Sementara Gatot akan lebih suka dengan orang yang sama dengan dirinya, Kostrad. Kecuali Danjen Kopassus, posisi Panglima Kodam bakal didominasi oleh perwira baret hijau.
Sembari menunggu pensiun, Gatot bakal menyiapkan penggantinya yakni posisi-posisi jenderal bintang tiga seperti pangkostrad, pangkodiklat, dan wakasad. Jokowi mungkin bisa intervensi untuk jabatan di Mabes TNI seperti kepala staf umum, maupun posisi di Kementerian Pertahanan.
Ketika Gatot pensiun pada Maret 2018 mendatang, saat itulah presiden bebas memilih pengganti yang disukainya. Namun, menjelang Pilpres 2019 tersebut, tentu agak riskan memilih orang yang kurang dapat diterima kalangan perwira lain.
Persoalan diterima tidaknya adalah hal yang penting. Jangan sampai kasus Agus Wirahadikusumah pada zaman Gus Dur terulang. Sekali lagi, Jokowi adalah representasi sipil bukan seperti SBY yang secara psikologis dihormati oleh bawahannya. Jika SBY yang paham sekali soal TNI saja sangat hati-hati, sudah tentu Jokowi harus lebih ekstra hati-hati.
Mungkin sampai di sini timbul pertanyaan: Bukankah dwifungsi sudah dihapuskan sehingga TNI 100% menjalankan fungsi pertahanan? Mengapa masih harus sepelik ini? Lain cerita jika terjadi di zaman Orde Baru yang menempatkan TNI sebagai institusi dominan.
Jawabannya ada pada suara-suara yang mengatakan TNI harus netral dalam pileg dan pilpres. Panglima dan KSAD juga berulang-ulang ditanya tentang netralitas. Presiden bahkan marah ketika mendapati ada beberapa jenderal yang mencoba bermain dalam politik.
Kita tidak perlu tahu kepentingan spesifik apa yang membuat TNI penting dalam percaturan politik.
Namun, pesan dari Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono tepat di hari pengumuman presiden adalah yang paling menarik dari semua peristiwa di hari bersejarah, 22 Juli 2014.