Mohon tunggu...
sampe purba
sampe purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Insan NKRI

Insan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Geopolitik Klasik Kontemporer, Masihkah Relevan?

29 Mei 2022   20:56 Diperbarui: 2 Juni 2022   09:00 2284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Geopolitik Global. (sumber: kompas.id/HERYUNANTO )

"Kerja sama investasi, logistik, pembiayaan yang terinterkoneksi dengan kebijakan di semua negara mitra dan organisasi internasional dapat dipandang sebagai penguatan atau pengikatan pengaruh geopolitik."

Prolog

Geopolitik adalah implementasi kebijakan posisi tawar dalam hubungan internasional dikaitkan dengan posisi geografis suatu negara atau suatu wilayah. Geopolitik diwujudkan dalam kebijakan maupun penerapan dalam bidang ekonomi, politik, hubungan luar negeri, kekuatan militer dan lain lain. 

Geopolitik -- secara etimologi -- adalah perpaduan antara geo (geografi, sesuatu yang statis) dengan politik (sesuatu yang dinamis). Dengan demikian, memahami geopolitik tidak terlepas dari dinamika dan perspektif maupun inter relasi dan interaksi antar aktor-aktor di dalamnya.

Evolusi Geopolitik 

Dalam menyambut ulangtahun ke 57 Lemhannas (Lembaga Ketahanan Nasional) RI -- sebagai sekolah geopolitik -- berbarengan dengan hari kebangkitan nasional 20 Mei 2022, Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto memberikan orasi ilmiah dengan judul "Geo V", dalam evolusi historis, akademis serta pertarungan isu-isu strategis pada setiap tahapan. 

Bottom line geopolitik adalah pertarungan hegemoni untuk penguasaan sumber daya global dengan berbagai strategi tertentu. Pandangan geopolitik tersebut diikhtisarkan sebagai berikut.

Geopolitik tahap pertama ditandai dengan kebangkitan paham nasionalisme negara-bangsa di Eropa. Tokoh-tokoh pemikir pada era ini antara lain adalah Ratzel (1897) dan Kjellen (1917) yang menganalogikan negara sebagai organisme yang memerlukan perluasan ruang hidup (lebensraum). 

Paham ini berkembang pada zaman perang Napoleon hingga perang dunia pertama. Beberapa aliran yang ada adalah konsepsi heartland -- rimland. Hal tersebut diimplementasikan dengan penguasaan jantung darat (Mackinder, 1904), penguasaan laut (Mahan, 1890).

Geopolitik tahap dua ditandai dengan pergesekan kepentingan antara industri maju untuk memasarkan produknya. Negara yang semakin kuat dan besar, memerlukan ruang dan wilayah pengaruh yang lebih luas. 

Jerman di bawah pemikiran Haushoffer (1941) mengimplementasikan dengan perluasan hegemoni di jantung Eropa hingga ke Afrika Utara. Spkyman (1944) mengarahkan penguasaan geografis dengan konsep penguasaan maritim. 

Penguasaan maritim memungkinkan penetrasi hingga ke rimland. Adapun konsep penguasaan dirgantara dikembangkan oleh De Seversky (2014). Kendali atas ruang udara dipercaya merupakan kekuatan mobilitas yang meningkatkan keunggulan militer suatu negara.

Geopolitik tahap tiga -- yang didukung oleh Henry Kissinger (1994) -- dipusatkan pada politik pembendungan (containment policy) terhadap Uni Soviet dan Negara-negara sekutu Timurnya, terhadap Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, yang ditandai dengan perang dingin. 

Slater (2004), Taylor (1979) dan Nyerere (1983) dengan pendekatan pragmatis universalistik menawarkan pandangan berbeda. Menurut mereka, yang terjadi adalah imperialisme gaya baru, di mana negara-negara industri maju (utara) mendominasi dan mendiktekan gerak ekonomi dan politik negara-negara berkembang (selatan).

Geopolitik tahap empat merupakan pertarungan sumber daya. Negara pemilik sumber daya alam yang tidak disertai dengan kapasitas untuk mengelola rantai pasok dan rantai produksi akan dapat terjerumus kepada kerawanan sistemik (Le Billon, 2005). 

Sumber daya minyak, gas, batubara maupun mineral strategis merupakan fokusnya. Klare (2002) mengatakan bahwa gelar militer tidak lagi berdasarkan pertarungan ideologi, tetapi telah bertransformasi ke proyeksi pengamanan rantai pasok, produksi hingga pemasaran.

Geopolitik tahap lima menganalisis keterkaitan antara sumber daya, rantai pasok, dan infrastruktur. Konflik teritorial bergeser menjadi konflik konektivitas (connectography, Khanna, 2016). 

Wujudnya saat ini dapat dilihat dalam persaingan antara poros RRC dengan poros Amerika Serikat di palagan Pacific. RRC dengan Belt and Road Initiative (BRI) mencoba memainkan peran global dengan strategi konektivitas infratruktur di Asia Pacific hingga Afrika di jalur laut, serta melalui Asia Tengah menuju Eropa di track darat. 

Kerja sama investasi, logistik, pembiayaan yang terinterkoneksi dengan kebijakan di semua negara mitra dan organisasi internasional dapat dipandang sebagai penguatan atau pengikatan pengaruh geopolitik.

Kebijakan RRC ini mendapat tantangan dari Amerika Serikat, dengan jargon Free and Open Indo Pacific (FOIP). Amerika Serikat dengan sekutu utama Australia, Jepang dan India mencoba menghempang laju pengaruh RRC. 

Keempat negara tersebut yang lazim disebut QUAD, juga menjalin mitra strategis dengan Korea Selatan, Taiwan dan Negara lain di kawasan. 

Kunjungan kenegaraan pertama Presiden Joe Biden ke Korea Selatan dan Jepang merupakan penguatan sinyal persekutuan sekaligus perlawanan tersebut. 

Perdana Menteri terpilih Australia yang baru dari Partai Buruh, menggunakan lawatan pertamanya ke Tokyo untuk bertemu secara bersama maupun satu demi satu dengan masing-masing pemimpin QUAD. 

Indonesia juga memandang penting konektivitas jalur perairan laut sebagai sumber posisi tawar. Presiden Joko Widodo dalam periode pertama pemerintahannya memperkenalkan dan mempromosikan kebijakan Poros Maritim Dunia. 

Pembangunan infrastruktur, tol laut, pelabuhan, dukungan komunikasi optik (tol angkasa) merupakan sebagian dari implementasinya

VUCA dan BANI 

VUCA yang merupakan singkatan dari Volatily (kebergejolakan), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas) dan Ambiguity (kemenduaan) pada awalnya adalah teori kepemimpinan yang diutarakan oleh Bennis dan Nanus (1985). 

VUCA diadopsi oleh sekolah sekolah militer di Amerika Serikat dan belahan dunia lainnya dalam memprediksi perilaku aktor -- aktor politik dan militer dalam membentuk, merespon, mengantisipasi, mengintervensi, mengorkestrasi atau malah membiarkan situasi tertentu di wilayah atau situasi tertentu.  Singkatnya VUCA adalah seni untuk memprediksi dan merespon sebuah ketidakpastian.

BANI adalah singkatan dari Brittle (rapuh), Anxious (mencemaskan), Non Linear (tidak berpola) dan Incomprehensible (tidak bisa di mengerti) diperkenalkan oleh Cascio (2016). 

Konsep BANI muncul karena dianggap hal-hal yang sebelumnya ada pada VUCA tidak cukup untuk menjelaskan perubahan yang terjadi, tidak berpola dan terkadang ilusif. 

Ancaman terorisme, perubahan iklim maupun pandemi covid adalah contoh di mana daya prediktibilitas menjadi ilutif dan deseptif. Sesungguhnya, dalam hal ini VUCA dan BANI pun tidak memberikan landasan penjelasan yang cukup.

Masihkan relevan geopolitik klasik kontemporer

Peperangan di suatu negara tidak lagi ketat mengikuti aliansi maupun persekutuan politik. Terjadinya wabah pandemi juga merupakan batu uji preferensi persekutuan geopolitik yang tidak lagi diikuti secara rigid. 

Beberapa fenomena dan peristiwa berikut, dalam konteks hubungan kebijakan dan interaksi antar bangsa, menunjukkan pengertian geopolitik klasik menjadi kurang atau tidak relevan.

Perang sipil di Suriah misalnya. Perang sipil yang meletus sejak bulan Maret 2011 dengan berbagai intensitas dan dinamikanya tersebut, tidak mudah menarik benang merah pihak-pihak yang bersekutu maupun berseberangan. 

Pada kubu Pemerintah Presiden Bashar al-Assad ada Hezbollah, Iran, Rusia dan Irak. Pada kubu Perdana Menteri Syrian National Coalition mendapatkan dukungan Turki dan pendanaan dari Amerika Serikat. 

Sedangkan pada kubu Islamic State yang dikomandani Abu Al-Hasan al-Hashimi al-Quraishi, terdapat sejumlah organisasi yang menentang Pemerintahan al-Assad. 

Tetapi tidak diketahui dengan jelas apakah kelompok ini berada atau mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat. Pada kelompok pejuang administrasi otonom Timur dan Utara Siria, intinya adalah para pejuang etnis Kurdi, Arab dan Assyrian.

Negara-negara yang mendukung Pemerintah al-Assad seperti Iran atau Irak maupun yang mendukung Syrian National Coalition seperti Turki, perlu berhitung. 

Kebangkitan perjuangan administrasi otonom, dapat menjadi pemicu atau trigger bagi pemberontakan di negara-negara mereka, di mana oposisi kaum Kurdi memiliki aspirasi kemerdekaan, separatisme atau otonomi yang sangat luas. 

Bangsa Kurdi memiliki identitas budaya, bahasa serta warisan kebanggaan historis di masa lalu, termasuk memiliki dinasti dinasti yang berjaya. Salahuddin Ayyubi (Sultan Saladin) yang berhasil menaklukkan Yerusalem pada perang salib abad kedua belas misalnya, adalah orang Kurdi. 

Wilayah Kurdistan termasuk orang-orangnya saat ini terbagi di titik simpul perbatasan Turki, Suriah, Iran dan Irak. Penduduknya sekitar 23 juta jiwa, pada wilayah seluas 360 ribu kilometer persegi, atau sekitar dua kali lipat dari luas Suriah.  Di negara-negara yang disebut di atas orang Kurdi umumnya adalah suku bangsa kedua terbesar.

Dalam peperangan Rusia di Ukraina, Swedia dan Finlandia yang sebelumnya negara netral mengajukan diri untuk bergabung ke NATO. 

Atas rencana bergabungnya kedua negara Skandinavia tersebut, Turki menyampaikan protes keras, karena kedua negara ini dianggap memberikan perlindungan dan fasilitasi kepada para kaum pejuang separatis Kurdi. 

Jerman, Perancis, Polandia maupun Hongaria juga tidak sepenuh hati mendukung usulan sanksi ekonomi yang lebih keras oleh Inggris dan Amerika Serikat kepada Rusia, karena terkait dengan ketergantungan energi yang tinggi. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa geopolitik berkelindan dengan kepentingan geoekonomi.

Terjadinya pandemi COVID 19 yang melanda dunia selama lebih dari dua tahun, membawa disrupsi di hampir segala bidang terutama yang terkait dengan komoditas pangan, alat-alat kesehatan maupun energi dasar. 

Pandemi tersebut menembus dan melewati batas-batasan geografis, ideologis maupun aliansi militer politik. Pada awal pandemi misalnya, RRC lebih banyak aktif membantu negara-negara Eropa Barat dibandingkan dengan Amerika Serikat.

Dengan melihat hal-hal yang dikemukakan di atas, maka pada dasarnya pilihan kebijakan politik suatu Negara tidak lagi terikat ketat kepada letak geografis suatu Negara. 

Kembali kepada pokok tulisan ini, apakah konsep geopolitik klasik -- kontemporer yang mengaitkan pilihan politik luar negeri suatu negara dalam relasinya dengan posisi geografis negara lainnya,  di zaman yang serba dinamis, disruptif dan deseptif ini masih relevan.

Jakarta,  Mei 2022

Oleh Sampe L. Purba
Penulis, Alumni Universitas Pertahanan RI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun