Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

5 Hal Privasi Dalam Kehidupan

15 Oktober 2019   10:00 Diperbarui: 15 Oktober 2019   13:24 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com

Senin, 14 Oktober 2019, media Korea mengabarkan bahwa Sulli, artis dan penyanyi Korea Selatan, meninggal dunia dengan cara gantung diri. Aksi gantung diri yang dilakukan Sulli diduga karena depresi akibat nyinyiran netizen. Diketahui Sulli sempat mendapatkan perawatan kesehatan mental. Ia mengaku mengidap panic disorder (serangan panik) dan social phobia (fobia sosial). Panic disorder adalah gangguan kecemasan yang ditandai dengan berulangnya kepanikan yang tidak terduga. Sementara social phobia adalah kondisi kesehatan mental kronis di mana interaksi sosial menyebabkan kecemasan tidak rasional. 

Pemilik akun @jiunlui memberikan analisis kematian Sulli. Menurutnya Sulli tidak bunuh diri tetapi dibunuh oleh komentar jahat para netizen. Selama ini Sulli diserang secara konsisten oleh komen-komen negatif dari netizen. Analisis ini dapat kita benarkan, dimana kita rasakan sendiri bahwa dunia kita telah menjadikan toxic fans dan bully online menjadi budaya.

Seseorang meninggal karena haters, bukanlah hal baru. Sejak maraknya media sosial, haters pun marak seperti kanker yang menggerogoti tubuh. Ia dapat membunuh orang-orang lemah yang tidak kuat atau dalam kondisi masih labil, terutama masa remaja hingga dewasa (20-30 tahun). 

Dalam teori psikologi, Erik Erikson menyebutkan dalam tahap ini seseorang mengalami kondisi identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion), dan keakraban versus keterkucilan (intimacy versus isolation).

Identitas versus kebingungan identitas adalah suatu tahap dimana seseorang dihadapkan pada tantangan untuk menemukan jati dirinya, bagaimana masa depannya, dan arah mana yang hendak mereka tempuh dalam hidupnya. 

Sedangkan keakraban versus keterkucilan adalah suatu tahap dimana seseorang menghadapi tugas untuk pembentukan relasi akrab dengan orang lain, membentuk persahabatan yang sehat, dan relasi yang akrab, jika keakraban tidak dapat dicapai, maka ia akan merasa dikucilkan (John W. Santrock, Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Edisi Ketigabelas Jilid 1, 2017, hlm. 26-27).

Untuk menjalani tahap kehidupan tentu banyak rintangan dan hambatan yang harus dijalani seorang individu untuk mencapat tahap finished dalam kehidupannya. Salah satunya adalah lingkungan yang terkadang membuat kita tidak nyaman dan menjadi racun dalam tubuh (toxic). 

Terkadang orang-orang disekitar kita menanyakan atau mengomentari hal-hal yang seharusnya itu adalah hal privasi dalam hidup kita, tapi karena dia terlalu kepo (ingin terlalu tahu), kadang malah menjadikan kita depresi oleh pertanyaan atau komentar-komentar itu. 

Berikut lima hal privasi yang seharusnya tidak kita tanyakan kepada orang lain karena dapat menyakiti perasaan sesama.

Terkait Financial

Financial atau keuangan berkaitan dengan gaji. Terkadang seseorang, baik itu teman, keluarga, kerabat dekat, tetangga, dan sahabat, selalu ingin tahu tentang gaji kita. Malah terkadang ada orang yang bergaji besar lalu dia memamerkan kepada orang yang gajinya tidak seberapa. 

Kasus financial ini pernah saya alami, contohnya. Saat tetangga saya, yang bekerja di pabrik tiba-tiba datang ke saya mau meminjam uang, dan saat itu posisi saya masih kuliah, sekaligus nyambi di kampus, dia menanyakan gaji saya di kampus. 

Padahal dia sudah berumah tangga, sudah mempunyai anak yang bersekolah SMP. Tak hanya dia, bahkan teman saya yang bekerja sebagai guru, juga menanyakan hal yang sama, dibayar berapa.

Kasus selanjutnya, dialami kakak saya yang bekerja sebagai content editor di perusahaan. Dia sering ditanya sama temannya yang sarjana, gajinya berapa.

Kasus lain, dialami oleh Alexander Thian seorang photographer, content creator, dan storygrapher menulis di highlight instagramnya dengan judul "manners!". Ia memposting pertanyaan seorang followers yang berkomentar, "gajinya berapa, kok jalan-jalan terus".

Pertanyaan seputar gaji adalah pertanyaan yang tidak sopan. Karena gaji adalah hal privasi. Rejeki yang diberikan Tuhan kepada kita, bahkan tanpa kita memintanya. Lalu, kenapa kita harus menanyakan atau mengomentari gaji orang hanya untuk membanding-bandingkannya dengan kita?

Terkait Keluarga

Kakak saya bercerita sekaligus berbagi pelajaran kepada saya tentang hal privasi berkaitan dengan keluarga. Kakak saya memiliki seorang teman sebut saja A. Ayahnya A sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Kemudian ada teman kakak saya bernama B bertanya kepada A. 

"Bapak kamu kan sudah meninggal terus siapa yang mencari uang? Apa cukup hanya dengan gaji kamu di perusahaan ini?"

 Orang yang lemah mentalnya bisa frustasi gara-gara pertanyaan ini. Ia bisa mengalami ketakutan akan masa depan, atau ketakutan pada kegagalan (atychiphobia). Bahkan bisa juga ia jadi mengambinghitamkan orangtuanya  seperti yang ditulis oleh Bambang Suwarno dalam laman kompasiana.com. 

Hal privasi terkait keluarga juga bisa berkaitan dengan hubungan dalam berumah tangga. Seperti memposting kemesraan dengan pasangan yang berlebihan, ini juga berdampak tidak sehat bagi orang lain. 

Mungkin kita berniat pamer, tetapi kita tidak tau bahwa followers kita bisa jadi rumah tangganya sedang tidak baik sehingga dia semakin frustasi melihat rumah tangga orang lain yang baik-baik saja. Menimbulkan kecemburuan yang tak berdasar.

Terkait Karir

Pertanyaan tentang karir juga menjadi hal yang privasi, terutama pada orang-orang tertentu. Karena ada pekerjaan tertentu yang memang tidak boleh dibagikan atau diceritakan kepada orang lain. Seperti contoh karir Moderator Konten Facebook yang ditayangkan di laman tirto.id.

Terkait Relationship

Terkait relationship, misal, ada orang yang bertanya "kapan kamu nikah?", "udah pacaran 6 tahun kok gak nikah-nikah?" "Itu si XX udah punya anak 2, kamu nikah aja belum". Pertanyaan-pertanyaan ini juga seperti kanker dalam masyarakat. 

Dalam highlightnya Alexander Thian juga membahas tentang ini. Ibunya seorang perempuan meninggal dunia. Disaat kondisi semacam ini tiba-tiba ada yang bilang, "kasihan ya ibumu, belum merasakan punya cucu sudah meninggal." Perempuan yang dikomentari begitu langsung mikir, dia kira selama ini tidak berusaha untuk memiliki anak, otaknya dimana coba. 

Pertanyaan semacam ini juga pernah terjadi saat lebaran kemarin, dimana keluarga besar saya di desa berkumpul. Ada kakak sepupu saya belum mempunyai anak setelah 11 tahun pernikahan. 

Tapi disisi lain, budhe saya malah pamer bahwa dia sudah punya dua cucu. Lebaran yang seharusnya penuh dengan rasa ikhlas maaf-memaafkan, tetapi malah membuat orang lain sakit hati dan semenjak itu tidak mau bertemu lagi dengan kerabat dekat karena rasa sakit yang masih membekas. Padahal sudah teramat jelas semua manusia tahu bahwa anak adalah titipan Allah. 

Kalau Allah belum menitipkan, berarti itu memang yang terbaik buat kita. Jadi tidak perlu orang lain ingin tahu dengan tanya kapan punya anak, karena memang tidak ada yang bisa menjawab kecuali Allah SWT.

Terkait Agama

Isu agama di Indonesia, bahkan di negara lain, sudah bukan menjadi hal tabu. Dari terorisme, radikalisme, aksi orang gila, dan lainnya, berkaitan dengan agama. Bahkan saat ini orang beragama dilihat oleh orang lain hanya dari segi fisiknya.

Sebagai contoh, Arie Kriting, selaku pembicara, dalam seminar Dialog Kebangsaan Lintas Generasi: Masih Saktikah Pancasila? Pancasila di Tengah Himpitan Ideologi Radikalisme dan Terorisme yang diadakan oleh Harakatuna menceritakan bahwa dia diminta netizen untuk muallaf ke Islam. Padahal dia sendiri beragama Islam. 

Sedangkan Dodit Mulyanto yang beragama Kristen didoakan netizennya semoga istiqomah dalam keislamannya. Agama telah menjadi masalah publik di Indonesia. Saling mengkafir-kafirkan yang berbeda, bahkan mengkafir-kafirkan sesama pemeluk agama Islam.

Demikian adalah lima hal privasi yang seharusnya kita jaga dengan orang lain agar tidak menyakiti hati orang lain, dan tidak membuat mereka frustasi dalam keberagaman yang berbeda ini. Karena sesungguhnya lima hal itu, adalah rejeki dari Tuhan. Sebuah takdir. Rejeki itu bisa berupa apapun, finansial, seseorang, anak, pekerjaan, bahkan agama. 

Selain lima hal tersebut, masih ada hal-hal privasi lain seperti bentuk tubuh, usia seseorang, dan kondisi fisik. Terakhir, beda antara orang yang care (peduli) dan orang yang kepo. 

Orang yang care adalah orang yang ingin benar-benar membantu masalah kita karena kita menceritakan atau karena dia benar-benar tahu masalah yang kita alami. Jadi bedakan antara kamu sekedar kepo atau kamu benar-benar peduli dengan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun