Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Nostalgi

28 Agustus 2018   19:45 Diperbarui: 28 Agustus 2018   20:20 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihatnya lagi sungguh suatu hal yang membangkitkan berbagai rasa dalam pikiranku. Ada kekagetan, ada sedikit pangling. Tapi yang membuat semuanya terasa tak begitu menggema adalah debar hati tatkala menatap matanya kembali. Jantungku mengubah ritme detaknya jadi seperti irama heavy metal yang berasimilasi dengan melodi dangdut: tak karuan! Hingga semua kekagetan dan pangling yang beberapa saat sempat mengabuti akalku, melayang terembus jauh-jauh. Kini ruang benakku --dan juga, rasanya, ruangan tempat kini aku berada-- dipenuhi awan rasa tak menentu. Luar biasa bila dipikir-pikir apa saja yang bisa terjadi dalam waktu sesingkat itu!

Sekarang ia duduk di depanku. Terlalu terlambat untuk menyadari apa yang harusnya kulakukan. Dan lebih terlalu terlambat lagi untuk membuat konsep percakapan. Selalu begitu bila aku berada dekatnya. Dahulu begitu, sekarang pun keadaannya tetap sama. Aku selalu terbelenggu pesona dirinya. Bibirku terkunci, badan serasa lumpuh. Ingin membuka percakapan, mencairkan batu es yang menyelimutiku. Namun yang terjadi hanya lirih nafasku yang mendesah sedikit saja.

Dia tersenyum kecil. Rupanya geli dia melihatku tak berkutik di depannya. Ia yang pertama membuka percakapan. Seperti biasa.

"Apa kabar, Bang? Lagi apa di sini?"

Kutelan liurku yang serasa menggumpal sebesar bola tenis, mencoba menguasai diri semampuku.

"Nggak lagi apa-apa," jawabku sambil berusaha untuk senyum. Jawaban konyol!

"Nie senang lihat Abang lagi! Sudah berapa tahun, ya? Lima? Enam? Abang senang nggak, ketemu Nie lagi? Kok, muka Abang seperti habis melihat hantu?"

Dia terkekeh geli. Suara itu...,oh...,masih sama seperti dulu yang selalu bisa mencairkan emosiku!

"Diam saja, sih? Nggak suka ya, lihat tampang Nie? Terganggu ya? Ya sudah, Nie mau pergi saja!" cetusnya sambil bergerak seolah-olah hendak berdiri. Wajahnya cemberut. Oh, jangan! Jangan pergi dulu!

"Jangan pergi..., Nie! Maaf! Duduklah lagi!" kataku terbata-bata. Aku sedikit kaget mendengar suaraku sendiri yang terdengar tidak seperti biasanya. Kikuk, serak, dan..., ya ampun...ketus! Moga-moga dia tidak tersinggung. Sungguh, aku tidak bermaksud kasar padanya. Sama sekali tidak! Hanya, aku belum bisa mengendalikan perasaanku sepenuhnya.

Dia menurut. Wajahnya kembali cerah. Senyumnya mengembang lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun