Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lawan Sepadan Putin

24 Februari 2022   21:35 Diperbarui: 24 Februari 2022   21:36 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Rusia Vladimir Putin. -Sumber: http://en.kremlin.ru/

Dengan kata lain, dua belah pihak dalam perang Rusia vs Ukraina justru menunjuk Hitler sebagai personifikasi lawan. Pertanyaannya, siapakah nanti yang bakal nasibnya seperti Hitler atau Nazi?

Apa pun justifikasi perang itu, Putin sudah mengukur siapa lawannya andai perang meluas. Saya menangkap kesan bahwa bekas agen KGB tersebut merasa tidak ada pemimpin lawan yang sekaliber dirinya.

Di Eropa daratan, negara kuatnya dinakhodai oleh pemimpin-pemimpin anyar. Prancis dipimpin oleh Emmanuel Macron (sejak 2017), Inggris oleh Boris Johnson (sejak 2019), Jerman malah paling gres dengan Olaf Scholz (sejak 2021). Di seberang Atlantik, Amerika Serikat pun baru satu tahun ini dipegang oleh Joe Biden.

Tidak ada pemimpin sekuat Angela Merkel yang boleh dibilang lawan sepadan Putin di Eropa selama 1,5 dekade. Terlebih lagi, pemimpin negeri yang diserang, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, baru menjabat sejak 2019 dan berlatar belakang pelawak.

Mungkin Putin berpikir bahwa lawan riil atau potensialnya adalah para 'anak kemarin sore'. Bukan tipikal pemimpin kuat, tidak pernah pula 'berlumuran darah'.

Logika sederhana saja, di masa sulit pandemi Covid-19 ini, apa mungkin pemimpin negara musuh melancarkan perang? Lagi pula, negara mereka mengadopsi sistem demokrasi. Tidak semudah itu presiden atau perdana menteri mendeklarasikan perang tanpa restu parlemen. Jika sampai berani, siap-siap saja diadili rakyat dalam pemilu atau pemilu sela.

Sebaliknya, resiko seperti itu sudah pasti kecil dialami oleh Putin. Selama berkuasa dua dekade, pengaruhnya di pemerintahan sudah tertancap dalam. Berbagai upaya untuk mendongkelnya pun tidak berhasil. Di tangannya, Negeri Beruang Merah semakin kuat dalam militer dan kian makmur secara ekonomi.

Berangkat dari asumsi itu, Putin tampaknya yakin kemenangan berada di pihaknya---entah bagaimana pun caranya. Jika strateginya itu nanti berhasil, musuh sepadan Putin barangkali memang adalah dirinya sendiri.

Meski demikian, Putin pun harus belajar dari sejarah. Sekuat-kuatnya pemimpin bisa jatuh juga. Perang adalah salah satu sarananya. Lihatlah bagaimana penguasa Kekaisaran Rusia lenyap karena terperosok dalam Perang Dunia I.

Yang lebih dirugikan akibat perang adalah manusia tidak berdosa. Mereka yang tidak mengerti mengapa harus ada perang sungguhan ketika perang melawan virus belum juga berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun