Mohon tunggu...
Sapna Nainggolan
Sapna Nainggolan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya hobi traveling, menurut saya hal ini menambah wawasan.

Selanjutnya

Tutup

Medan

Dari Pakkat ke Medan: Paket Nenek, Semangat Kurir dan Harapan Yang Tak Pernah Telat

17 Juni 2025   15:57 Diperbarui: 17 Juni 2025   15:57 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Medan. Sumber ilustrasi: TRIBUNNEWS/Aqmarul Akhyar

Namaku Sapna. Aku mahasiswa semester 6 di Universitas Katolik Santo Thomas, Medan. Di balik tumpukan tugas, ujian, dan perkuliahan, ada satu hal sederhana yang selalu membuat hariku lebih hangat: kiriman dari nenek di kampung halamanku, Pakkat sebuah desa kecil di pegunungan Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Pakkat mungkin jauh dari sorotan dunia modern, tapi bagi diriku, di sanalah akar dan cinta pertama tumbuh. Nenek adalah sosok yang tak pernah lelah menunjukkan kasih sayangnya, bahkan dari jauh. Meskipun kini aku hidup di tengah hiruk pikuk kota, hatiku tetap tertambat pada kesederhanaan dan ketulusan kampung halaman.

Meski hari ini dunia terasa lebih cepat dan mudah dijangkau, bukan berarti kerinduan bisa ditekan begitu saja. Aku tidak sedang terjebak pandemi, tapi jarak dan kesibukan sering kali membuatku tidak bisa pulang. Kampung dan kota seperti dua dunia yang berbeda, dipisahkan ratusan kilometer dan keterbatasan waktu. Tapi satu hal yang membuat semuanya terasa lebih dekat: paket dari kampung dan nama yang selalu hadir bersamanya adalah JNE.

Beberapa bulan lalu, aku tengah memasuki masa-masa sibuk perkuliahan. Proyek kelompok, presentasi, dan laporan praktikum menumpuk hingga membuat kepala rasanya nyeri tiap hari. Di tengah stres itu, tiba-tiba aku mendapat pesan WhatsApp dari kurir JNE.

"Paket dari Pakkat, Dek Sapna. Bisa ketemu sebentar di depan pagar kos?"

Seketika wajahku cerah. Nenek tidak pernah bilang akan mengirim apa-apa. Dengan cepat aku turun dari kamar kos. Di depan, seorang pria paruh baya berdiri di samping motor beban berat bertuliskan logo JNE. Kotak kardus bersegel rapi ada di tangannya. "Ini dari Ibu Panut, ya."

Aku tertegun. Panut adalah nama nenekku. Begitu kuterima paket itu, hatiku berdebar seperti sedang menerima hadiah dari surga. Di dalamnya ada kopi bubuk kampung, ulos kecil yang sudah diberi wewangian khas, dan kacang garing favoritku semuanya buatan tangan nenek. Tak lupa, selembar surat kecil bertuliskan:

"Untuk Sapna, tetap semangat kuliah ya. Nenek doakan dari jauh. Jangan lupa makan dan senyum."

Air mataku menetes pelan. Di tengah hiruk pikuk Medan, sebongkah cinta dari pegunungan Pakkat sampai tepat di pelukanku, dibawa oleh tangan kurir yang entah sudah berapa ratus kilometer dilaluinya hari itu.

Aku pun sempat berbincang sebentar dengan kurir itu. Namanya Bang Rudi, seorang ayah dua anak. Sudah lebih dari tujuh tahun bekerja sebagai kurir JNE. "Kadang hujan, kadang panas. Tapi saya senang kerja gini," katanya sambil tersenyum meski peluh membasahi wajahnya.

Aku terdiam. Bagaimana mungkin ia bisa tersenyum setelah seharian membawa puluhan paket, melewati kemacetan kota, mengangkat kardus besar ke sana kemari?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Medan Selengkapnya
Lihat Medan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun