Mohon tunggu...
Sapraji
Sapraji Mohon Tunggu... Konsultan Politik | Manajemen | Analis Kebijakan Publik | Peneliti | Penulis

Founder & CEO IDIS INDONESIA I Analis Kebijakan Publik | Konsultan Politik I Transformasi Digital I Riset I Advokasi Publik #Knowledge for Public Good

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ai dan Birokrasi: Antara Janji Efisiensi dan Ancaman Ketimpangan Digital

14 Oktober 2025   12:50 Diperbarui: 14 Oktober 2025   12:50 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ASN digambarkan tengah berinteraksi dengan sistem kecerdasan buatan (AI) di depan layar digital bertema pemerintahan. (Sumber Foto: Idisign) 

Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) atau yang lebih akrab di kenal AI kini menempati ruang strategis dalam diskursus tata kelola pemerintahan modern. Dalam berbagai pidato pejabat publik dan dokumen kebijakan, AI digambarkan sebagai jalan pintas menuju birokrasi efisien, cepat, dan bebas dari human error. Pemerintah Indonesia, misalnya, mulai mengintegrasikan AI dalam pelayanan publik, pengawasan keuangan daerah, hingga sistem perizinan di Mal Pelayanan Publik. 

Secara teoretis, AI memang menawarkan janji besar. Algoritma mampu menganalisis jutaan data dalam hitungan detik, mengenali pola penyimpangan, dan memprediksi kebutuhan masyarakat sebelum mereka mengajukan permohonan layanan. Bayangkan, misalnya, sistem pajak yang mampu mendeteksi potensi kebocoran penerimaan daerah melalui analisis perilaku transaksi digital; atau sistem perencanaan pembangunan yang disusun berdasarkan data real-time dari berbagai instansi. Inilah narasi birokrasi pintar yang sedang dijajakan oleh banyak lembaga pemerintahan. 

Namun, dalam praktiknya, efisiensi bukanlah hasil yang otomatis muncul dari penggunaan teknologi. Birokrasi bukan sekadar mesin pengolah data, tetapi sistem sosial yang kompleks, penuh kepentingan, dan sarat ketimpangan kapasitas antarwilayah. Di sinilah letak paradoks semakin tinggi ketergantungan pada teknologi canggih, semakin nyata pula jurang digital antar daerah, antar instansi, bahkan antar individu di dalam birokrasi itu sendiri. 

Ketimpangan Digital dan Politik Data 

Kita harus jujur mengakui bahwa transformasi digital birokrasi di Indonesia berjalan timpang. Sebagian kecil instansi pusat dan daerah maju cepat dengan dukungan infrastruktur, SDM, dan kemitraan strategis dengan penyedia teknologi global. Namun sebagian besar lainnya masih berjuang menambal sistem manual yang belum sepenuhnya terkoneksi. Dalam konteks inilah, AI justru berpotensi memperlebar kesenjangan kapasitas.

Ketimpangan ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga politis. Data menjadi sumber kekuasaan baru. Siapa yang menguasai algoritma, dia mengendalikan arah kebijakan. Ketika sistem AI dibangun dengan data yang tidak inklusif misalnya hanya mencakup populasi perkotaan atau wilayah dengan konektivitas tinggi maka keputusan publik yang dihasilkan juga akan bias. 

Bayangkan sistem bantuan sosial yang menggunakan model prediktif untuk menentukan penerima manfaat. Jika algoritma dilatih dengan data kemiskinan yang tidak mutakhir, warga miskin digital (yang tak terdaftar dalam sistem) bisa terlewat. Ketika mesin belajar dari data yang bias, maka kebijakan yang lahir pun bias sebuah bentuk diskriminasi digital yang tak kasatmata, tetapi nyata dampaknya. 

Dalam konteks ini, janji efisiensi bisa berubah menjadi alat legitimasi bagi ketimpangan baru. Pemerintah yang terlalu percaya pada objektivitas algoritma tanpa memastikan akuntabilitas datanya, berisiko menyingkirkan dimensi keadilan sosial dari proses pengambilan keputusan. 

AI bukan sekadar soal perangkat lunak, tetapi juga soal perangkat moral. Di tangan aparatur yang memiliki integritas dan kapasitas digital tinggi, teknologi bisa menjadi katalis reformasi birokrasi. Namun di tangan yang salah, ia bisa memperkuat praktik lama dengan wajah baru: korupsi digital, manipulasi data, dan privatisasi algoritma kebijakan. 

Sayangnya, belum semua aparatur siap menghadapi perubahan ini. Laporan Kominfo 2023 tentang literasi digital nasional menunjukkan bahwa indeks literasi digital Indonesia baru mencapai angka 3,65 dari 5, yang berarti masih pada tingkat sedang. Artinya, literasi digital aparatur yang merupakan bagian dari masyarakat luas kemungkinan tidak jauh berbeda dari rerata tersebut. 

Kondisi ini menunjukkan bahwa AI berpotensi menciptakan birokrasi dua lapis, mereka yang mampu mengendalikan teknologi dan mereka yang hanya dikendalikan olehnya. Dalam jangka panjang, ini bukan sekadar persoalan efisiensi, tetapi persoalan distribusi kekuasaan dalam institusi negara. 

Karena itu, ASN tidak cukup hanya diajarkan cara menggunakan sistem, tetapi harus memahami etika dan implikasi kebijakan dari data yang mereka kelola. Konsep AI literacy dalam birokrasi seharusnya meliputi tiga hal: kemampuan teknis, kesadaran etik, dan sensitivitas sosial. Tanpa tiga pilar itu, teknologi hanya mempercepat arah yang salah. 

Antara Inovasi dan Keadilan Kebijakan 

AI dapat menjadi katalis inovasi kebijakan, tetapi ia juga dapat memperkuat sentralisasi kekuasaan jika tidak diatur dengan prinsip keadilan digital. Ketika sistem pengambilan keputusan semakin bergantung pada data dan algoritma, maka pertanyaannya, siapa yang mengendalikan data itu? Apakah publik memiliki ruang untuk mengoreksi hasil keputusan berbasis mesin?  

Dalam birokrasi ideal, data publik haruslah bersifat open, interoperable, dan accountable. Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Banyak pemerintah daerah masih menyimpan data secara terpisah dan enggan berbagi lintas instansi. Kultur ego sektoral yang sudah lama menjadi penyakit birokrasi kini berpindah bentuk dalam dunia digital: silo data, bukan lagi silo kewenangan. 

Tanpa integrasi dan transparansi, AI hanya akan menjadi kosmetik reformasi tampak modern di permukaan, tetapi rapuh di dalam. 

Di sisi lain, publik juga belum sepenuhnya siap menghadapi konsekuensi etis dari AI. Bayangkan sistem evaluasi kinerja ASN berbasis analisis perilaku digital, atau sistem perizinan yang otomatis menolak permohonan karena skor risiko tertentu. Apakah individu punya hak untuk menolak keputusan mesin? Siapa yang bertanggung jawab jika algoritma salah? 

Kita sedang memasuki fase di mana kebijakan publik bukan hanya dirumuskan oleh manusia, tetapi sebagian besar juga dihitungkan oleh mesin. Jika prinsip keadilan sosial tidak ditanamkan sejak tahap perancangan, maka AI bisa menjadi birokrat tanpa hati efisien, tetapi tak adil. 

Reformasi birokrasi digital di Indonesia harus menempatkan AI bukan sebagai pengganti manusia, tetapi sebagai penguat kapasitas manusia. Negara tidak boleh terpesona oleh retorika efisiensi yang dibawa vendor teknologi global tanpa menimbang konteks sosial dan geografis Indonesia yang majemuk. 

Kebijakan adopsi AI dalam pemerintahan perlu didasarkan pada tiga prinsip utama: 

  • Keadilan Digital : Memastikan semua daerah dan lapisan masyarakat memiliki akses dan kapasitas yang setara dalam ekosistem digital. 
  • Transparansi Algoritmik: Setiap sistem AI yang digunakan pemerintah harus dapat diaudit, baik oleh lembaga pengawasan internal maupun publik. 
  • Etika dan Akuntabilitas: Keputusan berbasis AI harus selalu memiliki tanggung jawab manusia di belakangnya. Mesin boleh menghitung, tetapi manusia tetap harus menimbang. 

AI dapat mempercepat pelayanan publik, memperkuat deteksi korupsi, dan mempermudah analisis kebijakan. Namun tanpa etika, tata kelola, dan kesadaran keadilan, teknologi ini bisa berubah menjadi bentuk baru dari ketimpangan struktural lebih halus, lebih efisien, tetapi tetap tidak adil. 

Birokrasi modern memang membutuhkan teknologi, tetapi lebih dari itu, ia membutuhkan arah moral. AI seharusnya menjadi alat untuk memperkuat nilai dasar pelayanan publik: keadilan, akuntabilitas, dan inklusivitas. 

Dalam konteks Indonesia, efisiensi tanpa pemerataan hanya akan melahirkan birokrasi algoritmik yang canggih tapi timpang. Karena itu, tugas terbesar kita bukan sekadar menciptakan birokrasi digital, melainkan membangun birokrasi yang manusiawi di tengah dunia yang semakin digital.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun