Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Remehkan Pelecehan Seksual Sekecil Apapun!

26 November 2019   22:45 Diperbarui: 27 November 2019   20:38 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
instagram.com/ivana_kurniawati/

Rusul, gadis Baghdad berusia sekitar 10-15 tahun itu telah menikah. Bukan hanya sekali, dua kali, atau, tiga kali, tapi tak terhitung.

Sebelum bertemu dengan seseorang yang membuatnya jatuh hati, ia tidak bisa memahami bagaimana ada di lingkungannya seorang perempuan berusia seumuran dia, atau bahkan lebih dewasa dari dia, bergonta ganti pasangan hanya untuk mendapatkan uang. 

Ia bertekad sekecil apapun gaji di tempat ia bekerja, ia tidak akan pernah mau memilih pekerjaan bergonta-ganti pasangan itu. Hingga suatu ketika, seorang laki-laki terlihat seperti memahami apa yang tengah ia pikirkan, laki-laki itu berhasil menarik perhatiannya. Dan berhasil membuat laki-laki itu menikahi dia. 

Dia berfikir bahwa hidupnya akan bahagia selamanya, serasa lepas beban-beban hidupnya, tapi ternyata pernikahan itu berjangka waktu.

Setelah waktunya habis, laki-laki itu pergi entah kemana. Rusul lalu menemui seorang yang disebut ulama, yang menikahkannya waktu itu, ulama itu bilang bahwa ia telah melakukan kawin kontrak. Rusul tidak bisa membaca dan menulis, itu sebab dia tidak tahu maksud perjanjian yang pernah ia tandatangani itu.

Ulama itu bilang, Rusul telah rusak, tak ada lagi yang bisa ia perbuat kecuali mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bergonta-ganti pasangan untuk dinikahi, meski itu hanya berjalan selama 3 jam. 

Ulama itu telah memilihkan pasangan untuk dia, dan dia tidak pernah bisa mengatakan tidak. Ia hanya pasrah. Sumber: bbc.co.uk

Dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia Internasional pada tanggal 10 Desember 2019, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA) bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta (FISIP UNS) menyelenggarakan kegiatan dengan tema "Melaung Hak Asasi Manusia". 

Kegiatan ini diadakan pada 26-27 November 2019 di FISIP UNS.

Kegiatan tersebut berupa Talkshow: 1) HAM dan Inklusi Sosial di Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan; 

2) Workshop Paralel: a) HAM dan Pers Mahasiswa Hari Ini, b) Kekerasan Terhadap Perempuan di Masa Lalu dan Masa Kini, c) Udar Rasa Pendidikan HAM Bersama Para Pendidik, d) Seni Budaya sebagai Pendekatan dalam Promosi Hak Asasi Manusia, dan e) Visual Literasi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia; 

3) Diskusi dan Pemutaran Film "Istirahatlah Kata-Kata"; 4) Pameran Foto "Para Pembuka Jalan Harkat Korban untuk Martabat Bangsa"; 5) Napak Tilas Reformasi 1998; 6) Dua Jam Harmoni HAM.

https://www.instagram.com/indonesiauntukkemanusiaan/?hl=id
https://www.instagram.com/indonesiauntukkemanusiaan/?hl=id
Dari beragam agenda yang dijadwalkan, saya mengikuti Workshop "Kekerasan Terhadap Perempuan di Masa Lalu dan Masa Kini." 

Workshop ini dilaksanakan di Public Space 3 FISIP UNS pada 26 November 2019 pukul 13.00-15.30 dengan menghadirkan empat narasumber, yaitu Bu Dewi dari Jejer Wadon, Bu Layla dari Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPUK), Mbak Lisa dari Sambut, Lindungi, dan Rangkul (SALIRA) UNS, dan Bu Ratna dari Komnas HAM.

Berikut ilmu yang saya dapatkan hari ini dengan beberapa tambahan dari sepengetahuan saya yang saya ambil dari beberapa sumber. Sebagai catatan, sebagian dari kisah ini, terutama kekerasan perempuan di masa lalu belum diakui secara formal dalam sejarah di Indonesia.

Kekerasan Terhadap Perempuan di Masa Lalu
Tidak ada yang berubah, kekerasan terhadap perempuan di masa lalu dan masa kini sama saja terjadi di Indonesia, bahkan di dunia. Cuplikan kisah yang saya tulis untuk menjadi pembuka artikel ini terjadi di negara lain.

Bu Dewi, selaku narasumber pertama, menunjukkan selendang berwarna kuning yang bergambar beragam perempuan era penjajahan. Perempuan-perempuan itu adalah korban kekerasan seksual yang saat ini sebagian ada yang masih hidup, dan sebagian sudah meninggal.

Bu Dewi bercerita, anak-anak usia 9 hingga 15 tahun diculik, dibawa pergi secara paksa oleh para penjajah untuk dijadikan budak seks. Orang tua mereka tidak ada yang tahu kemana perginya anak perempuannya itu.

Mereka tiba-tiba menghilang, ada yang kembali, ada yang entah kemana. Gadis-gadis pribumi berusia 9-15 tahun itu tidak tidak hanya sekali diperkosa, salah satu dari mereka mengaku diperkosa 17 tentara, hingga rahimnya rusak.

Salah satu pejuang HAM adalah Eyang Tuminah, berasal dari Karanganyar (berbatasan dengan Solo dan Wonogiri, tempat saya tinggal), perempuan pertama yang berani berbicara pada Jepang untuk meminta maaf kepada 250 ribu perempuan Asia Pasifik. 

Malang nasibnya, ia malah diperkosa di Hotel Best Western, Solo Baru. Kini kuburannya ada di Solo.

Tahun 1965, fitnah seksual dialami oleh menteri perempuan pertama di Indonesia, yaitu SK Trimurti dari Boyolali.

Tahun 1998, perkosaan masal terjadi pada Tionghoa. baca: Perkosaan Masal 1998 Itu Terjadi.

Ita Martadinata, korban pemerkosaan Mei 98, dibunuh sebelum sempat bersaksi untuk PBB. Sumber: Tirto.id

Korban kekerasan itu tidak hanya pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Widji Thukul, meninggal di tempat dan waktu yang tidak diketahui. Hilang sejak diduga diculik pada 27 Juli 1998 di usia ke 34. Ia adalah sastrawan dan aktivis Ham yang berani melawan penindasan rezim Orde Baru.

Kekerasan di Aceh
Konflik Aceh terjadi pada 1976-2005 yang dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperoleh kemerdekaan dari Indonesia. 

Menurut catatan Bu Layla, semenjak pemberlakuan Daerah Operasional Militer (DOM) untuk melawan gerakan separatis GAM, tahun 1990-2003 adalah kekerasan seksual pada perempuan yang paling besar di Aceh.

Para perempuan menjadi korban karena anggota keluarganya dituduh sebagai separatis GAM. Para perempuan itu dipaksa melayani para militer dari kebutuhan pakaian, makan, hingga budak seks. 

Bahkan organ tubuh mereka ada yang dipotong, rahim mereka rusak, hingga mengalami kebocoran kandung kemih. Mereka melahirkan anak-anak dari militer. 

Mereka tidak bisa lapor kepada pemerintah, karena kantor-kantor pemerintah dijadikan pos-pos militer. Bahkan ada yang mengaku mereka diperkosa anaknya sendiri.

Kekerasan di Papua
Kekerasan seksual di Papua ditulis oleh Jim Elmslie, dalam pengantar buku berjudul "Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua" yang ditulis oleh Filep Karma, mantan tahanan politik karena dituduh melakukan pengkhianatan kepada negara.

Kebiadaban paling memilukan saya dengar dalam sebuah pengadilan warga soal pembantaian Biak, yang digelar di Universitas Sydney, 6 Juli 2003. Seorang perempuan yang selamat dari pembantaian itu, Tineke Rumakabu, menjelaskan perlakuan terhadapnya oleh sekelompok tentara di salah satu fasilitas tentara. Dua belas perempuan dan anak gadis ditelanjangi, dipukul dan diperkosa oleh para tentara.

Saya melihat seorang pria memperlihatkan kami satu pisau kecil, pisau yang biasa kau pakai bercukur, lantas ia bilang, 'Kita akan pakai ini untuk memotong v***** kalian, dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan'. Saya menyaksikan seorang anak perempuan, mereka memperkosanya dan lantas ia tewas. Darah berceceran dimana-mana karena v***** perempuan dan kli*****nya dipotong serta diperkosa berulang kali. Mereka juga memukuli perempuan lainnya dengan bayonet dan lantas memotong leher juga p******* perempuan  tersebut.

Kekerasan Masa Kini
Mbak Lisa, ia adalah mahasiswa UNS yang mendirikan Salira (berkepanjangan: Sambut. Lindungi, dan Rangkul). Mbak Lisa adalah satu dari sekian korban pelecehan seksual. 

Ia mengaku bahwa dosennya telah melakukan tindakan tidak baik kepada dirinya. Mbak Lisa adalah satu dari beberapa orang yang mampu bangkit dan menjadi pribadi yang berjuang demi tegaknya hak asasi manusia.

Mbak Lisa mengatakan, saat ini pola kekerasan seksual beranekaragam. Contoh kecilnya adalah melalui catcalling, ketika kita di jalan kemudian ada laki-laki yang suit-suit ke kita, maka sebenarnya itu sudah termasuk pelecehan seksual dalam kategori rendah.

Contoh lain, dalam lingkup antara dosen dan mahasiswa, ketika seorang dosen mengatakan kepada mahasiswanya cantik, maka itu sudah masuk pada ranah pelecehan seksual.

Contoh lagi yang saat ini terjadi pada perempuan-perempuan muslimah, mereka sering digombali dengan "Assalamu'alaikum, ukhti." Ini sebenarnya juga termasuk pelecehan seksual. Pelecehan melalui teknologi, seperti sticker atau meme yang merendahkan perempuan.

Contoh dalam kategori pelecehan seksual lebih tinggi, ketika laki-laki dan perempuan berpacaran lalu perempuan menunjukkan foto put***nya kepada pacarnya, ketika perempuan minta putus maka laki-laki mengancam akan menyebarkan foto-foto tersebut.

Pelecehan seksual tidak hanya terjadi oleh perempuan, tetapi juga bisa dialami oleh laki-laki. Contoh, sekarang ini banyak artis-artis yang beradegan banci agar menarik minat para penonton. Pihak televisi yang meminta adegan tersebut, sebenarnya telah melakukan tindak pelecehan terhadap laki-laki.

Dampak dari Pelecehan Seksual
Dampak dari pelecehan seksual diantaranya telah disebutkan dimuka seperti anak yang tidak jelas statusnya dan organ tubuh yang rusak. Selain itu adalah dikucilkan oleh masyarakat.

Mengatasi Korban Pelecehan Seksual
Ibu Ratna menambahkan bahwa kawin sirri dan kawin kontrak merupakan pelecehan seksual. Perempuan hanya dijadikan untuk melayani nafsu para lelaki. Seperti yang terjadi pada Rusul. 

Maka yang harus dilakukan oleh korban jika menghadapi pelecehan seksual adalah laporkan kepada pihak-pihak yang berwenang seperti Komnas HAM, komunitas seperti Salira. 

Di luar sana banyak korban pelecehan seksual tetapi tidak berani melapor atau malu jika melapor. Sehingga yang terjadi adalah data-data yang ada tidak bisa dijadikan patokan karena data-data tersebut hanya berdasarkan dari yang melapor.

Lalu apa sebenarnya akar dari pelecehan seksual ini? Menurut Mbak Dewi, akar dari pelecehan seksual adalah:

  1.  Cara pandang yang diskriminatif, dimana perempuan dianggap lemah, perempuan dianggap second class being (kelas kedua).
  2. Sex education (pendidikan seks) dianggap tabu oleh masyarakat.
  3. Mitos bahwa perempuan adalah simbol kesucian dan keperawanan. Kesucian dan keperawanan merupakan suatu mitos yang diyakini bahwa itu benar-benar ada. Ketika seseorang mengalami pelecehan seksual maka orang-orang akan mengatakan bahwa dia sudah tidak suci, dia sudah tidak perawan, padahal sebenarnya mereka tetap masih utuh. Stigma inilah yang menyebabkan perempuan yang mengalami pelecehan seksual menjadi terhina. Padahal ia adalah korban.
  4. Budaya masyarakat yang menganggap pemerkosaan adalah hal biasa, tontonan seksualitas di tv dianggap hal biasa.
  5. Salah kaprahnya menggunakan bahasa seperti seks bebas atau pergaulan bebas. Mengapa seks dikatakan bebas? Apakah seks itu dilakukan di dalam bus? di sekolah? di pasar? di mall? seks biasanya dilakukan ditempat tertutup, jadi tidak bisa dikatakan bebas.

Lalu pergaulan bebas, setiap manusia dalam bergaul memang seharusnya harus bebas, bebas bergaul dengan siapa saja. Jika bergaul itu tidak bebas kita malah dianggap terlalu tertutup, tidak memiliki teman, dan bahkan bisa stress karena tidak memiliki hak untuk bebas bergaul dengan siapa saja.

Terakhir, apa yang seharusnya kita lakukan terhadap korban pelecehan seksual? Ibu Ratna mengatakan berikan dukungan dan penerimaan. Dukung dia untuk bangkit, untuk berani melaporkan, katakan bahwa mereka masih utuh, mereka masih perawan, mereka masih suci.

Terimalah mereka jadi sahabatmu, jangan biarkan mereka menjadi tertutup bahkan depresi. Dan berikanlah edukasi kepada keluarga korban dan masyarakat bahwa korban adalah korban yang harus kita dukung dan kita terima.

Mbak Lisa mengatakan, jangan salahkan dia, jangan salahkan pakaiannya, jangan salahkan dia yang tidak mengenakan jilbab, ia adalah korban yang saat itu sedang mengalami tahap down, jangan malah menjadikan dia tambah down dengan menyalahkannya.

Demikian, semoga uraian ini bermanfaat. Uraian ini dibagikan karena saya pribadi ingin memulai dari diri saya sendiri untuk tidak menganggap pendidikan tentang seks itu sebagai hal yang tabu. Pendidikan seks itu penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun