Gelombang demonstrasi yang merebak sejak akhir Agustus 2025 adalah potret jelas bahwa rakyat tidak lagi sabar menunggu janji dan tindakan nyata dari pemerintah maupun DPR. Tuntutan terkait pemenuhan hak pekerja, revisi kebijakan yang merugikan rakyat, hingga transparansi pengelolaan negara terus menggema. Namun yang muncul justru adalah respons lambat, cenderung defensif, bahkan menghindar.
Pertanyaan sederhananya apakah negara benar-benar mendengar suara rakyat, atau justru sibuk dengan kalkulasi politik jangka pendek?
Rakyat Bergerak, Elit Terlambat Menjawab
Indonesia bukan kali ini saja menghadapi gelombang protes. Dalam catatan sejarah politik kita, keterlambatan respons pemerintah selalu berbuah kerugian yang lebih besar. Dari krisis 1998 hingga revisi UU Cipta Kerja pada 2020, rakyat selalu menjadi pihak yang paling dulu menanggung akibat.
Hari ini situasi itu terulang kembali. Berbagai serikat pekerja, mahasiswa, hingga kelompok masyarakat sipil sudah sejak awal menyalakan alarm: ada kebijakan yang dianggap merugikan rakyat kecil dan menguntungkan segelintir elit. Mereka meminta ruang dialog yang jujur dan terbuka. Namun, respons dari pemerintah maupun DPR justru datang terlambat.
Keterlambatan respons ini juga menimbulkan efek domino. Demonstrasi yang awalnya bisa diakomodasi dengan komunikasi terbuka berubah menjadi gelombang besar dengan potensi kekerasan. Kerusakan fasilitas publik, terhambatnya aktivitas ekonomi, dan rusaknya citra politik di mata dunia adalah biaya yang harus dibayar mahal hanya karena pemerintah dan DPR tidak segera bergerak.
Lebih dari itu, keterlambatan selalu membuka ruang bagi rumor, hoaks, dan polarisasi sosial. Saat pejabat negara sibuk berdebat soal prosedur, rakyat di jalanan kehilangan pekerjaan, usaha kecil merugi, dan rasa percaya terhadap negara makin terkikis. Apakah ini harga yang pantas dibayar untuk sebuah "pertimbangan politik"?
Kerugian Nyata: Ekonomi, Sosial, dan Politik
Respons lambat tidak hanya soal citra. Ia menimbulkan kerugian nyata dalam berbagai sektor. Di bidang ekonomi, misalnya, aksi mogok buruh di kawasan industri menyebabkan rantai pasok terganggu. Investor asing mulai menahan diri, menunggu kepastian kebijakan. Bursa Efek sempat berfluktuasi karena kabar ketidakpastian politik. Bagi UMKM, yang hidup dari perputaran harian, kerugian langsung terasa: menurunnya omzet, berkurangnya pelanggan, dan meningkatnya biaya distribusi.
Dari sisi sosial, masyarakat kehilangan rasa aman. Ketika demonstrasi berlangsung tanpa ada kepastian dari negara, kekhawatiran meningkat. Orang tua resah melepas anaknya kuliah, pelaku usaha takut membuka toko, dan publik kehilangan kepercayaan terhadap aparat. Rasa cemas ini bisa berubah menjadi apatisme sosial yang jauh lebih berbahaya dalam jangka panjang.
Sedangkan di ranah politik, respons lambat memperlebar jarak antara rakyat dan wakilnya di DPR. Banyak yang merasa DPR lebih sibuk menjaga kepentingan partai ketimbang mendengar aspirasi konstituennya. Kondisi ini bisa berakibat fatal: turunnya legitimasi politik. Sebuah negara tanpa legitimasi ibarat kapal tanpa nakhoda, rawan terguncang oleh ombak sekecil apa pun.
Padahal, rakyat tidak menuntut hal yang berlebihan. Mereka hanya ingin negara hadir dengan cepat, memberikan kepastian, dan menegaskan keberpihakan. Seharusnya pemerintah dan DPR bisa segera membentuk tim dialog, membuka kanal komunikasi dua arah, dan menyusun solusi konkret. Bukan justru terjebak dalam narasi defensif yang semakin menjauhkan mereka dari rakyat.
Sayangnya, yang terjadi hari ini adalah keterlambatan demi keterlambatan. Dan seperti hukum besi dalam setiap krisis: semakin lambat respons negara, semakin besar biaya yang harus ditanggung.
Menghadapi krisis kepercayaan publik, pemerintah dan DPR seharusnya belajar dari pengalaman. Ketika rakyat bergerak, jangan pernah menunda respons. Setiap menit yang terlewat bukan hanya kehilangan waktu, tetapi juga menambah kerugian ekonomi, sosial, dan politik yang tidak mudah dipulihkan.
Respons lambat hanyalah jalan menuju kerugian yang terus bertambah. Sebaliknya, respons cepat, terbuka, dan tulus adalah jalan keluar yang bisa mengembalikan kepercayaan rakyat.
Pertanyaan akhirnya apakah elit politik kita berani bergerak cepat demi rakyat, atau tetap menunda hingga semua terlambat?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI