Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memodernisasikan Diri Sendiri atau Negara?

8 Mei 2017   21:07 Diperbarui: 9 Mei 2017   20:56 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: www.spiritjourneysworldwide.com"][/caption]

Seorang teman ternyata masih menilai standar modernitas berdasarkan seberapa majunya teknologi atau peradaban di suatu negara. Bagi saya mungkin penilaian semacam ini klise dan tidak akseptabel pada suatu bangsa. Apapun itu negaranya; apakah dia Amerika, negara-negara Eropa, atau Jepang sekalipun, tentu kita tak bisa begitu saja melihat mereka dan mematoknya sebagai ukuran kemajuan suatu negara.

Banyak hal yang mendasari kemajuan pada suatu negara. Dan kalau kita bicara soal aspek internal —apakah itu spiritual atau intelektual— tentu hal ini menjadi faktor penting dalam kemajuan tersebut.

Okelah kalau kita tak usah dulu mengaitkan dengan ihwal agama dalam memandang faktor-faktor semacam itu. Dalam arti, apakah itu norma agama atau norma konsensus suatu negara, kalau hal tersebut tidak dipatuhi pastinya kita tidak akan jadi bangsa yang maju.

Bagaimana kita mesti melihat kemajuan negara-negara yang sudah di atas angin itu? Saya sendiri memandangi mereka secara internal, yaitu dari sikap atau etos mereka. Kalau mereka begitu semangat untuk belajar, mestinya kita bisa mencontoh mereka. Kalau mereka begitu patuh pada hukum dan punya rasa tanggungjawab yang besar pada suatu hal, mestinya kita bisa belajar dari situ. Saya kira inilah permasalahan fundamental pada diri kita. Kita terlalu sewot untuk berbicara dan ngiri terhadap mereka. Kita memelototi mereka hanya sekedar tampilan luarnya saja dan tidak secara internal. Nyatanya, kita masih kerkep (keras kepala) ketika dibilangi, dinasehati, atau dikritik. Bagaimana kita bisa bicara soal modernitas negara kita, kalau sikap seperti itu masih ada pada diri masing-masing? Logikanya, bagaimana bisa kita bisa maju bersama-sama sebagai bangsa yang kompak? Perubahan itu tentu tidak lain berawal dari diri sendiri. Kalau seseorang hendak mengubah suatu masyarakat kolektif, pastinya dia harus menanamkan suatu pengetahuan penting di dalam setiap pribadi. Dan saya rasa, secara personal, masyarakat di sana memang sudah mempunyai sikap demikian sejak mereka lahir dan melihat dunia. Di sini, saya pun menyadari hal ini justru setelah beranjak dewasa. Dan mau tak mau, di saat seperti inilah saya kembali menanamkan pada diri saya etos-etos atau sikap-sikap demikian.

Kemana saja saya selama ini sehingga fundamen itu bisa terabaikan? Ini jadi pertanyaan yang lucu bagi diri saya sendiri. Lagipula, siapa yang akan memodernisasi diri kita sendiri kalau bukan karena kemauan pribadi? Apa kita akan menunggu sampai pemerintah memodernisasikan diri kita dengan konsepsi-konsepsi mereka? Atau, yang paling sederhana, kita bisa berdoa kepada Tuhan supaya Dia memodernisasikan diri kita. Apa kita sudah mendoakan hal itu? Lagipula, saya rasa tak usahlah kita menunggu tindakan dari orang lain. Buktinya, kita ini kesatuan. Bayangkan kalau satu orang, satu orang lain, satu orang yang lain lagi, satu orang berikutnya, satu orang, satu orang dan seterusnya tidak mau acuh pada dirinya sendiri. Maka kalau satu-satu orang dari kita tadi tetap bersikap tak mau tahu pada bangsa dan dirinya sendiri, itulah yang disebut sebagai kesatuan. Dalam arti, bahwa satu orang saja tentu mempunyai dampak bagi orang lain, baik itu secara langsung atau tidak.

Dari ihwal demikian juga saya jadi berimaji, bagaimana seandainya aspek-aspek internal kita sudah mantap. Saya tak mau berandai-andai kita akan punya gedung-gedung tinggi atau jalan yang tak lagi berlubang-lubang membentuk kolam kecil-kecilan. Cukup bayangkan saja kalau kita tak lagi menemukan orang-orang yang ngeyel kalau ditilang; orang-orang yang tak sibuk buat sidang praperadilan; orang-orang yang mau buang sampah pada tempat sampah, dan lain sebagainya. Pokoknya tak usah terlalu tinggi berimajinasi dulu-lah. Bagaimana kita bisa sampai pada ketinggian semacam itu kalau dasarnya saja belum beres? Bukannya apa, kalau hal itu pun tetap dipaksakan, saya was-was, jangan-jangan nanti bentuk modernitas itu malah makin tak beres dan kacau. Lha, jadi makin kompleks persoalannya. Tidak, permasalahan itu tak akan beres kalau tidak dari fundamennya, yaitu diri kita, sikap kita.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun