Mohon tunggu...
Sathya Vahini
Sathya Vahini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Udayana

Mahasiswi Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana, Bali. Mempunyai beberapa cerpen dan novel di antaranya Ster-Vin, Love Before Meet, Ridiculous Triangle, Mawar Putih, Senja Bersama Malaikat, Moon's Gift and Violence of the World, dll. Penulis introvert yang menyukai bakso pedas, cokelat, ice matcha, kedamaian, musik, membaca, dan menulis tentunya. Bercita-cita akting di film horor/fantasi sekaligus menjadi sutradara genre tertentu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Empati Tinggi, Kecaman Masyarakat Tak Menepis Dedikasi Woman Support Woman

8 Desember 2022   13:30 Diperbarui: 17 Januari 2023   22:13 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dialah Nur Janah. Lahir dan dibesarkan di sebuah desa kecil di daerah yang memasuki zona WITA. Wanita yang ditakdirkan untuk berjuang menghentikan kekerasan terhadap perempuan itu lahir pada 1980. Ia merupakan lulusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Program Studi Matematika.

Keseharian Nur semasa kecilnya dibalut kehangatan dan canda tawa bersama dua saudara perempuan dan dua saudara laki-lakinya. Ayah Nur mencari nafkah dengan menekuni pekerjaan sebagai seorang petani, sedangkan ibunya berjualan bakulan keliling.

Dibalik kehangatannya bersama keluarga, awan gelap juga turut menyelimutinya. Semasa kecilnya, Nur kerap kali menyaksikan kekerasan terhadap perempuan terjadi di sekitarnya. Kekerasan menjadi hal yang lumrah, diterima, bahkan ditoleransi oleh masyarakat setempat. Tidak ada seorangpun yang berani melaporkan hal tersebut karena dianggap aib keluarga.

Sebagai seorang perempuan yang memiliki empati terhadap sesama perempuan dan korban kekerasan, Nur tidak tinggal diam. Ia memiliki tekad dan keinginan yang kuat untuk mengakhiri kekerasan. 

Selama hampir 20 tahun, Nur terlibat dalam perlindungan perempuan dan korban kekerasan. Melaporkan segala bentuk kekerasan yang terjadi di wilayahnya menjadi sebuah rutinitas. Bersama rekan-rekannya yang juga berjiwa sosial, mereka menggalakkan dukungan publik dengan menulis di media, menjadi sumber yang dikenal luas demi menyuarakan keadilan bagi perempuan, dan menghapus segala bentuk kekerasan.


Selain kekerasan, variasi masalah kehidupan lainnya juga turut ia saksikan. Ada juga persoalan mengenai pernikahan di bawah umur. Sebuah kasus mengenai pernikahan dini pun turut melibatkan Nur di dalamnya. 

Kasus tersebut dimulai ketika Nur sedang mendampingi sekelompok perempuan di suatu desa di Lombok. Mereka berdiskusi dan saling berbagi cerita tentang kehidupan mereka. Di kelompok itu, ada seorang wanita, sebut saja Intan, yang memiliki dua orang anak. Anak pertamanya sudah duduk di bangku SMP, sedangkan anak keduanya masih duduk di bangku SD. Suaminya adalah seorang pekerja migran di Malaysia sebagai buruh kelapa sawit. Nur dan Intan saling bertukar cerita dan mulai akrab.

Hingga tiba suatu malam, Intan menghubungi Nur melalui telepon. Ia memberitahu Nur bahwa Dinda (nama samaran), putri pertamanya itu belum juga pulang. Intan panik setelah mengetahui bahwa Dinda telah diminta untuk menikah dengan Angga, pacar Dinda. Dan untuk sementara waktu, Dinda diminta untuk tinggal di rumah keluarga Angga.

Di samping itu, ada sebuah paradigma di Lombok. Jika seorang anak gadis dan pacarnya tidak pulang sampai larut malam, maka mereka harus menikah. Jika tidak menikah, pihak perempuan akan dianggap sebagai gadis yang tidak suci lagi. Tentu saja masyarakat akan mengucilkan mereka jika sampai hal itu terjadi.

Setelah kabar pahit itu, keesokan harinya Nur dan Intan menghubungi pihak sekolah. Mereka mengajak pihak sekolah untuk bersama-sama mengunjungi rumah keluarga Angga. Pihak sekolah pun bersedia. 

Tiba di sana, mereka meminta agar pernikahan ditunda. Pihak sekolah membantu menegaskan bahwa mereka hanyalah anak-anak yang belum memahami arti pernikahan yang sebenarnya. Bahwa pernikahan adalah tanggung jawab seumur hidup. Pernikahan memerlukan persiapan yang matang, baik dari segi finansial, mental, maupun tanggung jawab. 

Di rumah Angga, Intan menangis sembari memohon kepada putrinya itu untuk pulang dan melupakan soal pernikahan. Pihak sekolah juga meminta agar Dinda dan Angga tetap bersekolah. Setelah berunding panjang lebar, akhirnya semua pihak sepakat untuk menunda pernikahan.

Tak lama setelah kejadian itu, takdir berkata lain. Meraih akhir yang bahagia ternyata tidak semudah itu. Kemalangan tak dapat dihindari. Sekali lagi, Intan harus menerima kenyataan yang menyakitkan. Dinda mengaku kalau ternyata ia telah hamil dan meminta untuk menikah. Dan dengan pasrah, Intan kembali menghubungi Nur. Ia memberitahu Nur tentang kabar itu sambil menangis tersedu-sedu.

Mendengar kabar itu, Nur bergegas mendatangi rumah Intan untuk berbicara dengan keluarga wanita tersebut. Seluruh keluarga sangat marah dan menolak menerima kenyataan bahwa Dinda harus segera menikah.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Dinda sudah hamil dan harus menikah. Dua hari kemudian, Dinda dan Angga terpaksa dinikahkan. Namun, pernikahan yang telah berlangsung itu dianggap tidak sah karena tidak dicatat oleh negara.

Dua bulan setelah menikah, Dinda dan Angga bercerai karena alasan yang hanya mereka yang tahu. Intan hanya bisa menerima keputusan mereka dengan tabah. Alhasil, sekarang ialah yang harus bertanggung jawab terhadap Dinda dan si calon bayi. 

Kondisi ekonomi Intan semakin hari semakin tidak mendukung. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang tengah mengandung, memenuhi kebutuhannya sendiri pun ia tidak sanggup. Suami Intan yang tengah berada di Malaysia sudah berusaha membantu secara finansial namun tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya Intan menghubungi Nur sekali lagi. Mereka berdiskusi untuk mencari jalan keluar. 

Setelah berdiskusi penuh pertimbangan, akhirnya mereka sepakat bahwa Dinda akan tinggal untuk sementara waktu di instansi pemerintah yang bersedia menanggung semua biaya hidup dan kesehatannya sampai ia melahirkan. Dinda pun tidak menolak.

Dua bulan setelah melahirkan, Dinda pulang dengan sehat. Bayi yang dilahirkannya juga sehat. Ia dan Intan saling menyemangati. Nur yang mendengar kabar itu juga turut bahagia. 

Beberapa bulan berlalu, setelah mempertimbangkan banyak hal, dan anaknya itu sudah cukup besar, akhirnya Dinda memutuskan untuk kembali bersekolah dengan mengikuti ujian paket B.

Demikianlah sepenggal kisah menyentuh yang melibatkan Nur. Bersama keluarga korban, Nur berjuang untuk mencari jalan keluar. Dan masih banyak pula kasus serupa yang kerap terjadi di kampung halaman Nur. Baik kekerasan terhadap perempuan, pernikahan dini, dimana kedua hal itu harus segera dibenahi untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Namun dibalik menjalani aktivitasnya dengan sabar dan berani, perjalanan itu tidaklah mudah bagi Nur. Tak dapat dipungkiri bahwa ia kerap mendapat cibiran dari lingkungannya. Masyarakat mengecam Nur karena perbuatannya itu dinilai melawan pria. Padahal niat Nur murni hanya untuk memperjuangkan keadilan satu sama lain tanpa memandang gender, dan tanpa ada yang paling berkuasa atas yang lain. Ia ingin dunia mengetahui bahwa sebenarnya Tuhan menciptakan dunia untuk perdamaian, bukan untuk kekerasan.

Kendati demikian kecaman tersebut tidak mematahkan semangat Nur. Ia tetap konsisten melakukan apa yang menjadi tujuannya. Ia melewati semua dengan keberanian besar.

Bersama dengan para wanita, Nur juga berhasil mendirikan sebuah organisasi bernama InSPIRASI (Institut Perempuan Untuk Perubahan Sosial) NTB. Organisasi ini juga menggaet banyak sekolah, untuk bersama-sama menyosialisasikan pendewasaan usia pernikahan, dan juga mencari solusi bagi anak usia sekolah yang kedapatan akan menikah untuk menunda pernikahan hingga sudah cukup umur.

Bersama warga desa ia membantu menata desa tempat tinggalnya agar menjadi desa percontohan yang akan mendukung segala upaya pemberantasan kekerasan.

Nur juga mengusulkan gerakan menanam dari rumah dalam upaya membangun ketahanan pangan keluarga. Adapun tanaman pangan yang mereka tanam ialah bayam, cabai, kangkung, kentang, tomat, dan tanaman pangan lainnya yang mudah ditanam di rumah. 

Sejak dini, anak-anak di desa diajarkan untuk mencintai dan merawat lingkungan tempat tinggal mereka karena lingkungan adalah sumber kehidupan. Anak-anak juga diajarkan untuk saling menghargai antar sesama manusia tanpa adanya kekerasan. Karena sejatinya semua masalah dapat diselesaikan dengan kepala dingin tanpa perlu melakukan kekerasan.    

Ruang belajar bersama untuk anak-anak desa
Ruang belajar bersama untuk anak-anak desa

InSPIRASI NTB
InSPIRASI NTB

      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun