Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lawan Sepadan Putin

24 Februari 2022   21:35 Diperbarui: 24 Februari 2022   21:36 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Rusia Vladimir Putin. -Sumber: http://en.kremlin.ru/

Ketika menyerang Polandia pada 1 September 1939, Adolf Hitler pasti sadar tidak sekadar berhadapan dengan satu negara saja. Serangan kilat ke Polandia menandai awal dari Perang Dunia II  dan konflik domino Jerman dengan negara kuat lainnya.

Instruksi serbuan ke Polandia tersebut terjadi ketika Hitler sudah berkuasa di Jerman selama 6 tahun. Di kalangan Blok Sekutu juga ada pemimpin sepantaran atau lebih senior. Amerika Serikat dinakhodai oleh Franklin Delano Roosevelt (sejak 1933), sedangkan Rusia dikendalikan oleh Josef Stalin (sejak 1924).

Setelah perang pecah, kekuasaan politik Inggris dipegang politisi gaek Winston Churchill, sementara pemerintahan Prancis di pembuangan jatuh ke tangan Jenderal Charles de Gaulle. Kendati baru berkuasa di masa perang, Churchill dan de Gaulle membuktikan diri sebagai sebagai pemimpin tangguh.

Di awal perang, langkah ofensif Jerman tidak terbendung. Kecuali Rusia dan Inggris di Eropa, semua tanah musuh praktis sudah dikuasai oleh pasukan Hitler. Angkatan Bersenjata Jerman menghasilkan jenderal-jenderal tempur legendaris seperti Heinz Guderian dan Erwin Rommel.

Semua berbalik semenjak AS memimpin serbuan Sekutu ke Eropa per 6 Juni 1944. Kurang dari satu tahun, pasukan Sekutu berhasil menduduki Berlin yang memicu pembunuhan diri Hitler pada 30 April 1945 dan dipungkasi dengan penyerahan tanpa syarat Jerman pada 7 Mei 1945.

Setelah berulangkali porak-poranda, pemimpin Eropa bertekad agar Perang Dunia II menjadi yang terakhir. Sudah menjadi tradisi bahwa sesama negara Eropa---terutama Jerman, Inggris, dan Prancis---saling berperang satu sama lain. Seusai Perang Dunia II, negara-negara tadi mengadopsi sistem demokrasi dan berhimpun dalam satu pakta pertahanan bernama NATO.

Memang, di belahan timur ada Uni Soviet yang berpisah jalan dengan bekas sekutunya seusai perang. Namun, Uni Soviet lebih menanamkan pengaruhnya lewat ideologi, bukan perang terbuka. Alhasil, Eropa praktis aman dari perang blok-blokan besar yang selalu mewarnai sejarah mereka selama ribuan tahun.

Setelah Uni Soviet bubar, optimisme akan Eropa yang damai semakin hidup. Terlebih lagi, negara yang sebelumnya di bawah pengaruh komunisme mengadopsi sistem demokrasi dan bergabung ke NATO. Orientasi mereka pun diarahkan ke urusan ekonomi via Uni Eropa.

Dengan berbagai indikator tadi, bukan berarti Eropa lepas dari potensi perang besar. Sosok yang selalu dianggap mungkin memicunya adalah Presiden Rusia Vladimir Putin. Setiap aksi Putin di belahan timur dianggap dapat membalikkan Eropa seperti era Hitler.

Itu mengapa ketika militer Rusia akhirnya mengebom tanah Ukraina pada Kamis pagi hari ini, 24 Februari 2022, banyak pihak langsung menyamakan Putin dengan Hitler. Serbuan Rusia dianalogikan dengan serangan kilat pasukan Jerman ke Polandia.

Seolah sadar bakal disamakan dengan Hitler, Putin justru melempar bumerang. Sebagaimana dimuat dalam situs Kremlin, Putin malah menjustifikasi serbuan ke Ukraina sebagai upaya de-Nazifikasi. Baginya, penguasa di Ukraina sekarang adalah kelompok nasionalis sayap kanan serupa Nazi Jerman. Dalam pernyataan resmi tersebut, Putin juga membandingkan perjuangan Uni Soviet dulu ketika menghadapi Nazi.

Dengan kata lain, dua belah pihak dalam perang Rusia vs Ukraina justru menunjuk Hitler sebagai personifikasi lawan. Pertanyaannya, siapakah nanti yang bakal nasibnya seperti Hitler atau Nazi?

Apa pun justifikasi perang itu, Putin sudah mengukur siapa lawannya andai perang meluas. Saya menangkap kesan bahwa bekas agen KGB tersebut merasa tidak ada pemimpin lawan yang sekaliber dirinya.

Di Eropa daratan, negara kuatnya dinakhodai oleh pemimpin-pemimpin anyar. Prancis dipimpin oleh Emmanuel Macron (sejak 2017), Inggris oleh Boris Johnson (sejak 2019), Jerman malah paling gres dengan Olaf Scholz (sejak 2021). Di seberang Atlantik, Amerika Serikat pun baru satu tahun ini dipegang oleh Joe Biden.

Tidak ada pemimpin sekuat Angela Merkel yang boleh dibilang lawan sepadan Putin di Eropa selama 1,5 dekade. Terlebih lagi, pemimpin negeri yang diserang, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, baru menjabat sejak 2019 dan berlatar belakang pelawak.

Mungkin Putin berpikir bahwa lawan riil atau potensialnya adalah para 'anak kemarin sore'. Bukan tipikal pemimpin kuat, tidak pernah pula 'berlumuran darah'.

Logika sederhana saja, di masa sulit pandemi Covid-19 ini, apa mungkin pemimpin negara musuh melancarkan perang? Lagi pula, negara mereka mengadopsi sistem demokrasi. Tidak semudah itu presiden atau perdana menteri mendeklarasikan perang tanpa restu parlemen. Jika sampai berani, siap-siap saja diadili rakyat dalam pemilu atau pemilu sela.

Sebaliknya, resiko seperti itu sudah pasti kecil dialami oleh Putin. Selama berkuasa dua dekade, pengaruhnya di pemerintahan sudah tertancap dalam. Berbagai upaya untuk mendongkelnya pun tidak berhasil. Di tangannya, Negeri Beruang Merah semakin kuat dalam militer dan kian makmur secara ekonomi.

Berangkat dari asumsi itu, Putin tampaknya yakin kemenangan berada di pihaknya---entah bagaimana pun caranya. Jika strateginya itu nanti berhasil, musuh sepadan Putin barangkali memang adalah dirinya sendiri.

Meski demikian, Putin pun harus belajar dari sejarah. Sekuat-kuatnya pemimpin bisa jatuh juga. Perang adalah salah satu sarananya. Lihatlah bagaimana penguasa Kekaisaran Rusia lenyap karena terperosok dalam Perang Dunia I.

Yang lebih dirugikan akibat perang adalah manusia tidak berdosa. Mereka yang tidak mengerti mengapa harus ada perang sungguhan ketika perang melawan virus belum juga berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun