Mohon tunggu...
Sabrin Mustafa
Sabrin Mustafa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Speaker

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pejabat menguasai, rakyat menunggu: dampak pemisahan pemilu dan pilkada terhadap demokrasi konstitusional

1 Juli 2025   23:56 Diperbarui: 1 Juli 2025   23:56 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penjabat kepala daerah tidak memiliki basis legitimasi langsung dari rakyat, namun diberi kewenangan administratif dan bahkan politis. Dalam konteks hukum tata negara, ini menciptakan timpangnya kekuasaan eksekutif: kekuasaan dijalankan tanpa pengakuan formal dari pemilik kedaulatan (rakyat).

Akibatnya:
*Kebijakan daerah menjadi rentan intervensi elit pusat,
*Partisipasi masyarakat dalam pembangunan menurun karena tidak merasa memiliki pemerintahan daerah,
*Terjadi ketimpangan representasi antara pusat dan daerah.

Demokrasi pada akhirnya menjadi semu --- karena rakyat hanya menjadi penonton, menunggu waktu untuk menggunakan hak pilihnya, sementara kekuasaan tetap berjalan tanpa mereka.

4. Efisiensi vs Demokrasi Substantif: Dilema Anggaran dan Kualitas Pemilu

Argumen pro terhadap pemisahan pemilu seringkali berdasar pada kebutuhan efisiensi teknis dan pengurangan beban pemilih serta penyelenggara. Namun dalam kenyataannya, dua kali pemilu besar (nasional dan lokal) dengan waktu yang berbeda justru berpotensi meningkatkan beban fiskal negara.

Meski demikian, dari sisi demokrasi substantif:
*Pemilih memiliki waktu lebih fokus pada isu lokal dalam Pilkada, dan isu nasional saat Pemilu,
*Meningkatkan kualitas pertimbangan pemilih terhadap calon pemimpin,
*Mencegah polarisasi yang ekstrem akibat pemilu serentak.

Dengan demikian, pemisahan ini menyisakan dilema: mana yang harus diutamakan --- efisiensi anggaran atau kualitas demokrasi?

5. Mendesaknya Revisi Regulasi dan Desain Kelembagaan Baru

Untuk mengakomodasi pemisahan waktu Pemilu dan Pilkada yang sah secara konstitusional, negara wajib:
*Merevisi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,
*Merevisi UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,
*Menyusun ulang siklus jabatan daerah dan masa tugas Penjabat,
*Meningkatkan mekanisme pengawasan terhadap penyalahgunaan jabatan Pj.

Revisi ini harus menjamin bahwa pemisahan bukan hanya administratif, melainkan juga tetap mencerminkan jiwa demokrasi konstitusional, dengan penekanan pada akuntabilitas dan partisipasi publik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun