Demokrasi elektoral di Indonesia mengalami babak baru sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan No. 135/PUU-XXII/2024 yang mengoreksi skema pemilu serentak penuh. Putusan tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan Pilkada serentak nasional pada November 2024 berpotensi melemahkan efektivitas pemerintahan daerah dan menyarankan pemisahan antara Pemilu nasional dan Pilkada pada waktu yang berbeda.
Wacana ini kemudian berkembang menjadi kebijakan pemisahan Pemilu dan Pilkada mulai tahun 2029, di mana keduanya tidak lagi diselenggarakan serentak, tetapi diberi jeda waktu tertentu. Dalam praktiknya, pemisahan ini justru memunculkan masalah serius dalam hukum tata negara, terutama menyangkut legitimasi kekuasaan, hak pilih rakyat, dan prinsip demokrasi konstitusional.
Dengan makin banyaknya jabatan kepala daerah yang akan diisi oleh Penjabat (Pj) dalam waktu yang panjang, muncul pertanyaan fundamental: Apakah demokrasi tetap berjalan jika rakyat menunggu terlalu lama untuk memilih pemimpinnya, sementara kekuasaan daerah dipegang oleh pejabat yang tidak dipilih secara langsung?
1. Kedaulatan Rakyat dalam Ancaman: Penjabat Menggantikan Pilihan
Salah satu pokok persoalan utama dalam pemisahan waktu Pemilu dan Pilkada adalah kekosongan kekuasaan daerah yang diisi oleh Penjabat Kepala Daerah. Penjabat ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, tanpa melibatkan mekanisme pemilihan rakyat. Hal ini berpotensi melanggar prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Jika pemisahan berlangsung dengan jeda dua tahun atau lebih, maka daerah akan dipimpin oleh pejabat administratif tanpa legitimasi elektoral. Ini adalah bentuk transisi kekuasaan tanpa partisipasi rakyat, yang pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip demokrasi konstitusional. Kekuasaan tetap dijalankan, tetapi rakyat tidak dilibatkan.
2. Ketidaksinkronan Pemerintah Pusat dan Daerah
Pemisahan Pemilu nasional dan Pilkada juga berimplikasi terhadap sinkronisasi arah kebijakan antara pusat dan daerah. Presiden terpilih melalui Pemilu nasional 2029 akan mulai menjabat sebelum kepala daerah dipilih dalam Pilkada yang dilakukan kemudian (atau bahkan sebelumnya, tergantung jadwal).
Ketidaksamaan siklus ini menimbulkan:
*Ketegangan politik vertikal antara pejabat pusat dan daerah,
*Ketidakselarasan visi dan misi pembangunan nasional dan daerah,
*Terganggunya implementasi program strategis nasional di daerah.
Dari sisi hukum tata negara, keselarasan fungsi eksekutif pusat dan daerah adalah bagian dari prinsip efektivitas pemerintahan, yang turut dijamin konstitusi.
3. Legitimasi yang Timpang dan Demokrasi yang Tertunda
Penjabat kepala daerah tidak memiliki basis legitimasi langsung dari rakyat, namun diberi kewenangan administratif dan bahkan politis. Dalam konteks hukum tata negara, ini menciptakan timpangnya kekuasaan eksekutif: kekuasaan dijalankan tanpa pengakuan formal dari pemilik kedaulatan (rakyat).
Akibatnya:
*Kebijakan daerah menjadi rentan intervensi elit pusat,
*Partisipasi masyarakat dalam pembangunan menurun karena tidak merasa memiliki pemerintahan daerah,
*Terjadi ketimpangan representasi antara pusat dan daerah.
Demokrasi pada akhirnya menjadi semu --- karena rakyat hanya menjadi penonton, menunggu waktu untuk menggunakan hak pilihnya, sementara kekuasaan tetap berjalan tanpa mereka.
4. Efisiensi vs Demokrasi Substantif: Dilema Anggaran dan Kualitas Pemilu
Argumen pro terhadap pemisahan pemilu seringkali berdasar pada kebutuhan efisiensi teknis dan pengurangan beban pemilih serta penyelenggara. Namun dalam kenyataannya, dua kali pemilu besar (nasional dan lokal) dengan waktu yang berbeda justru berpotensi meningkatkan beban fiskal negara.
Meski demikian, dari sisi demokrasi substantif:
*Pemilih memiliki waktu lebih fokus pada isu lokal dalam Pilkada, dan isu nasional saat Pemilu,
*Meningkatkan kualitas pertimbangan pemilih terhadap calon pemimpin,
*Mencegah polarisasi yang ekstrem akibat pemilu serentak.
Dengan demikian, pemisahan ini menyisakan dilema: mana yang harus diutamakan --- efisiensi anggaran atau kualitas demokrasi?
5. Mendesaknya Revisi Regulasi dan Desain Kelembagaan Baru
Untuk mengakomodasi pemisahan waktu Pemilu dan Pilkada yang sah secara konstitusional, negara wajib:
*Merevisi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,
*Merevisi UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,
*Menyusun ulang siklus jabatan daerah dan masa tugas Penjabat,
*Meningkatkan mekanisme pengawasan terhadap penyalahgunaan jabatan Pj.
Revisi ini harus menjamin bahwa pemisahan bukan hanya administratif, melainkan juga tetap mencerminkan jiwa demokrasi konstitusional, dengan penekanan pada akuntabilitas dan partisipasi publik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI