Dari laut, situasinya tak kalah getir. Misi kemanusiaan Global Sumud Flotilla atau Flotilla Sumud Nusantara berangkat membawa bantuan dari berbagai negara termasuk Indonesia, Malaysia, Turki, dan Norwegia untuk menerobos blokade Gaza. Namun seluruh kapal dalam misi ini diadang kapal perang Israel di Laut Tengah. Menurut laporan Al Jazeera (1 Oktober 2025) dan situs resmi Global Sumud Tracker, sebanyak 42 kapal disita di perairan internasional dan lebih dari 460 aktivis kemanusiaan ditangkap, termasuk kapal Marinette yang diintersep 42,5 mil laut dari Gaza.
Israel berdalih bahwa kapal-kapal tersebut melanggar blokade, padahal mereka membawa bantuan medis dan logistik dalam misi damai. Fakta ini membuktikan bahwa bahkan solidaritas kemanusiaan global tidak mampu menembus tembok politik dunia yang menormalisasi penjajahan.
Selama blokade Gaza masih berlaku, bantuan tetap dibatasi, dan kebijakan apartheid dijalankan, maka tidak ada perdamaian sejati. Yang ada hanyalah jeda singkat di antara dua tragedi.
Solusi Islam Perdamaian yang Berkeadilan
Islam memandang perdamaian bukan sekadar berhentinya perang, melainkan hadirnya keadilan dan pemulihan hak-hak manusia. Damai tidak akan pernah benar-benar terwujud selama ketimpangan terus dibiarkan hidup dan penjajahan masih dianggap sah oleh kekuatan global.
Al-Qur'an menegaskan, "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri" (QS. An-Nisa: 135). Ayat ini adalah pesan mendasar bahwa perdamaian sejati lahir bukan dari kompromi, melainkan dari keberanian menegakkan kebenaran.
Dalam konteks Gaza, solusi Islam menuntut perubahan pada tiga hal pokok: moral, struktural, dan politik.
Pertama, dunia Islam harus memikul tanggung jawab moral dan politik terhadap Palestina. Negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tidak bisa terus berperan sebagai penonton yang hanya mengeluarkan kecaman di forum internasional. Mereka perlu membentuk dewan pengawas independen yang berfungsi memantau pelanggaran gencatan senjata, menyusun laporan terbuka, dan menuntut sanksi diplomatik terhadap pelaku agresi. Diam bukan lagi pilihan, sebab diam berarti turut membiarkan kezaliman berjalan.
Kedua, Islam menekankan pentingnya islah atau rekonsiliasi struktural. Perdamaian sejati tidak akan lahir dari meja diplomasi tanpa perubahan nyata di lapangan. Gaza harus dibangun kembali bukan hanya secara fisik, tetapi juga sosial dan ekonomi. Dunia Islam perlu membentuk konsorsium rekonstruksi Gaza yang mandiri dari tekanan lembaga donor Barat. Sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur harus dibangun dengan sumber daya umat sendiri, agar Gaza tidak lagi menjadi sandera bantuan yang bisa ditahan sewaktu-waktu oleh penjajah. Ini bukan sekadar proyek kemanusiaan, melainkan wujud tanggung jawab peradaban Islam.
Ketiga, Islam mengajarkan ukhuwah atau persaudaraan umat. Palestina bukan isu regional, melainkan ujian bagi kesatuan umat Islam sedunia. Selama umat masih terpecah oleh kepentingan nasional, ekonomi, dan ideologi, Israel akan terus memanfaatkan celah itu untuk mempertahankan dominasinya. Persaudaraan sejati tidak berhenti pada doa dan dukungan simbolik, tetapi harus menjadi strategi politik bersama. Negara-negara Muslim memiliki kekuatan ekonomi, diplomasi, dan energi yang besar potensi yang dapat digunakan untuk menekan agresor dan membangun sistem global yang adil.
Islam tidak menolak perdamaian, tetapi menolak perdamaian yang lahir dari kebohongan dan ketimpangan. Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa perdamaian sejati hanya mungkin dicapai melalui keberanian menolak kezaliman. Damai tanpa keadilan hanyalah bentuk penindasan yang dibungkus dalam bahasa sopan diplomatik.