Mohon tunggu...
Sapraji
Sapraji Mohon Tunggu... Konsultan Politik | Manajemen | Analis Kebijakan Publik | Peneliti | Penulis

Political Consultant, Management, Public Policy Analyst and Founder of IDIS INDONESIA GROUP

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Transformasi Digital Indonesia: Antara Lompatan Teknologi dan Jurang Kesenjangan

16 September 2025   17:50 Diperbarui: 16 September 2025   17:50 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Transformasi Digital Indonesia. Foto: Idisign

 

Digitalisasi kini menjadi mantra pembangunan Indonesia. Dari layanan publik yang serba aplikasi, antrean daring, hingga Mal Pelayanan Publik Digital yang baru diluncurkan, negara tampak percaya diri menapaki jalan modernisasi. Kemajuan ini layak diapresiasi, sebab menunjukkan adanya lompatan signifikan dalam upaya menghubungkan birokrasi dengan warga.

Namun, di balik gegap gempita transformasi digital, pertanyaan mendasar muncul: siapa yang benar-benar terlayani? Apakah seluruh warga, dari kota besar hingga desa terluar, benar-benar mendapat manfaat, atau hanya segelintir kelompok yang menikmati kemudahan, sementara sisanya semakin tertinggal?

Lompatan Teknologi

Data Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) 2024 memberi gambaran kondisi terkini. Nilai nasional berada di angka 43,34 dari 100 kategori sedang. Jika ditelisik lebih dalam, pilar keterampilan digital mencatat skor tertinggi, sekitar 58,25, sementara infrastruktur & ekosistem berada di 52,70. Di sisi lain, pekerjaan digital hanya 38,09, dan pemberdayaan masyarakat jatuh ke posisi terendah, sekitar 25,66.

Artinya, masyarakat Indonesia memang makin terbiasa dengan gawai dan media sosial, bahkan sebagian telah terhubung dengan peluang kerja digital. Namun, kemampuan untuk memanfaatkan teknologi secara produktif, inovatif, dan berdaya guna masih lemah.

Inisiatif pemerintah sebenarnya patut dicatat. Peluncuran Mal Pelayanan Publik Digital yang kini hadir di puluhan daerah berupaya menyatukan berbagai layanan dalam satu portal. Jika berhasil, program ini bisa memangkas biaya, waktu, dan kerumitan birokrasi. Bahkan, Menteri PANRB menyebut MPP Digital sebagai tonggak baru integrasi layanan negara.

Sayangnya, tidak semua warga bisa langsung menikmati kemudahan ini.

Jurang Kesenjangan

Lompatan teknologi nyatanya beriringan dengan jurang kesenjangan. Hingga 2024, masih ada sekitar 12.000 desa dan kelurahan yang blank spot 4G. Data Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) memperkirakan 11% wilayah Indonesia masih tanpa layanan seluler memadai. Angka ini menegaskan bahwa mimpi digital tidak merata: warga kota bisa mengurus dokumen lewat ponsel, sementara di desa terpencil sinyal pun sulit ditangkap.

Lebih jauh, rendahnya skor pemberdayaan digital menunjukkan bahwa meski perangkat tersedia, keterampilan produktif dan akses terhadap manfaat ekonomi masih minim. Bagi sebagian warga, aplikasi pelayanan publik tetap terasa asing. Alih-alih mempermudah, layanan digital justru melahirkan hambatan baru: antarmuka yang rumit, biaya data yang mahal, perangkat yang tidak kompatibel, hingga minimnya dukungan bagi kelompok lansia atau difabel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun