Takut ia akan keramaian.
Malu ia akan kesunyian.
Bukan karena kesendirian tetapi sebab kenikmatan.
Keriaan kini bak api yang memakan hutan belantara kering.
Pijarnya merambat menembus alas hingga tak tersisa.
Jangankan aku atau kamu, protozoa pun tak mampu bertahan di sana.
Huru hara yang dulu santer ia lakukan, kini habis terbakar oleh pijarnya.
Si anak adam kini hanya berdiam di singgasananya sembari meratapi kesunyian yang nisbi itu.
Tak ada lagi tempat guna berpesta pora.
Keramaian adalah kehancuran tubuhnya.
Sementara kesunyian bak malapetaka bagi jiwanya.
Mungkin semesta enggan menerimanya disini, tapi ia segan untuk mengusirnya.
Seperti dahaga disuguhi setetes air, akhirnya meminta lagi.
Kenikmatan semesta didayagunakan semena-mena, hingga akhirnya ia berang jua.
Entah sampai kapan ikab semesta ini dicabut.
Tak seorang pun bisa menjawab dengan akurat.
Yang ada hanya hitungan kemungkinan, dari sejuta ketidakmungkinan itu.
Dari kejauhan secara samar-samar aku melihat semesta tersenyum.
Buah noda yang diberikan anak adam itu, semakin pudar dari tubuhnya.
Si anak adam kini ditolak semesta, seolah tiada tempat baginya hidup.
Teriakan berdamai dengan semesta kini mereka lakukan.
Bahkan pemimpinnya sendiri yang memulainya.
Walau mereka teriak, mungkin semesta enggan bersahabat lagi.
Kasih agapenya telah berganti ratap dan kertakan gigi
Entah sampai kapan ia mereda. Hanya sang waktu yang mampu menjawab.
Atau coba saja tanyakan pada rumput yang bergoyang!