Mohon tunggu...
Sapta Arif
Sapta Arif Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai pepuisi, cerita-cerita, kopi, dan diskusi hingga pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sulastri

13 April 2020   10:48 Diperbarui: 13 April 2020   19:38 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Surat Kabar Media Indonesia

Langit hitam pucat datang bersama gerombolan gigil yang mulai rutin menusuk-nusuk kulit. Di pos ronda, keremangan lampu neon, beberapa orang memaksakan matanya terbuka bermain kartu remi. Sudah sangat hambar permainan ini sebenarnya. 

Sayup-sayup suara televisi yang sedari tadi berbincang sendiri telah manjadi lagu nina bobo­ bagi lima lelaki yang jaga malam ini. Lantaran kantuk sudah menyerang, aku berinisiatif untuk mengajak berkeliling kompleks. 

Namun nampaknya Pak Burhan dan Pak Zaeni lebih nyaman merapatkan sarungnya ketimbang ikut berkeliling. Tugas berkeliling diambil alih olehku, Jarot, dan Fajar—seorang mahasiswa yang mewakili bapaknya meronda.

Kami pun memulai dari selatan, berjalan ke utara dengan santai. Jangan membayangkan kompleks perumahan ini memiliki banyak persimpangan layaknya kompleks perumahan yang besar. 

Perumahan Tajuk hanya satu kompleks lurus memanjang dari utara ke selatan. Kompleks ini dibelah oleh jalan Halim Perdana Kusuma. Satu-demi satu rumah kami lalui, aman, gumam kami seringkali berbarengan setiap melewati satu pasang rumah.

Kemudian sampailah kami di depan halaman rumah Sulastri. Rumah berarsitektur lawas dengan halaman yang lumayan luas. Tidak ada pagar di sana, memberikan keleluasaan siapa saja yang akan masuk, untuk bertamu misalnya. Seperti malam-malam sebelumnya, perempuan ini sibuk di teras rumah. Kali ini ia memakai daster warna ungu, sambil memegang gunting, kawat, dan sebuah bunga di meja teras rumahnya.

“Ngopi Mas…”

Dengan langkah canggung, aku masuk mendahului Jarot dan Fajar ke halaman rumah Sulastri. Fajar nampak terkaget, namun Jarot lekas menarik tangannya masuk mengikutiku dari belakang.

“Belum istirahat Bu?”

“Ya belum tho, duduklah. Sebentar ya…” Sulastri meletakkan gunting dan kawatnya. Ternyata bukan daster ungu, tapi daster merah muda bermotif bunga yang tadi siang ia kenakan. Tubuhnya dibungkus sweter abu-abu yang tidak begitu tebal.

Jarot terbengong, tatap matanya khusyuk mengikuti gerak pinggul perempuan itu ketika masuk. Ku-tepuk pahanya keras. Asu! Ia menutup mulutnya. Namun herannya, Sulastri tetap tak acuh. Ia tetap berjalan ke dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun