Pengaktifan kembali sistem keamanan lingkungan (Siskamling) di sejumlah daerah belakangan ini menimbulkan reaksi beragam. Di satu sisi, ia dianggap sebagai bentuk nyata dari semangat gotong royong dan ketahanan komunitas, di mana warga saling menjaga agar lingkungannya tetap aman. Namun di sisi lain, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa negara, melalui aparat resminya, tidak cukup kuat atau dipercaya untuk menjalankan fungsi dasar menjaga keamanan?
Fenomena ini membuka ruang diskusi lebih luas tentang relasi negara dan masyarakat dalam konteks keamanan publik. Apakah Siskamling diaktifkan hadir sebagai simbol kekuatan solidaritas warga, atau justru sebagai refleksi lemahnya kapasitas negara dalam menjalankan mandat konstitusionalnya?
Modal Sosial yang Tak Pernah Hilang
Secara historis, Siskamling lahir dari kebutuhan masyarakat menjaga diri di tengah keterbatasan aparat keamanan. Pada era 1980-an, pos ronda dan kentongan menjadi ikon keamanan berbasis warga. Kini, ketika isu kriminalitas kembali meningkat mulai dari pencurian, begal, hingga narkoba Siskamling seolah menemukan relevansi barunya.
Dari perspektif sosial-politik, Siskamling dapat dipahami sebagai wujud community resilience atau ketahanan komunitas. Teori ketahanan komunitas menekankan bahwa dalam kondisi darurat atau saat institusi formal melemah, komunitas lokal sering kali menjadi garda terdepan dalam melindungi anggotanya. Gotong royong, solidaritas, dan kesadaran kolektif merupakan modal sosial yang memperkuat kohesi.
Di banyak tempat, partisipasi warga dalam Siskamling bukan hanya soal keamanan, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi dan pengikat sosial. Pos ronda bisa berubah menjadi ruang pertemuan informal, tempat warga membicarakan masalah lingkungan, hingga merajut jaringan solidaritas yang lebih luas. Dengan kata lain, Siskamling berkontribusi pada pembangunan trust horizontal antarwarga yang penting bagi stabilitas sosial.
Namun, kekuatan ketahanan komunitas ini tidak boleh dijadikan alasan untuk melepaskan tanggung jawab negara. Ketika Siskamling diaktifkan kembali, muncul pertanyaan apakah ini bentuk kolaborasi antara negara dan masyarakat, atau sekadar pelimpahan tugas akibat lemahnya kapasitas aparat?
Defisit Kepercayaan pada Aparat
Kondisi ini sejalan dengan teori state capacity, yang menyebut bahwa negara dianggap lemah bila gagal menyediakan keamanan, hukum, dan ketertiban sebagai fungsi dasar. Jika masyarakat harus kembali turun tangan mengorganisasi keamanan lingkungannya, itu artinya ada ruang kosong yang ditinggalkan aparat.
Bahkan, dalam beberapa kasus, Siskamling sering lahir bukan karena dorongan program pemerintah, tetapi karena keresahan spontan warga atas maraknya kejahatan. Misalnya, di kota-kota besar, kasus begal dan pencurian motor memicu warga kembali membuat jadwal ronda. Di desa, kekhawatiran akan narkoba dan peredaran minuman keras membuat Siskamling dijalankan lebih intens.
Pertanyaannya, bagaimana peran aparat dalam situasi ini? Apakah mereka mendukung sebagai mitra warga, atau justru membiarkan karena keterbatasan personel dan anggaran? Jika yang terjadi adalah skenario kedua, maka pengaktifan Siskamling lebih terlihat sebagai delegasi informal tanggung jawab negara kepada warga.
Relevansi di Era Sekarang
Ada dilema besar ketika membicarakan relevansi Siskamling di era modern. Di satu sisi, perkembangan teknologi membuat sistem keamanan bisa lebih canggih: CCTV, patroli digital, hingga aplikasi pelaporan berbasis smartphone. Namun, kenyataannya, tidak semua warga memiliki akses pada fasilitas tersebut. Di sinilah Siskamling tetap memiliki tempat: ia murah, berbasis partisipasi, dan membangun kepercayaan antarwarga.
Namun, Siskamling juga menghadapi tantangan baru. Pertama, perubahan pola hidup masyarakat urban. Warga kota lebih individualis, banyak bekerja hingga larut malam, dan tidak semua bersedia meluangkan waktu ronda. Kedua, risiko salah kaprah: ketika Siskamling dijalankan tanpa koordinasi dengan aparat, potensi main hakim sendiri bisa muncul. Sudah banyak kasus di mana "ronda malam" berakhir dengan aksi anarkis terhadap orang yang dianggap mencurigakan.
Relevansi Siskamling di era kini harus dipahami sebagai pelengkap, bukan pengganti aparat. Ia bisa menjadi basis partisipasi warga, tetapi tetap harus berada dalam kerangka koordinasi resmi. Model hybrid semacam ini juga sejalan dengan konsep collaborative governance, di mana negara dan masyarakat sipil bekerja bersama dalam menyediakan layanan publik, termasuk keamanan.
Lebih jauh, Siskamling juga bisa diperkuat dengan integrasi teknologi. Misalnya, setiap pos ronda dilengkapi sistem komunikasi cepat dengan kepolisian setempat, atau dilatih untuk menggunakan aplikasi pelaporan darurat. Dengan demikian, Siskamling bukan hanya nostalgia masa lalu, melainkan benar-benar relevan di masa kini.
Kembalinya Siskamling bisa dibaca dalam dua wajah. Di satu sisi, ia adalah simbol ketahanan komunitas dan kekuatan gotong royong yang patut diapresiasi. Di sisi lain, ia juga mengungkap defisit kepercayaan pada aparat keamanan yang dianggap belum cukup mampu menjamin rasa aman.
Dalam kerangka sosial-politik, Siskamling relevan bila diposisikan sebagai ruang kolaborasi antara warga dan aparat, bukan sekadar substitusi peran negara. Ia bisa menjadi pilar ketahanan sosial, asalkan tidak dibiarkan menjadi alasan bagi lemahnya aparat.
Pada akhirnya, pertanyaan kritisnya ketika Siskamling kembali digiatkan, apakah itu tanda masyarakat semakin kuat, atau justru tanda negara melemah? Jawabannya mungkin terletak di tengah Siskamling seharusnya menjadi jembatan kepercayaan antara warga dan aparat, bukan cermin kegagalan negara. Tanpa sinergi itu, Siskamling hanya akan menjadi solusi sementara di atas fondasi keamanan yang rapuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI