Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gatot Melilit Jokowi

23 Juli 2014   09:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:30 5799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak ada yang menarik dalam penetapan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014 oleh KPU hari ini. Jikapun ada yang sedikit luar biasa, itu adalah "penarikan diri" pasangan Prabowo-Hatta dari Pilpres 2014.

Justru yang paling menarik bagi saya hari ini adalah sinyal yang dikirim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada calon penggantinya. Sebuah pesan yang membuat pesta kemenangan Jokowi-JK hanya bisa dinikmati sesaat. Setidaknya, bagi segelintir orang yang berada di belakangnya.

Pesan itu adalah Letnan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

Sangat jelas, pencopotan Budiman sebagai Kepala Staf TNI AD mengandung unsur politis. Meski Istana membantah, namun semua orang bisa merasakan. Ada anggapan bahwa muatan politis itu karena Budiman berpihak kepada Jokowi-JK.

Tampaknya unsur politis ini agak lemah. September nanti Budiman akan tetap diganti, masih dengan tandatangan SBY. Lagipula, jika benar Budiman diganti karena membela Jokowi, peluangnya mendapat jabatan pada pemerintahan mendatang besar, karena dia dianggap mengorbankan jabatan.

Menurut saya, pergantian Budiman merupakan "proyek" jangka panjang SBY dalam pemerintahan penggantinya.

Gatot saat ini menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Latar belakangnya adalah prajurit baret hijau tulen, seperti SBY.

Selama masa pemerintahan SBY, saya perhatikan hampir semua jenderal bintang empat (KSAD maupun Panglima TNI) berlatar belakang Kostrad. Hanya Pramono Edhi Wibowo, sang ipar, yang berlatar belakang Kopassus. Sementara jenderal lainnya seperti Djoko Santoso, Agustadi Sasongko, George Toisutta, Moeldoko, berlatar belakang Kostrad. Sedangkan Budiman merupakan perwira Zeni.

Perjalanan karir Gatot hingga menduduki posisi KSAD tampak dipersiapkan betul oleh SBY. Jadi saya tidak percaya sama sekali dengan pernyataan bahwa Panglima TNI Moeldoko-lah yang mengusulkan pergantian KSAD.

Bahkan ketika Gatot "keselip lidah" dengan mempertanyakan demokrasi-sesuatu yang diagung-agungkan SBY-tidak ada teguran berarti dari Presiden kepada juniornya itu. Bisa dikatakan, Gatot merupakan salah satu anak emas SBY.

Dalam sistem komando, hubungan istimewa ini diterjemahkan sebagai loyalitas. SBY bukan sekedar panglima tertinggi yang harus dipatuhi, tapi kesetiaan itu juga dipertahankan ketika sudah menjadi presiden emeritus, mantan presiden.

Kesetiaan inilah yang akan menjadi duri dalam daging pada pemerintahan Jokowi ke depan. Sebagai KSAD, Gatot akan mengontrol posisi-posisi strategis dengan perwira-perwira pilihan SBY. Ditambah Moeldoko masih akan bertugas hingga Agustus tahun depan.

Duet Moeldoko-Gatot akan melilit Jokowi. Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi yang menentukan posisi-posisi strategis tidak bisa diintervensi oleh presiden. Jokowi tentu saja sungkan menekan panglimanya. Meski panglima tertinggi, Jokowi adalah orang sipil yang dalam psikologis tertentu takut dengan militer. Dia bukan SBY yang seorang jenderal.

Yang bisa diperbuat Jokowi hanyalah mempertahankan stabilitas tanpa mau intervensi terlalu jauh, sembari menunggu Moeldoko menjadi purnawirawan. Pada saat itulah Jokowi berkesempatan memilih panglima TNI.

Saat ini Gatot berumur 54 tahun. Masih ada sisa empat tahun lagi untuk purnatugas. Itu artinya, pria asal Tegal ini akan mengambil bagian dalam 80% masa pemerintahan efektif presiden  2014-2019.

Dalam masa itu, apakah yang akan terjadi dengan Gatot? Ada dua skenario. Pertama, dia akan menjadi panglima TNI. Sebagaimana tertuang dalam UU tentang TNI, calon panglima harus berasal dari kepala staf angkatan.

Namun, mengingat Moeldoko berasal dari AD, peluang Gatot kecil. Demi meminimalkan gejolak di tubuh TNI, pilihan terbaik adalah me-rolling kursi panglima ke kesatuan AL atau AU.

Skenario kedua adalah dia akan menjadi KSAD selama empat tahun itu. Jokowi tidak akan berani mengganti KSAD di tengah jalan, jika tanpa kesalahan yang berarti. Dengan asumsi panglima TNI berasal dari AL dan AU, itu artinya Gatot akan semakin leluasa terhadap AD. Panglima  dari salah satu dari dua kesatuan itu, meski berposisi lebih tinggi, tentu enggan campur tangan terlalu jauh dalam urusan AD yang bermuatan politis.

Jadi, selama empat tahun, Gatot menjadi penguasa AD sepenuhnya. Dia leluasa memilih bawahannya sekehendak hati, lebih mendengar SBY ketimbang presidennya sendiri.

Orang-orang titipan Jokowi sulit masuk karena Gatot mengendalikan sepenuhnya. Mungkin bukan Jokowi, karena dia tidak tahu-menahu soal urusan militer. Yang berkepentingan adalah orang-orang di belakang pria Surakarta ini.

Kita tahu, tokoh-tokoh militer pendukung Jokowi berasal dari Kopassus. Hendropriyono, Luhut Panjaitan, Agum Gumelar, Sutiyoso, Subagyo HS adalah bekas perwira baret merah.

Bisa ditebak, jenderal-jenderal ini paling berkepentingan terhadap personalia TNI. Mereka tentu berupaya menitipkan bekas anak buah di jabatan-jabatan strategis. Sudah pasti, mayoritas anak buah itu berlatar belakang sama yakni Kopassus.

Sementara Gatot akan lebih suka dengan orang yang sama dengan dirinya, Kostrad. Kecuali Danjen Kopassus, posisi Panglima Kodam bakal didominasi oleh perwira baret hijau.

Sembari menunggu pensiun, Gatot bakal menyiapkan penggantinya yakni posisi-posisi jenderal bintang tiga seperti pangkostrad, pangkodiklat, dan wakasad. Jokowi mungkin bisa intervensi untuk jabatan di Mabes TNI seperti kepala staf umum, maupun posisi di Kementerian Pertahanan.

Ketika Gatot pensiun pada Maret 2018 mendatang, saat itulah presiden bebas memilih pengganti yang disukainya. Namun, menjelang Pilpres 2019 tersebut, tentu agak riskan memilih orang yang kurang dapat diterima kalangan perwira lain.

Persoalan diterima tidaknya adalah hal yang penting. Jangan sampai kasus Agus Wirahadikusumah pada zaman Gus Dur terulang. Sekali lagi, Jokowi adalah representasi sipil bukan seperti SBY yang secara psikologis dihormati oleh bawahannya. Jika SBY yang paham sekali soal TNI saja sangat hati-hati, sudah tentu Jokowi harus lebih ekstra hati-hati.

Mungkin sampai di sini timbul pertanyaan: Bukankah dwifungsi sudah dihapuskan sehingga TNI 100% menjalankan fungsi pertahanan? Mengapa masih harus sepelik ini? Lain cerita jika terjadi di zaman Orde Baru yang menempatkan TNI sebagai institusi dominan.

Jawabannya ada pada suara-suara yang mengatakan TNI harus netral dalam pileg dan pilpres. Panglima dan KSAD juga berulang-ulang ditanya tentang netralitas. Presiden bahkan marah ketika mendapati ada beberapa jenderal yang mencoba bermain dalam politik.

Kita tidak perlu tahu kepentingan spesifik apa yang membuat TNI penting dalam percaturan politik.

Namun, pesan dari Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono tepat di hari pengumuman presiden adalah yang paling menarik dari semua peristiwa di hari bersejarah, 22 Juli 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun