Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hoax Vs Filsafat

4 Juni 2019   10:09 Diperbarui: 4 Juni 2019   10:24 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pada tingkatan kecerdasan dan kesadaran tertentu, dimana proses perubahan dialektik telah lepas dari belenggu kesadaran pikiran, hoax tidak dapat berkembang biak, namun tidak pernah mati. Sejarah membuktikan, sebelum abad ke-14, peradaban Eropa masih rendah, disebut zaman kegelapan, dimana selama berabad-abad kesadaran pikiran dikuasai nilai-nilai buatan gereja. Ketika itu ilmu pengetahuan dianggap sebagai ilmu hitam, dilarang dipelajari. Dimulai sekitar abad ke-14, beberapa pemikir, penyair, dan seniman, memelopori kesadaran dan pemikiran baru,  dikenal sebagai zaman pencerahan (Renaissance). Sejak itu bangsa Eropa telah lepas dari belenggu, dan proses perubahan secara dialektik mengantarkan  bangsa Eropa menguasai dunia. 

Pada tingkat peradaban yang sudah mapan -katakanlah di Eropa atau Amerika Utara-, justru hoax  memicu pikiran dan kesadaran manusia secara progresif menjadi lebih cerdas. Artinya kebenaran dan ketidak-benaran (kebohongan) tidak lagi terpolarisasi beroposisi, tapi dalam satu kesatuan kontradiksi yang terus menerus berinteraksi saling merubah, menciptakan pikiran dan kesadaran baru yang lebih tinggi lagi (progresif), Filsuf Hegel menyebutnya sebagai dialektika. Dalam dialektika, hoax sebagai kebohongan (tesis) tidak dapat lepas liar sendiri tanpa kehadiran anti kebohongan (anti tesis), terus menerus saling mengubah dalam kontradiksi menciptakan kebenaran baru (sintesis). Pada tingkatan ini  hoax tidak dapat berkembang liar, apalagi sampai "hoak melahirkan hoak" atau "hoak diatas hoak"  seperti dalam kehidupan Indonesia hari ini. Dengan memahami hoak secara dialektika, maka hoax bukan hal yang mengkhawatirkan apalagi menakutkan. 

4. Penangkalan hoax adalah jangka panjang

Omong kosong bila ada orang memberikan kiat-kiat menangkal serangan hoax secara instan. Hoax selalu berubah dan menyesuaikan dalam pikiran dan kesadaran manusia. Tak akan pernah ada suatu kiat instan untuk menangkal sesuatu yang selalu berubah.  Satu-satunya cara penangkalan adalah dengan dialektika. Contoh kongkrit kembali ke hantu, didalam pikiran dan kesadaran kebanyakan manusia Indonesia,  ciri-ciri wujud atau gejala-gejala hantu ada, sehingga apabila melihat objek atau merasakan suatu gejala yang sesuai dalam pikiran dan kesadarannya adalah hantu, maka dia akan memastikan itu adalah benar-benar hantu. Persepsi hantu dalam kesadaran dan pikiran itu sudah tercipta dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Adalah pekerjaan sia-sia menjelaskan secara instan bahwa tidak ada hantu.  Sepanjang belenggu pikiran dan kesadaran manusia Indonesia itu masih dalam kurungan level sekarang ini, maka hoaks berkembang liar, selalu berubah wujud menyesuaikan dengan kesadaran dan pikiran itu. Hoak melahirkan hoak atau "hoak diatas hoak", menjadi kusut  dalam belenggu kesadaran dan pikiran. 

Kebijakan anti hoak, pemberantasan hoax, kampanye anti hoak atau apapun sebutannya, adalah omong kosong dan pencitraan belaka. Kadang-kadang untuk menutupi segala kelemahan dan keburukan, dengan mudahnya akan di "kambing hitamkan" kepada jahatnya Hoax. Lebih ironi lagi, musuh-musuh politik dibui karena tuduhan penyebar kebohongan dan kebencian melalui hoax. 

Satu-satunya cara penangkalan hoax adalah melepaskan belenggu kesadaran berpikir, atau dengan kata lain  meningkatkan tingkat peradaban manusia Indonesia. Peningkatan peradaban adalah pekerjaan besar dan  jangka panjang, melalui peningkatan kualitas manusia Indonesia,  Kualitas manusia Indonesia tidak ada hubungannya dengan jumlah Sarjana, S-2, Doktor atau Profesor karena itu hanya ukuran-ukuran yang dibuat kepentingan birokrat.  Pendidikan yang baik dan berkualitas adalah solusinya. Namun persoalannya, arti  "yang baik dan berkualitas" akan selalu dimanipulasi oleh orang-orang berkuasa mengambil keuntungan, sehingga pendidikan bukan mencerdaskan tapi justru "pembodohan". 

5. Hoax dapat bermanfaat positip

Meskipun lebih sering digunakan dengan niat jahat dalam upaya memperoleh kekuasaan,  sesungguhnya hoax dapat juga diterapkan untuk tujuan baik, atau demi kepentingan Bangsa/Negara (bukan kepentingan orang yang memimpin Bangsa/Negara). Dalam upaya melindungi kepentingan kedaulatan bangsa/negara dari  pengaruh kekuasaan negara/bangsa lain, maka setiap negara memiliki lembaga intelejen. Dalam dunia intelejen,  khususnya kontra-intelejen ataupun kontra-spionase, penyebaran informasi bohong dan palsu (distorsi informasi) merupakan kelaziman untuk mengetahui pemahaman subjek (bisa kawan atau lawan) terhadap suatu objek dengan memantau dan mengukur reaksi dan respon dari subjek tersebut. Selanjutnya melalui analisa intelejen, dapat diperoleh produk intelejen berupa: deteksi ancaman, peringatan dini, operasi netralisir, atau operasi pemusnahan.  Karena subjek (lawan atau kawan) juga melakukan hal yang sama, maka kegiatan intelejen menjadi  "permainan" dan seni adu kecerdasan.

Dalam kehidupan umum sehari-hari, hoax dapat juga digunakan untuk menguji dan menilai subjek (seseorang, kelompok, publik, atau pasar)  dengan me-survey dan mengukur reaksi dan respon dari subjek terhadap suatu objek (konten hoax). Selanjutnya melalui analisa yang sesuai, diperoleh produk berupa: kesetiaan dan loyalitas, saingan, strategi iklan, strategi pemasaran, strategi kampanye dan sebaginya).

Selaku rakyat biasa, juga dapat memanfaatkan hoax secara positip. Kita dapat menilai ketulusan kesadaran dan pikiran pejabat negara dan politikus, dengan menilai dan mengukur reaksi dan respon mereka terhadap informasi bohong atau palsu --atau mereka sendiri yang membuatnya-, sehingga kita memutuskan memilih atau tidak memilihnya. Untuk itu memang butuh kecerdasan dialektika, karena mereka juga cerdas, bermodal, dan berkuasa. Ibarat senjata pedang, hoax itu tidak jahat, orang jahatlah menjadikannya jahat!   

6. Pengenalan filsafat sejak dini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun