Di sinilah kekuatan Atheis sebagai karya sastra klasik. Ia bukan sekadar produk zamannya, melainkan bacaan yang masih relevan hari ini. Ia mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam sikap “percaya buta”, baik terhadap dogma maupun terhadap gagasan baru. Ia mengajak kita untuk menyaring, menimbang, dan memilih dengan sadar.
Akhirnya, setelah menutup halaman terakhir, saya merasa-rasa baru saja menyelesaikan sebuah percakapan panjang dengan tokoh-tokoh yang keras kepala, penuh gairah, sekaligus membingungkan. Sebagai penutup, saya sepenuhnya paham, apa yang saya sampaikan di sini masih sangat permukaan. Hanya sebatas pandangan awal. Selayang pandang seorang pembaca awam yang mencoba menyampaikan pengalaman membacanya. Masih banyak sisi yang bisa dibedah lebih jauh, dan untuk penjabaran mengenai poin-poin yang sudah saya singgung di atas, mungkin akan saya tulis pada kesempatan berikutnya, jika sempat.
Batu Putih, 3 Oktober 2025
Sans Sastra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI