu krisis kepemimpinan dan moral. Dengan demikian, kritik yang diangkat lebih luas dari sekadar isu lingkungan.

Rahardi menyampaikan gagasannya melalui pendekatan naratif yang memadukan pengalaman pribadi, sejarah, pengetahuan ilmiah, hingga analogi religius. Ia mengawali dengan fenomena alam sederhana, lalu mengaitkannya dengan krisis sosial, politik, dan moral bangsa. Retorikanya penuh ironi, misalnya menyebut Indonesia sebagai "republik hantu" yang dipenuhi pemimpin dan rakyat yang mudah terkena fobia. Gaya ini membuat pesannya tajam sekaligus menggugah pembaca untuk berpikir kritis.

Retorikanya penuh ironi, misalnya menyebut Indonesia sebagai "republik hantu" yang dipenuhi pemimpin dan rakyat yang mudah terkena fobia. 

Artikel ini berhasil mengangkat isu lokal yang sepele menjadi refleksi nasional tentang ketidakmampuan bangsa menghadapi persoalan serius. Kritik terhadap moralitas pemimpin yang rapuh, politik yang korup, serta masyarakat yang mudah panik menunjukkan adanya krisis rasionalitas publik. Namun, tulisan ini lebih banyak bernuansa retoris dan simbolis ketimbang analitis, sehingga solusi yang ditawarkan tidak konkret. Meski begitu, kekuatan artikel ini justru terletak pada sindiran tajamnya yang menyadarkan kita bahwa fobia kolektif, baik pada ulat bulu maupun pada politik, hanya akan merugikan bangsa sendiri. (1)

Editorial Tempo dalam artikel Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal secara tegas mengkritisi lambannya penanganan kasus pagar laut ilegal dan menyoroti tarik ulur kewenangan antar instansi. Penulis menunjukkan bahwa lemahnya sikap pemerintah dapat merusak kepercayaan publik serta memicu konflik sosial. "Semrawutnya penanganan kasus ini akan menambah ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah, yang terkesan tutup mata sejak keberadaan pagar laut itu dilaporkan Mei 2023."

Penulis menyampaikan gagasan dengan gaya editorial yang lugas, kritis, dan berbasis pada investigasi lapangan. Artikel ini memperkuat argumentasinya dengan menyebutkan keterangan pejabat, dokumen yang diperoleh Tempo, serta dugaan keterlibatan kelompok usaha besar. "Penelusuran Tempo dalam dua pekan terakhir mendapatkan banyak dokumen dan keterangan masyarakat yang menguatkan dugaan bahwa pemasangan pagar laut ilegal sudah lama dirancang."

Artikel ini memperkuat argumentasinya dengan menyebutkan keterangan pejabat, dokumen yang diperoleh Tempo, serta dugaan keterlibatan kelompok usaha besar.

Artikel ini memperlihatkan bahwa hukum bisa menjadi sandiwara ketika kepentingan elit ekonomi dan politik ikut bermain. Ketidakjelasan instansi dalam menangani kasus ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum dan keberpihakan negara terhadap rakyat. "Lemahnya proses hukum hanya menguatkan anggapan bahwa negara telah kalah di hadapan kepentingan pengusaha yang menjadi dalang praktik ilegal tersebut." Editorial ini penting sebagai peringatan bahwa pembiaran terhadap praktik semacam itu akan menimbulkan krisis kepercayaan dan konflik sosial yang merugikan bangsa. (2)

Artikel ini mengungkap ironi sumpah anggota DPR yang hanya menjadi formalitas tanpa makna dalam praktik politik sehari-hari. Budiman Tanuredjo menyoroti bagaimana elite politik dengan mudah mengabaikan konstitusi demi kepentingan sendiri. Kritik ini relevan karena memperlihatkan lemahnya komitmen moral dalam demokrasi Indonesia. Tanpa kesetiaan pada sumpah dan etika, demokrasi berisiko hanya menjadi prosedur kosong.

Budiman menyampaikan gagasannya dengan gaya reflektif dan historis, mengaitkan situasi sekarang dengan Reformasi 1998 dan Ketetapan MPR 2001 tentang etika berbangsa. Ia menegaskan krisis moral dengan menunjuk hilangnya tokoh bangsa yang menjadi panutan, seperti Gus Dur dan Buya Syafii Maarif. Retorika ini memperkuat pesan bahwa politik kehilangan arah moral. Namun, penekanannya pada figur individu membuat solusi terasa kurang konkret.

 Ia menegaskan krisis moral dengan menunjuk hilangnya tokoh bangsa yang menjadi panutan, seperti Gus Dur dan Buya Syafii Maarif. 

Tulisan ini tajam dalam mengkritik krisis etika politik, tetapi cenderung normatif karena hanya menyoroti hilangnya keteladanan pribadi. Padahal, masalah sumpah yang dilupakan tidak hanya disebabkan oleh lemahnya moral individu, melainkan juga oleh struktur politik yang oligarkis dan transaksional. Penulis belum menyinggung solusi sistemik, seperti reformasi kelembagaan atau penguatan masyarakat sipil. Kritik ini tetap penting, tetapi agar lebih berdampak harus diikuti tawaran jalan keluar, bukan sekadar nostalgia moral. (3)

Di tengah riuh rendah persoalan bangsa, kita kembali disuguhi kenyataan yang membuat rakyat semakin kehilangan kepercayaan. DPR, lembaga yang seharusnya menjadi corong aspirasi, justru sibuk membangun benteng kenyamanan diri sendiri. Rakyat menuntut transparansi soal anggaran, mereka menutup pintu rapat dengan alasan prosedural. Publik menagih etika komunikasi, yang hadir justru kalimat-kalimat arogan yang menyinggung hati. Inilah wajah krisis etika dan moral yang nyata hari ini.

Fenomena itu sejatinya berkelindan dengan apa yang pernah diingatkan Rahardi tentang bangsa yang gampang panik pada ulat bulu, tapi abai pada persoalan jauh lebih besar: kepemimpinan yang rapuh. Editorial Tempo juga telah memberi bukti betapa hukum bisa dipermainkan demi kepentingan segelintir elit, persis sebagaimana DPR kerap memelintir aturan untuk melanggengkan fasilitas. Sementara Budiman dengan gamblang menyebut sumpah jabatan hanya tinggal teks mati, dan bukankah itu kini semakin terbukti ketika sumpah memperjuangkan rakyat digadaikan demi kursi, proyek, dan kepentingan pribadi?

Masalah ini bukan sekadar soal individu yang khilaf. Ia sudah menjadi penyakit struktural. Dari DPR hingga eksekutif, dari partai hingga birokrasi, moralitas yang pudar melahirkan arogansi, dan arogansi melahirkan apatisme rakyat. Ketika kepercayaan publik runtuh, demokrasi hanya tinggal panggung sandiwara yang meninabobokan. Pertanyaannya adalah sampai kapan kita membiarkan keadaan ini terus berjalan? Apakah kita akan terus menonton, atau mulai sadar bahwa krisis ini adalah milik kita bersama, yang hanya bisa diubah bila kita berani menghadapinya?

Pertanyaannya adalah sampai kapan kita membiarkan keadaan ini terus berjalan? Apakah kita akan terus menonton, atau mulai sadar bahwa krisis ini adalah milik kita bersama, yang hanya bisa diubah bila kita berani menghadapinya?

Sumber artikel:

1. Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu  (F. Rahardi, Kompas.com)
2. Sandiwara Penyelesaian Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo)
3. Ketika Sumpak dan Etika hanya Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024)  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun