Kondisi ini menunjukkan bahwa AI berpotensi menciptakan birokrasi dua lapis, mereka yang mampu mengendalikan teknologi dan mereka yang hanya dikendalikan olehnya. Dalam jangka panjang, ini bukan sekadar persoalan efisiensi, tetapi persoalan distribusi kekuasaan dalam institusi negara.Â
Karena itu, ASN tidak cukup hanya diajarkan cara menggunakan sistem, tetapi harus memahami etika dan implikasi kebijakan dari data yang mereka kelola. Konsep AI literacy dalam birokrasi seharusnya meliputi tiga hal: kemampuan teknis, kesadaran etik, dan sensitivitas sosial. Tanpa tiga pilar itu, teknologi hanya mempercepat arah yang salah.Â
Antara Inovasi dan Keadilan KebijakanÂ
AI dapat menjadi katalis inovasi kebijakan, tetapi ia juga dapat memperkuat sentralisasi kekuasaan jika tidak diatur dengan prinsip keadilan digital. Ketika sistem pengambilan keputusan semakin bergantung pada data dan algoritma, maka pertanyaannya, siapa yang mengendalikan data itu? Apakah publik memiliki ruang untuk mengoreksi hasil keputusan berbasis mesin? Â
Dalam birokrasi ideal, data publik haruslah bersifat open, interoperable, dan accountable. Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Banyak pemerintah daerah masih menyimpan data secara terpisah dan enggan berbagi lintas instansi. Kultur ego sektoral yang sudah lama menjadi penyakit birokrasi kini berpindah bentuk dalam dunia digital: silo data, bukan lagi silo kewenangan.Â
Tanpa integrasi dan transparansi, AI hanya akan menjadi kosmetik reformasi tampak modern di permukaan, tetapi rapuh di dalam.Â
Di sisi lain, publik juga belum sepenuhnya siap menghadapi konsekuensi etis dari AI. Bayangkan sistem evaluasi kinerja ASN berbasis analisis perilaku digital, atau sistem perizinan yang otomatis menolak permohonan karena skor risiko tertentu. Apakah individu punya hak untuk menolak keputusan mesin? Siapa yang bertanggung jawab jika algoritma salah?Â
Kita sedang memasuki fase di mana kebijakan publik bukan hanya dirumuskan oleh manusia, tetapi sebagian besar juga dihitungkan oleh mesin. Jika prinsip keadilan sosial tidak ditanamkan sejak tahap perancangan, maka AI bisa menjadi birokrat tanpa hati efisien, tetapi tak adil.Â
Reformasi birokrasi digital di Indonesia harus menempatkan AI bukan sebagai pengganti manusia, tetapi sebagai penguat kapasitas manusia. Negara tidak boleh terpesona oleh retorika efisiensi yang dibawa vendor teknologi global tanpa menimbang konteks sosial dan geografis Indonesia yang majemuk.Â
Kebijakan adopsi AI dalam pemerintahan perlu didasarkan pada tiga prinsip utama:Â
- Keadilan Digital : Memastikan semua daerah dan lapisan masyarakat memiliki akses dan kapasitas yang setara dalam ekosistem digital.Â
- Transparansi Algoritmik: Setiap sistem AI yang digunakan pemerintah harus dapat diaudit, baik oleh lembaga pengawasan internal maupun publik.Â
- Etika dan Akuntabilitas: Keputusan berbasis AI harus selalu memiliki tanggung jawab manusia di belakangnya. Mesin boleh menghitung, tetapi manusia tetap harus menimbang.Â
AI dapat mempercepat pelayanan publik, memperkuat deteksi korupsi, dan mempermudah analisis kebijakan. Namun tanpa etika, tata kelola, dan kesadaran keadilan, teknologi ini bisa berubah menjadi bentuk baru dari ketimpangan struktural lebih halus, lebih efisien, tetapi tetap tidak adil.Â