Mohon tunggu...
Samudra Eka Cipta
Samudra Eka Cipta Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Travel dan Jalan-Jalan

Jadikanlah Setiap Peristiwa Sebagai Guyonan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keharmonisan Soekarno dengan Nikita Khruschev dalam Membangun Hubungan Diplomatik Indonesia-Soviet (1950-1965)

5 November 2020   17:44 Diperbarui: 5 November 2020   17:56 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.ebay.com/usr/historicimages-store

Hubungan bilateral Indonesia dengan Rusia sudah lama terjalin. Dimulai ketika Masa Soviet kedua negara bilateral sangat menghangat dan puncak kehangatan hubungan bilateral tersebut terjadi dimasa Pemerintahan Khruschev. Faktor politis yang menjadikan hubungan kedua negara semakin hangat. Kesamaan ideologi sosialis Sovoiet dengan gagasan Marhaenisme ala Soekarno juga menjadi salah satu faktor hubungan bilateral tersebut.

Pasca Gerakan 30 September 1965 hubungan Indonesia dan Soviet mulai merenggang akibat kebijakan Pemerintah Orde Baru yang cnennderung mendukung Blok Barat. Namun hubungan diplomatik Indonesia-Soviet masa Orde Baru tetap berjalan namun, selama periode tersebut tidak banyak kebanyakan yang dilakukan antara Indonesia-Soviet. Mengingat, Soeharto saat itu lebih memihak pada blok Barat ketimbang Soviet yang sebenarnya jika ditarik sejarahnya Indonesia adalah kunci utama dari keberhasilan dan kejayaan Uni Soviet. Meski demikian  Kedutaan Besar Soviet di Jakarta tetap berdiri hingga menjadi Kedutaan Besar Federasi Rusia pasca kejatuhan Soviet di tahun 1991.

SELAYANG PANDANG  POLITIK BEBAS AKTIF INDONESIA

Dalam perang dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika (Barat) dengan Blok Uni Soviet (Timur) pada masa awal berdirinya negara Indonesia, Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok yang ada. Hal ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri di dalam pidatonya pada Inter Asian Relations Conference di New Delhi pada tanggal 23 Maret--2 April 1947.

Dalam pidatonya tersebut, Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia, yang hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara damai antar bangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada di dunia. Dengan demikian di dalam perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memecah belah persatuan, sikap tidak memihak adalah sikap yang paling tepat untuk menciptakan perdamaian dunia atau paling tidak meredakan perang dingin tersebut. Keinginan Indonesia pada awal kemerdekaannya untuk tidak memihak dalam perang dingin tersebut selain untuk meredakan ketegangan yang ada juga dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Indonesia saat itu, yaitu mencari dukungan dunia Internasional terhadap perjuangan kemerdekaannya.

Oleh karena itu, keterikatan pada salah satu kubu (blok) yang ada belum tentu akan mendatangkan keuntungan bagi perjuangan kemerdekaannya. Karena pada waktu itu negara-negara dari Blok Barat (Amerika) masih ragu-ragu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda yang juga termasuk salah satu dari Blok Barat. Di lain pihak, para pemimpin Indonesia saat itu juga masih ragu-ragu dan belum dapat memastikan apa tujuan sebenarnya dari dukungan-dukungan yang diberikan negara Blok Timur terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum PBB. Selain itu, Indonesia pada saat itu disibukkan oleh usaha mendapatkan pengakuan atas kedaulatannya, sehingga Indonesia harus berkonsentrasi pada masalah tersebut.

Secara resmi politik luar negeri Indonesia baru mendapatkan bentuknya pada saat Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan keterangannya kepada BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) mengenai kedudukan politik Indonesia pada bulan September 1948 terdapat usulan dari Mohammad Hatta perihal arah dan nasib Indonesia. Bagi Hatta pengakuan Indonesia oleh dunia internasional sangatlah perlu, sebab ini merupakan cara agar Indonesia dapat diakui kemerdekaan secara de facto.

Di sisi lain, saat itu terdapat momen yang bersamaan yakni pertarungan ideologi antara Komunis-Liberal. Perang dingin terjadi sebagai kegagalan rekonsialisasi Pasca Perang Dunia II. Perang Dingin seakan menyebabkan pola kekuatan dunnia semakin terpecah. Nasionalisme di negara-negara sekitar Asia-Eropa-Amerika menyebabkan ideologi komunis dan liberalisme semakin tumbuh subur terutama negara dunia ketiga (negara berkembang). Tumbuhnya kedua ideologi tersebut juga diiringi dengan pertentangan diantara keduanya.

Dalam hal politik Blok Barat yang didukung oleh Amerika membentuk NATO sedanngkan Blok Timur yang didukung oleh Soviet membentuk Pakta Warsawa. Baik NATO dan Pakta Warsawa merupakan sebuah upaya untuk menghimpun kekuatan dan aspirasi politik negara pendukungnya

Sikap yang demikian inilah yang kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif, yang artinya dalam menjalankan politik luar negerinya Indonesia tidak hanya tidak memihak tetapi juga "aktif" dalam usaha memelihara perdamaian dan meredakan pertentangan yang ada di antara dua blok tersebut dengan cara "bebas" mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar saling menghargai.

Sejak Mohammad Hatta menyampaikan pidatonya berjudul "Mendayung Antara Dua Karang" di depan Sidang BP KNIP pada bulan September 1948, Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu Blok negara-negara superpower, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional (Pembukaan UUD 1945).

Politik luar negeri RI yang bebas dan aktif itu dapat diartikan sebagai kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang diambil atau sengaja tidak diambil oleh Pemerintah dalam hubungannya dengan negara-negara asing atau organisasi-organisasi internasional dan regional yang diarahakan untuk tercapainya tujuan nasional bangsa. Politik luar negeri bebas aktif inilah yang kemudian menjadi prinsip dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan selanjutnya. Tentunya pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif ini juga disesuaikan dengan kepentingan dalam negeri serta konstelasi politik internasional pada saat itu.

POLITIK MERCUSUAR SEBAGAI LANGKAH DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK INDONESIA-SOVIET

Politik Mercusuar adalah politik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi New Emerging Forces (kekuatan baru yang sedang tumbuh) di dunia. Soekano yang pada saat itu beranggapan dengan adanya politik mercusuar diharapkan adanya pembangunan pada proyek-proyek besar dan spektakuler pun diselenggarakan dengan harapan agar Jakarta mendapat perhatian dari luar negeri dengan tujuan membangun hubungan persahabatan dengan negara-negara lain.

Salah satu Mega Proyek saat itu yakni pembangunan Istora Senayan (sekarang: Gelora Bung Karno) yang merupakan bukti bahwa Indonesia saat itu dengan gagasannya mampu menyaingi dua kekuatan besar.

Hal lainnya  arsitektur Soekarno melakukan beberapa pembangunan diantaranya Patung Selamat Datang yang saat ini menjadi ikon Kota Jakarta, Monumen Nasional, Patung Pancoran, dan pembangunan Grand Indonesia yang saat itu menjadi pusat investasi bagi para investor asing. Sedangkan dalam bidang event keolahragaan, Soekarno  merencanakan Indonesia menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan olahraga tingkat Asia dan itu dibuktikan dengan Keberhasilan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games tahun 1963

 Tidak ada penjelasan terbuka dari para ahli atau sejarawan Indonesia mengenai apa itu Politik Mercusuar. Dalam sebuah tulisannya mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin di Indonesia di peroleh sebuah pengertian mengenai Politik Mercusuar. Intinya, Politik Mercusuar merupakan sebuah kebijakan yang berkaitan dengan hubungan negara pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1960 yang bertujuan untuk memperlihatkan eksistensi Indonesia di kancah internasional. Pembangunan besar-besaran dalam negeri, persenjataan militer yang tangguh, menjadi Mercusuar atau pusat bagi negara-negara yang sedang berkembang atau NEFO, dan bagi Soekarno yang senang akan hal-hal simbolik dan secara psikologis untuk memuaskan kebutuhan untuk dihargai, menjadi pemimpin negara-negara NEFO merupakan inti dari kebijakan ini.

KEDATANGAN KHRUSCHEV KE JAKARTA

Nikita Khruschev datang ke Indonesia dengan menggunakan pesawat Ilyushin-18 pada tanggal 18 Februari 1960. Kedatangan Khruschev ke Indoneia disambut antusias terutama oleh masyarakat dan juga sebagian kalangan mahasiswa terutama CGMI (organisasi bentukan PKI) dan GMNI (organisasi bentukan PNI). Di awal hari kedatangannya Soekarno mempersembahkan kepada Khruschev dengan jamuan pertunjukan seni selama tiga setengah malam tanpa henti. 

Saking, hormatnya Soekarno kepada Khruschev selalu memberikan dan menyajikan makanan khas Indonesia yang akan dimakan bagi rombongan Soviet. Namun yang menarik adalah ketika Soekarno dan Khruschev sempat terjadi perselisihan kecil perihal penyantapan makanan khas Indonesia yang tidak selalu melulu diterima lidah bagi pada rombongan Soviet yang akan datang ke Indonesia saat itu.

Selama di Indonesia Khruschev mulai mengunjungi beberapa wilayah di Indonesia yakni Manado, Denpasar, Yogyakarta, hingga Ambon. Beberapa kerjasama mulai disepakati keduanya mulai dari sosial budaya hingga kepada bidang militer. Sebagai contoh diadakannya program pertukaran pelajar antara Indonesia-Soviet banyak para pelajar Indonesia yang disekolahkan di Soviet. Meskipun pada akhirnya pada tahun 1965 banyak pelajar Indonesia yang terpaksa kehilangan status kewarganegaraannya oleh Pemerintah Orde Baru terkait Gerakan 30 September 1965. Tidak sedikit juga dari mereka terkena korban pembunuhan massal oleh Pemerintah Orde Baru

Sebenarnya, maksud kedatangan Khruschev ke Indonesia memiliki motif lain yakni berusaha untuk melobi Soekarno dalam menguraet ngi pengaruh Blok Barat di Indonesia. Ditambah kekuatan Blok Barat semakin kuat. Dalam hal sains dan teknologi Amerika mendirikan NASA sebagai upaya untuk menandingi kekuatan Bandan Antariksa Soviet. Soviet juga mengirimkan pesawat Salyut ke wilayah antariksa. Disisi lain NASA juga meluncurkan Apollo 11

DIPLOMASI BUDAYA INDONESIA-SOVIET

Pada mulanya kerjasama antara Indonesia dnan Soviet terfokuskan pada masalah sosial politik dan pertahanan. Secara  kebetulan, peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia selama 1960an dapat dikatakan sangat menganggu stabilitas dimulai dengan permasalahan Irian Barat yang memaksakan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk menentukn nasib Irian Barat selanjutnya, permasalahan Konfrontasi Indonesia-Malaysia yang lagi-lagi disebabkan oleh faktor ksternal.

Tidak hanya sampai situ, permasalahan juga terjadi di dalam negeri seperti Pemberontakan PRRI di wilayah Sumatera Timur (Pemerintahan Revolusioner Indonesia) dan Permesta (Perdjuangan Rakjat Semesta) yang terjadi di wilayah Sulawesi Utara dengan melibatkan Daniel Maukar salah seorang mantan Pilot Auri yang berusaha menyerang ke istana ketika perwistiwa Permesta meletus. Kondisi tersebut memaksakan Indonesia meminta bantuan persenjataan terutama berjenis AK-47 kepada Soviet.

Diplomasi kebudayaan antara Indonesia-Soviet sebenarnya tidak begitu direalisasikan secara nyata diplomasi budaya hanya dilakukan sebagai usaha Soviet dalam membangun negara sosialis di mata dunia. Terlebih saat itu secara personal Soekarno memiliki visi dan misi dengan Marhaenisme nya yang dianggap sejalan dengan tujuan Uni Soviet. Kedua negara trsebut masing-masing mempelajari dan mengkaji pola gerakan sosialisme.

Meskipun sesama sosialisme namun nampaknya antara Indonesia dengan Soviet memiliki corak gerakan terutama pada massa yang berbea. Sosialisme di Soviet lebih didominasi oleh kelas buruh dan pekerja sebagai motor geraknan sedangkan di Indonesia lebih didominasi oleh kelas petani mlalui BTI (Buruh Tani Indonesia) sehingga Marhaenisme sangat cocok bagi kelas petani.

Diplomasi kebudayaan mereka disisi lain berbentuk soft diplomacy artinya suatu diplomasi yang sejatinya bersifat netral tidak terlalu intervensi dan cenderung tenang. Adapun bentuk Hubungan Diplomasi Kebudayaan Indonesia  Soviet yakni didiriknnya BHKIS (Badan Hubungan Kebudayaan Indonesia Soviet). Beberapa tokoh dari LEKRA (Lembga Kebudajaan Rakjat) seperti Pramoedya Ananta Toer selalu berkontribusi aktif pada BHKIS.

Pramoedya banyak menerjemahkan beberapa karya tokoh Kiri Terkenal seperti Friederich Engels, Maxim Gorki, dan Stalin. Selain itu didirikannya lembaga penerbitan swasta sebagai bentuk diplomsi Soviet-Indonesia yaknni Jajasan Pembaharu yang banyak sekali menerbitkan buu-buku beraliran kiri. Hal inilah yang menyebabkan semakin nyata dipomasi Indonesia-Soviet dalam hal bidang kebudayaan

BANTUAN EKONOMI SOVIET MASA KHRUSCHEV

Tahun 1956-1962 merupakan puncak "kemesraan" hubungan Indonesia-Uni Soviet. Hal ini tercermin dari kedekatannya hubungan kedua kepala negara dengan adanya saling kunjung. Pada tanggal 28 Agustus-12 September 1956 Presiden Soekarno berkunjung ke Moskow. Dalam kunjungan tersebut, pada tanggal 11 September 1956 dihadapan Presiden Soekarno dan petinggi-petinggi Uni Soviet seperti Mikoyan, Voroshilov, Kaganovich dan Malenkov, Menteri Luar Negeri Indonesia Ruslan Abdulgani dan Wakil Menteri Luar Negeri Uni Soviet Gromyko menandatangani Kesepakatan Bersama (Joint Statement).

Pada bulan Juni 1961 Presiden Soekarno melakukan kunjungan ke Uni Soviet dan pada tahun 1957 Ketua Presidium Uni Soviet Tertinggi K.Y. Voroshilov serta pada Februari 1960 Perdana Menteri Nikita Khuschev berkunjung ke Indonesia.

Pada tahun 1962 setelah Khruschev berkunjung ke Indonesia, Soviet mengucurkan ratusan dollar dalam peminjaman dana untuk pembangunan Rumah Sakit ''Persahabatan'' di Klender, Jakarta.  Banyak sekali perusahaan-perusahaan milik Soviet berdiri di Indonesia. Kebanyakan perusahaan yang dibantu oleh Societ yakni perusahaan yang berbasis IPTEK dan Militer. Namun, perusahaan-perusahaan milik Soviet pada akhirnya banyak yang terbengkalai dikarenakan faktor kondisi perpolitikan Indonesia yng belum stabil.

Total pinjaman Soviet kepada Indonesia selama masa Pemerintahan Khruschev sebesar 250 Juta US $ , 40 Juta US $ dialokasikan ke bidang militer. Disisi lain, Soviet dikalahkan oleh negara-negara Blok Barat sehingga banyak proyek Soviet di Indonesia sudah tidak dilanjutkan kembali. Menjelang akhir jabatan Soekarno Indonesia lebih cocok untuk berkerjasama dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) ketimbang Soviet karena kebijakan Politik Mao Zedong terkenal dengan ''Politik Lompatan Jauh ke Depan'' seiring dengan program industrialisasi besar-besaran milik Tionkok.

Sejatinya, Indonesia saat itu diuntungkan dengan adanya hubungan biltaeral Indonesia-Soviet terutama bidang militer. Barang yang diimpor berupa pesawat tempur, kapal selam, hingga senjata laras panjang. AK-47 pernah mendoninasi persenjataan militer di Indonesia. Alasan, Indonesia sangat ketergantungan pada Soviet soal alat militer dan pertahanan yakni untuk menghadapi Malaysia, Inggris, dan Belanda pada peristiwa Konfrontasi Indonesia-Malaysia dan Pembebasnan Irian Barat.

Soviet sangat mendukung langkah yang dilakukan oleh Indonesia dengan mnenempatkan Indonesia sebagai ''zona netral''. Disisi lain banyak pihak yang sebenarnya tidak senang dengan hubungan Soekarno-Soviet karena dianggap terlalu pro-Komunis. Salah satu pihak yang tidak menyenangi yankni dari beberapa kalangan Perwira AD (Angkatan Darat) yang masih setengah hati dalam memberantas neo-kolonialisme imperialisme.

Mereka (sebagian Perwira AD) menunjukkan sikapnya anti Soviet ketika Soekarno memerintahkan untuk mengirimkan pasukan wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia di Sabah dan Sarawak pada Operasi Dwikora. Operasi tersebut untuk mencegah serangan Malaysia yang akan hendak menyerang Indonesia. Jumlah pasukan yang diterjunkan saat itu sangat sedikit sehingga  menyebanban Indonesia mengalami kekalahan dengan Malaysia. Ditambah lagi dengan kegagalan Operasi Komando Mandala Siaga KKO-AL (Koprs Komnando Angkatan Laut) di Singapura yang berakhir penangkapan Usman dan Harun salah atu Korps Marinir dianggap sebagai pelaku pengebomaman di MacDonald House di Orchad Road, Central Singapore.

Samudra Eka Cipta (05 November 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun