Â
Transformasi digital dalam pelayanan publik kini menjadi jargon utama pemerintah. Setiap kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah berlomba meluncurkan aplikasi, portal, dan sistem antrean daring. Di permukaan, ini adalah kabar baik, birokrasi yang dulu identik dengan antrian panjang, berkas menumpuk, dan pelayanan lambat, kini dipromosikan sebagai lebih cepat, efisien, dan transparan.
Namun, pertanyaan mendasarnya yang jarang dibicarakan, siapa yang sebenarnya terlayani oleh digitalisasi ini? Apakah benar semua warga mendapatkan manfaat, atau justru sebagian kelompok masyarakat kembali tertinggal? Pertanyaan ini penting dijawab, sebab kebijakan publik seharusnya tidak hanya mengukur berapa banyak layanan yang terdigitalisasi, tetapi juga siapa yang benar-benar mampu mengaksesnya.
Kemajuan yang Tersurat, Kesenjangan yang Tersirat
Pemerintah terus menegaskan bahwa digitalisasi birokrasi adalah bagian dari reformasi struktural. Mal Pelayanan Publik Digital (MPP Digital) menjadi bukti komitmen itu. Melalui MPP Digital, ratusan layanan lintas sektor diintegrasikan dalam satu portal nasional. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bahkan menyebut MPP Digital sebagai tonggak transformasi layanan publik 2.0, yang akan mengurangi fragmentasi aplikasi dan mempercepat pelayanan lintas instansi.
Capaian ini, jika dilihat dari sisi kebijakan, patut diapresiasi. Akan tetapi, data Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) 2024 menunjukkan realitas yang lebih kompleks. Nilai IMDI nasional hanya berada di angka 43,34 dari 100. Angka ini menandakan kesiapan digital masyarakat Indonesia masih berada di tingkat sedang. Bahkan, pilar infrastruktur digital dan literasi digital menempati skor yang relatif rendah dibanding aspek lain. Artinya, sekalipun layanan publik sudah tersedia secara digital, belum tentu warga memiliki perangkat, jaringan, atau keterampilan untuk mengaksesnya.
Di banyak daerah, terutama kawasan timur Indonesia, koneksi internet yang lemah masih menjadi penghalang utama. Ombudsman Republik Indonesia menyoroti hal ini dengan menyebut bahwa digitalisasi berpotensi menciptakan eksklusi layanan bagi kelompok masyarakat di wilayah tanpa infrastruktur memadai. Antrean daring yang dimaksudkan untuk mengurangi tatap muka, misalnya, justru menjadi hambatan baru bagi warga desa yang tidak memiliki ponsel pintar atau sinyal stabil.
Kesenjangan ini juga tampak dari studi kasus lokal. Penelitian mengenai implementasi sistem informasi desa seperti OpenSID menunjukkan, banyak aparat desa belum siap mengelola aplikasi digital karena minim pelatihan. Akibatnya, layanan yang seharusnya mempermudah justru berjalan lamban atau tetap kembali ke pola manual. Digitalisasi memang berlangsung, tetapi efek positifnya tidak merata.
Singkatnya, ada kemajuan yang tersurat dalam dokumen resmi, tetapi kesenjangan yang tersirat dalam pengalaman sehari-hari warga.
Desain, Data, dan Demokrasi: Siapa Menentukan Akses?
Persoalan digitalisasi pelayanan publik bukan hanya perkara infrastruktur atau literasi. Ada isu yang lebih mendasar, yakni desain tata kelola dan kepemilikan data.