Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Negeri Tanpa Ayah

28 November 2017   16:07 Diperbarui: 28 November 2017   16:26 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang anak yang tumbuh tanpa figure seorang ayah akan menjadi seseorang yang bermasalah bahkan sampai di masa dewasanya. Sudah banyak sekali referensi yang menyajikan data mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi pada seorang anak yang tumbuh tanpa adanya pendampingan dari sosok ayah. Anak tersebut akan menjadi pribadi yang tidak percaya diri, menjadi lebih agresif, rentan menjadi depresi, rentan terjerumus pada perilaku adiksi, rentan eksploitasi, bermasalah secara akademis, bermasalah dengan kesehatan, bermasalah dalam menjalin hubungan, dan sejuta permasalahan-permasalahan lainnya.

Sosok ayah yang dimaksudkan tentunya bukan sekedar ayah yang hadir secara fisik, tetapi harus bisa berfungsi layaknya seorang ayah. Idealnya tentunya figure ayah yang fungsional diperankan oleh ayah kandung, karena si anak harus dapat melihat sosok ayah yang menyayangi ibunya, melindungi keluarganya, mendukung anak-anaknya dan bertanggung jawab sebagai laki-laki. Banyak sekali ayah kandung yang hanya ada secara fisik tetapi tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang ayah, seorang laki-laki dewasa di dalam rumah, misalnya: ayah yang menganggur, ayah yang mabuk-mabukan, ayah yang memukuli ibu, ayah yang sering pergi dengan perempuan-perempuan lain, ayah yang kasar, ayah yang cuek, ayah yang terlalu sibuk bekerja, dll. Lebih parah lagi, banyak anak-anak tumbuh tanpa mengetahui siapa ayah mereka atau hanya mengetahui ayah mereka lewat foto atau sekedar nama di akta lahir (jika mereka punya akta lahir).

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para psikolog (karena saya bukanlah seorang psikolog),menurut saya, ada 2 permasalahan besar yang terjadi pada seorang anak bila dia tumbuh tanpa sosok seorang ayah. 

  • Ada lubang di dalam hatinya

Hilangnya sosok seorang ayah dalam masa pertumbuhan anak akan membuat hati seorang anak tidak utuh, akan ada lubang besar dalam hatinya, yang tidak bisa ditutup dengan apapun juga kecuali dengan kehadiran seorang ayah atau pengampunan. Sayangnya tidak banyak yang menyadari keberadaan lubang ini, atau tahu bagaimana mengisi lubang ini. Anak-anak tanpa ayah mengira mereka bisa menutup lubang itu dengan alcohol, obat-obatan terlarang, dengan seks, pesta, atau dengan pengakuan dari orang lain, tampil eksis dimanapun termasuk media sosial. Banyak hal menjadi tidak penting lagi bagi mereka karena satu hal besar yang penting dalam hidup mereka memang tidak pernah ada. Mereka mengorbankan banyak hal dalam hidup mereka demi hal-hal yang mereka anggap bisa mengusir kepedihan mereka, membuat mereka bahagia atau minimal lupa dengan kesedihan, untuk mengisi lubang dalam hati mereka tersebut. Bila hal-hal fana itu hilang, mereka akan kembali merasakan kekosongan itu lalu berjuang makin keras mengisi lubang itu lagi, dan teruslah lingkaran setan itu berputar tanpa putus karena solusi atas lubang tersebut tidak pernah ada.

  • Pola perilaku menyakiti

Saya menyebut ini sebagai suatu pola perilaku karena mereka akan menyakiti siapapun, diri sendiri maupun orang lain, sadar atau tidak sadar, sebagai bentuk reflex mereka atas kesakitan yang mereka alami. Seperti layaknya singa yang sedang kesakitan, dia akan meronta, mencakar, mendorong, meraung, dll dan akan berakhir menyakiti orang lain atau dirinya sendiri tanpa ada niatan demikian dari dirinya. Demikian juga dengan anak-anak tanpa ayah. Mereka akan terus-menerus menyakiti diri mereka sendiri secara fisik atau psikis, mereka akan menyabotase kehidupan mereka, menghalangi diri mereka sendiri untuk berprestasi atau justru menjadi gila prestasi, menghalalkan segala cara agar bisa diakui orang lain, menyakiti orang lain, sulit menjalin relasi intim dengan orang lain karena pada dasarnya mereka tidak percaya akan banyak hal. Mereka tidak percaya bahwa mereka berharga, mereka mampu berprestasi, mereka tetap dihargai meskipun berbuat salah atau tidak berprestasi, mereka tidak percaya ada banyak orang ingin berbuat baik pada mereka, mereka tidak percaya mereka bisa berbuat baik dengan orang lain, dll karena satu-satunya sosok yang harusnya menjadi pondasi kepercayaan pertama mereka tidak pernah ada, mereka dikhianati oleh orang pertama yang seharusnya bisa mereka percaya.

Saya tumbuh dalam keluarga yang fungsional, ayah saya adalah seorang family man, ia jujur, pekerja keras, bertanggung jawab dan sangat menyayangi keluarganya. Tetapi banyak sekali teman-teman saya tumbuh tidak seberuntung saya dan saya melihat sendiri apa terjadi pada mereka, saya yakin semua pembaca pernah mengenal paling tidak 1 orang yang hidupnya seperti yang saya gambarkan di atas. Bila masih kurang yakin, mari kita lihat berita-berita yang beredar akhir-akhir ini, mari kita lihat fenomena anak-anak muda yang perilakunya makin tak terbayangkan. Anak SD melecehkan temannya, anak SMP membully temannya, anak SMA terlibat dalam prostitusi online, berapa banyak yang terjerumus dalam kecanduan narkotika, social climber, maraknya aksi begal, dll dll. Jika semua itu ditelusuri secara detil mungkin sumber dan pangkalnya adalah hilangnya sosok ayah dalam hidup mereka. Mungkin, semoga saya salah.

Hilangnya sosok ibu tentunya juga memiliki dampak yang tidak kalah signifikan tetapi saya ingin memberikan penekanan pada sosok ayah karena tidak bisa dipungkiri ayah adalah kepala keluarga, kepala rumah tangga. Ayah memegang peran yang sangat besar bagi pembentukan karakter anaknya. Karena alpanya sosok ayah dalam 1 orang bisa muncul begitu banyak permasalahan. Coba bayangkan betapa besar permasalahan yang akan terjadi bila ada 100 orang, 1000 orang, 1 juta orang, bahkan 1 negara tumbuh tanpa ayah, betapa chaos-nya suatu generasi. Berusaha memperbaiki permasalahan 1 orang saja butuh daya upaya yang tidak sedikit dan waktu yang tidak sebentar, apalagi bila 1 generasi, 1 negara, apa saja yang kira-kira dibutuhkan? Akan jadi seperti apa negeri kita?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun