Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hoax Vs Filsafat

4 Juni 2019   10:09 Diperbarui: 4 Juni 2019   10:24 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Persoalan hoax tidak akan pernah tuntas dibahas, tetap dipermasalahkan sepanjang masa, karena hoax adalah esensi peradaban manusia. Begini enam faktanya:

1. Hoax esensi peradaban manusia

Filsuf Nietzsche mengagas, bahwa kehendak untuk berkuasa (Will to Power) adalah hakekat dari segala-galanya: dunia, hidup, dan ada (being). Semua makhluk hidup, semua benda, alam semesta, atau apa saja yang ada, pada hakekat berkehendak untuk berkuasa. Hakekat itu yang membuat peradaban dunia ini seperti apa-adanya dahulu, apa-adanya detik ini,  hingga apa-adanya diakhir peradaban. Kehendak untuk berkuasa ada dalam diri individu manusia, kelompok, golongan, ras, suku, agama/keyakinan dan bangsa/negara. Kuasa yang dikehendaki manusia adalah segala-galanya, apa saja yang dalam kesadaran dan pikirannya ada. Contoh kongkrit,  keturunan (umumnya wanita), makanan, harta benda, kenikmatan, kegembiraan, keamanan, kenyamanan, kehormatan, dan kemasyuran. dunia, hingga alam semesta. 

Melewati proses evolusi yang panjang, kehendak untuk berkuasa mengembangkan kesadaran dan pikiran spesies awal menjadi manusia pertama. Kehendak untuk berkuasa memaksa manusia berkelompok dan bermasyarakat. Syarat terbentuknya kelompok atau masyarakat adalah adanya kesadaran dan pikiran pada nilai-nilai bersama. Proses pembentukan nilai-nilai bersama tersebut mengharuskan adanya kesadaran dan pikiran sesorang untuk mempengaruhi kesadaran dan pikiran orang lain. Proses pembentukan nilai-nilai bersama, adalah yang kita sebut sebagai peradaban. Proses tersebut berlangsung terus dari awal peradaban hingga detik ini, dan terus  hingga akhir peradaban manusia.

Kehendak untuk berkuasa-lah membuat peradaban manusia sukses melewati zaman ke zaman:  pembunuhan antar manusia (zaman primitif), perang antar suku (zaman barbarisme), menguasai tenaga dan kehidupan (zaman perbudakan), menguasai hak-hak tanah dan modal (zaman feodal), dan hari ini zaman modern menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehendak untuk berkuasa melalui proses perubahan kontradiksi terus-menerus secara dialektik menciptkan peningkatan kesadaran bahwa, menguasai itu tidak harus membunuh, memperbudak, atau kolonialisai, tetapi lebih beradab dan efektif berkuasa dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti hari ini. 

Hoax pada prinsipnya adalah, adanya kesadaran dan pikiran sesorang untuk mempengaruhi kesadaran dan pikiran orang lain. Proses mempengaruhi kesadaran dan pikiran orang lain memerlukan objek. Objek tersebut bisa ada bisa tidak. Bila objek tersebut disadari dan dipikirkan ada,  meskipun hakekatnya tidak ada, maka itu diterima sebagai kebenaran. Demikian sebaliknya, bila objek tersebut hakekatnya ada tapi disadari dan dipikirkan tidak ada, maka diterima sebagai kebohongan.  Dengan demikian, sesungguhnya kebenaran atau kebohongan ada dalam pikiran dan kesadaran manusia, kebenaran adalah subjektif. Analoginya sama dengan keberadaan hantu,  hantu itu ada karena ada didalam kesadaran dan pemikiran manusia, bila didalam kesadaran dan pemikiran tidak ada hantu, maka tidak ada hantu. Filsafat empiris menyatakan bila hakekat 'ada' tidak dapat dibuktikan maka 'ada' tidak ada. Filsafat ini menyatakan hantu tidak ada.


Kehendak untuk berkuasa menuntun kesadaran dan pikiran menggunakan segala cara --termasuk menyebarkan kebohongan- untuk mempengaruhi atau memanipulasi kesadaran dan pikiran orang lain sebagaimana yang dikehendakinya, sehingga dengan sendirinya dikuasailah orang lain tersebut. Sejarah mencatat bahwa propaganda dan indoktrinisasi (hoax juga) telah diterapkan luas dan intensif oleh rezim otoriter di banyak negara.  Ahli propaganda Nazi Jerman, Goebbels, sangat cerdik dalam penyebaran berita bohong. Dia berkata  "Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi kebenaran". Sedangkan kebohongan sempurna, kata Goebbels, adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja. Dalam dunia intelejen, hoax adalah "permainan" sekaligus seni adu kecerdasan.

Tingkat peradaban bangsa Indonesia bervariasi dalam spektrum lebar, dimana budaya zaman primitif masih ada -mungkin lebih banyak- hingga berkebudayaan modern. Dalam kesenjangan peradaban, golongan peradaban tinggi --lebih cerdas, makmur, dan kuasa- akan mudah memanipulasi pikiran dan kesadaran golongan peradaban paling rendah. Hidup dalam kemajuan teknologi digital hari ini, segelintir orang berperadaban tinggi --elite politik beserta pemilik modal- akan memanipulasi dan selanjutnya mengusai pikiran dan kesadaran manusia Indonesia  -yang kebanyakan berperadaban rendah- melalui teknologi informasi digital. Hoax bukan hal baru, hanya teknologinya yang berbeda. 

2. Hoax tidak dapat dimusnahkan

Karena hoax esensi peradaban dalam Kehendak untuk berkuasa, maka hoax tidak dapat dimusnahkan. Tanpa Kehendak untuk berkuasa, manusia punah atau tidak berkembang dari kehidupan hewan. Peningkatan kebudayaan dan peradaban dari zaman ke zaman adalah karena Kehendak untuk berkuasa. Sepanjang peradaban manusia masih ada maka hoax tetap ada menyertainya. Akan tetap ada individu, kelompok, ras, agama/keyakinan, bangsa/negara yang menggunakan hoax untuk menguasai manusia Indonesia. Sejarah membuktikan, sejak zaman Hindu hingga hari ini, manusia di Indonesia dikuasai kesadaran dan pikirannya oleh peradaban dari luar. 

3. Hoax dapat ditangkal

Pada tingkatan kecerdasan dan kesadaran tertentu, dimana proses perubahan dialektik telah lepas dari belenggu kesadaran pikiran, hoax tidak dapat berkembang biak, namun tidak pernah mati. Sejarah membuktikan, sebelum abad ke-14, peradaban Eropa masih rendah, disebut zaman kegelapan, dimana selama berabad-abad kesadaran pikiran dikuasai nilai-nilai buatan gereja. Ketika itu ilmu pengetahuan dianggap sebagai ilmu hitam, dilarang dipelajari. Dimulai sekitar abad ke-14, beberapa pemikir, penyair, dan seniman, memelopori kesadaran dan pemikiran baru,  dikenal sebagai zaman pencerahan (Renaissance). Sejak itu bangsa Eropa telah lepas dari belenggu, dan proses perubahan secara dialektik mengantarkan  bangsa Eropa menguasai dunia. 

Pada tingkat peradaban yang sudah mapan -katakanlah di Eropa atau Amerika Utara-, justru hoax  memicu pikiran dan kesadaran manusia secara progresif menjadi lebih cerdas. Artinya kebenaran dan ketidak-benaran (kebohongan) tidak lagi terpolarisasi beroposisi, tapi dalam satu kesatuan kontradiksi yang terus menerus berinteraksi saling merubah, menciptakan pikiran dan kesadaran baru yang lebih tinggi lagi (progresif), Filsuf Hegel menyebutnya sebagai dialektika. Dalam dialektika, hoax sebagai kebohongan (tesis) tidak dapat lepas liar sendiri tanpa kehadiran anti kebohongan (anti tesis), terus menerus saling mengubah dalam kontradiksi menciptakan kebenaran baru (sintesis). Pada tingkatan ini  hoax tidak dapat berkembang liar, apalagi sampai "hoak melahirkan hoak" atau "hoak diatas hoak"  seperti dalam kehidupan Indonesia hari ini. Dengan memahami hoak secara dialektika, maka hoax bukan hal yang mengkhawatirkan apalagi menakutkan. 

4. Penangkalan hoax adalah jangka panjang

Omong kosong bila ada orang memberikan kiat-kiat menangkal serangan hoax secara instan. Hoax selalu berubah dan menyesuaikan dalam pikiran dan kesadaran manusia. Tak akan pernah ada suatu kiat instan untuk menangkal sesuatu yang selalu berubah.  Satu-satunya cara penangkalan adalah dengan dialektika. Contoh kongkrit kembali ke hantu, didalam pikiran dan kesadaran kebanyakan manusia Indonesia,  ciri-ciri wujud atau gejala-gejala hantu ada, sehingga apabila melihat objek atau merasakan suatu gejala yang sesuai dalam pikiran dan kesadarannya adalah hantu, maka dia akan memastikan itu adalah benar-benar hantu. Persepsi hantu dalam kesadaran dan pikiran itu sudah tercipta dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Adalah pekerjaan sia-sia menjelaskan secara instan bahwa tidak ada hantu.  Sepanjang belenggu pikiran dan kesadaran manusia Indonesia itu masih dalam kurungan level sekarang ini, maka hoaks berkembang liar, selalu berubah wujud menyesuaikan dengan kesadaran dan pikiran itu. Hoak melahirkan hoak atau "hoak diatas hoak", menjadi kusut  dalam belenggu kesadaran dan pikiran. 

Kebijakan anti hoak, pemberantasan hoax, kampanye anti hoak atau apapun sebutannya, adalah omong kosong dan pencitraan belaka. Kadang-kadang untuk menutupi segala kelemahan dan keburukan, dengan mudahnya akan di "kambing hitamkan" kepada jahatnya Hoax. Lebih ironi lagi, musuh-musuh politik dibui karena tuduhan penyebar kebohongan dan kebencian melalui hoax. 

Satu-satunya cara penangkalan hoax adalah melepaskan belenggu kesadaran berpikir, atau dengan kata lain  meningkatkan tingkat peradaban manusia Indonesia. Peningkatan peradaban adalah pekerjaan besar dan  jangka panjang, melalui peningkatan kualitas manusia Indonesia,  Kualitas manusia Indonesia tidak ada hubungannya dengan jumlah Sarjana, S-2, Doktor atau Profesor karena itu hanya ukuran-ukuran yang dibuat kepentingan birokrat.  Pendidikan yang baik dan berkualitas adalah solusinya. Namun persoalannya, arti  "yang baik dan berkualitas" akan selalu dimanipulasi oleh orang-orang berkuasa mengambil keuntungan, sehingga pendidikan bukan mencerdaskan tapi justru "pembodohan". 

5. Hoax dapat bermanfaat positip

Meskipun lebih sering digunakan dengan niat jahat dalam upaya memperoleh kekuasaan,  sesungguhnya hoax dapat juga diterapkan untuk tujuan baik, atau demi kepentingan Bangsa/Negara (bukan kepentingan orang yang memimpin Bangsa/Negara). Dalam upaya melindungi kepentingan kedaulatan bangsa/negara dari  pengaruh kekuasaan negara/bangsa lain, maka setiap negara memiliki lembaga intelejen. Dalam dunia intelejen,  khususnya kontra-intelejen ataupun kontra-spionase, penyebaran informasi bohong dan palsu (distorsi informasi) merupakan kelaziman untuk mengetahui pemahaman subjek (bisa kawan atau lawan) terhadap suatu objek dengan memantau dan mengukur reaksi dan respon dari subjek tersebut. Selanjutnya melalui analisa intelejen, dapat diperoleh produk intelejen berupa: deteksi ancaman, peringatan dini, operasi netralisir, atau operasi pemusnahan.  Karena subjek (lawan atau kawan) juga melakukan hal yang sama, maka kegiatan intelejen menjadi  "permainan" dan seni adu kecerdasan.

Dalam kehidupan umum sehari-hari, hoax dapat juga digunakan untuk menguji dan menilai subjek (seseorang, kelompok, publik, atau pasar)  dengan me-survey dan mengukur reaksi dan respon dari subjek terhadap suatu objek (konten hoax). Selanjutnya melalui analisa yang sesuai, diperoleh produk berupa: kesetiaan dan loyalitas, saingan, strategi iklan, strategi pemasaran, strategi kampanye dan sebaginya).

Selaku rakyat biasa, juga dapat memanfaatkan hoax secara positip. Kita dapat menilai ketulusan kesadaran dan pikiran pejabat negara dan politikus, dengan menilai dan mengukur reaksi dan respon mereka terhadap informasi bohong atau palsu --atau mereka sendiri yang membuatnya-, sehingga kita memutuskan memilih atau tidak memilihnya. Untuk itu memang butuh kecerdasan dialektika, karena mereka juga cerdas, bermodal, dan berkuasa. Ibarat senjata pedang, hoax itu tidak jahat, orang jahatlah menjadikannya jahat!   

6. Pengenalan filsafat sejak dini

Filsafat adalah cara berfikir dan berkesadaran untuk memahami keber-ada-an dan kebenaran. Sebagaimana telah dijelaskan, hanya pikiran dan kesadaran tidak terbelenggu yang dapat menangkal hoax, pada hakekatnya itulah filsafat. Semua metode keilmuan yang dipelajari sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi di Indonesia hasil perkembangan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang pada mulanya berinduk pada filsafat. Namun hari ini, ilmu yang dipelajari di Pendidikan Nasional kehilangan akar pijakannya pada filsafat. Negara Finlandia --sistem pendidikannya terbaik di dunia-, adalah contoh, dimana filsafat telah diajarkan sejak usia 7 tahun. Di Indonesia, pendidikan sudah menjadi bagian birokrasi dan dimanipulasi menjadi "SPJ". Pendidikan yang kini berlaku  dapat juga disebut "Pembodohan",  sudah saatnya untuk kita pertanyakan.  Bahkan konstitusi pun -- anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional-, yang kedengarannya haru menyentuh hati, tapi sesungguhnya adalah strategi manipulatif dan mengecoh dari orang-orang jahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun