Oh, diksi romansa saling berebut di sana.
Entah sudah berapa banyak yang terluka,
dan memperebutkan apa.
Begitu riuhnya, memaksa diri untuk mencerna!
Sejak kapan diksi romansa tak lagi punya cinta?
Jika keindahannya pun mulai pudar,
sungguh-sungguh menjadi tawar,
siapa yang akan membenahinya?
Sejenak melihat pada masa estetika.
Diksi romansa ibarat mutiara.
Menyentuhnya perlahan,
dan menaruhnya dalam lubuk hati terdalam.
Mencoba memahaminya,
tanpa ingin membuat luka.
Meski terkadang luka datang tanpa sengaja.
Aku mengagumimu,
meski tak pernah bersua.
Aku hormat kepadamu,
para sastrawan Indonesia.
Tak pernah kusentuh tanganmu,
tapi deretan diksimu sempat membuncahkanku.
Membuatku bernapas panjang,
dan menenggelamkan rasaku.
Tapi, kini ...
diksi sedang mengais maknanya sendiri.
Sembari kita mencari mereka,
mungkin mereka juga sedang mengobati luka.