Mohon tunggu...
Saroh Jarmin
Saroh Jarmin Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Tinggal di Kab. Lebak, Banten

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Di Bawah Langit Malam Kota Bandung

22 Maret 2018   13:49 Diperbarui: 23 Maret 2018   00:07 2595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sudah puas?" tanyanya tak kumengerti.

"Apanya?" kukerutkan dahi dan memicingkan mata. Sengaja kutunjukkan ketidakmengertianku.

"Memandangiku." jawabnya sambil tersenyum narsis. Tapi harus kuakui, kali ini aku dibuatnya malu. Inilah yang tak bisa disembunyikan. Bagaimana pun ia masih sebagai malaikat hati yang menghuni ruang nuraniku yang terdalam.

"Hmmm..." desahnya, tak kupahami. Sedikit kumajukan badanku ke meja dan membiarkan tanganku menopang dagu. Lekat kutatap lagi Rizal yang sedang menghirup Cappuccino dan kemudian menghisap rokoknya yang sudah terbakar sepotong.

"Kalau ditanya apa keinginanku saat ini," ia terhenti sesaat. Setengah berbalik ke arahku dan menyimpan rokoknya di asbak, ia menatapku. Tajam sekali. Aku balas menatapnya. Kudengar ia menghela napas, dan setengah berbisik ia melanjutkan kalimatnya.

"Aku ingin mengulang untuk melamarmu kembali seperti sembilan tahun silam." katanya. Ia masih menatapku. Aku hanya terdiam, lekat dan tajam membalas tatapannya. 

Tiba-tiba buliran bening menderas di pipiku. Kata-kata Rizal membuatku tak mampu berkata apa-apa. Andai ia tahu. Itulah juga yang ingin kulakukan sekarang. Memutar waktu, mengembalikannya pada sembilan tahun yang lalu. Saat kata-kata lamaran tidak resmi Rizal terdengar lebih indah daripada alunan musik Beethoven.

Ada penyesalan yang membuatku merasakan nyeri di ulu hati. Mengapa waktu itu aku tak kembali lagi ke Bandung? Mengapa aku mengingkari janjiku pada Rizal? Sebuah pilihan sulit harus kuhadapi saat itu. Sangat dilematis. Satu sisi aku sangat ingin menepati janjiku kepada Rizal untuk kembali ke kota impian ini. Tapi kepulanganku ke rumah setelah selesai kuliah, yang kuniatkan hanya akan tinggal beberapa hari, telah memaksaku menghapus mimpi-mimpiku tentang Bandung dan Rizal.

Orang tuaku tak mengizinkan aku kembali ke Bandung. Sampai akhirnya, sambil terus berharap Rizal selalu menempatkanku di ruang terindah di hatinya, aku tak kembali ke Bandung. Aku menjalani hari-hariku bersama gemuruh semangat dan langkah-langkah kecil pengabdianku di dunia pendidikan. Minggu berlalu, bulan berganti. 

Keterbatasan waktu dan sarana komunikasi di kampungku waktu itu membuatku perlahan menepikan Rizal. Bukan karena tak lagi mencintainya, tapi jarak Bandung dan tempat tinggalku serta guliran waktu membuatku fesimis untuk bisa kembali bersamanya. Meski tak henti membawanya dalam setiap doaku, getar yang kurasakan pun kian berjarak. Terlalu banyak cemburu yang tak terungkapkan. Terlalu banyak rindu yang tak terkatakan. Rizal pun kubiarkan terus menepi dan kupaksa diriku untuk belajar memahami realita.

Dan di sinilah kami kini. Di bawah langit malam Kota Bandung, kami bertemu kembali setelah segalanya berubah. Yang kuhadapi kini adalah sebuah kemustahilan untuk bisa mereguk kemesraan jiwa bersama Rizal. Lima tahun yang lalu, ia menikah dengan seorang perempuan yang biasa kusebut teteh. Mereka bahagia. Dan semakin bahagia dengan kehadiran Rafly, putranya yang kini berusia empat tahun. Pada batas ini, sungguh aku tak beda dengan seekor pungguk yang merindukan bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun