Nama Sextus Empiricus mungkin saja tidak seterkenal Socrates atau Plato. Ia hidup sekitar abad kedua Masehi, di era Romawi. Sextus Empiricus dikenal sebagai tokoh utama dalam tradisi skeptisisme klasik. Harus diakui, agak sulit menemukan detail kehidupan pribadinya karena tidak banyak data sejarah yang menyediakan informasi akurat. Namun, warisan pemikirannya abadi dan bisa kita lacak melalui karya-karyanya, terutama Outlines of Pyrrhonism dan Against the Dogmatists. Karya-karya Sextus Empiricus itulah yang menjadi pintu masuk utama bagi dunia modern untuk memahami skeptisisme kuno, khususnya aliran Pyrrhonian (Bury, 1933:1).
 Outlines of Pyrrhonism dan Against the Dogmatists
Dalam Outlines of Pyrrhonism, Sextus menyusun secara sistematis prinsip-prinsip skeptisisme Pyrrhonian. Ia menjelaskan bagaimana seorang skeptis menghadapi klaim kebenaran dengan epoch, semacam sikap untuk menunda penilaian atau penarikan kesimpulan.
Sextus menulis: "Ketika orang menunda penilaian, ketenangan muncul secara kebetulan, seakan-akan bayangan mengikuti tubuh" (Sextus Empiricus, 1933: I.29). Bagi Sextus, keraguan bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan menuju ketenangan batin (ataraxia).
Sementara itu, kalau kita mencoba membaca Against the Dogmatists, kita akan menemukan tulisan yang lebih bersifat polemis. Dalam karya tersebut, Sextus mengkritik berbagai aliran 'filsafat dogmatis', termasuk Stoikisme, Epikureanisme, dan kaum peripatetik pengikut Aristoteles. Kritik-kritik Sextus tajam sekaligus sistematis, memperlihatkan bahwa tidak ada argumen filosofis yang benar-benar kebal dari keraguan (Pellegrin, 2010:125).
Dengan dua karya besar ini, Sextus tidak hanya mempertahankan skeptisisme klasik, tetapi juga memberi kerangka kerja bagi generasi setelahnya untuk berpikir kritis terhadap klaim pengetahuan yang absolut.
Prinsip Utama Skeptisisme
Sextus menolak klaim bahwa manusia bisa mencapai pengetahuan yang benar-benar pasti. Baginya, setiap klaim selalu bisa dipertanyakan. Dari sini ia mengembangkan prinsip inti yang disebut epoch --- yaitu menunda penilaian.
Mengapa harus menunda? Karena terburu-buru menyimpulkan justru menjerat kita pada keyakinan yang rapuh. Dengan epoch, kita belajar untuk sabar dan terbuka pada kemungkinan lain. Dengan begitu, kita tidak terlalu terburu-buru menganggap sesuatu sebagai benar atau salah.