Pertanyaan "Di Manakah Allah?" bukan sekadar soal lokasi, tetapi inti dari keimanan terhadap tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah. Di zaman yang penuh relativisme teologis, sebagian kalangan menilai bahwa menanyakan "Di Manakah Allah?" adalah bentuk dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), atau dianggap tidak pantas karena Allah tidak berada di mana pun. Padahal, generasi terbaik umat ini, yakni para salafush shalih memahami dan menetapkan bahwa Allah berada di atas langit, di atas 'Arsy, tinggi dan beristiwa' di atasnya dengan cara yang layak bagi keagungan-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma' ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Para salaf, yakni para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in, memahami sebagaimana yang datang dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah bahwa Allah berada di atas langit, beristiwa' di atas 'Arsy, tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, namun ilmu dan kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. Inilah akidah yang murni, lurus, dan bebas dari tahrif (penyelewengan), ta'thil (peniadaan sifat), dan tasybih (penyerupaan), serta ta'wil-ta'wil yang menyeleweng.
Dalil dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an dengan tegas menyebutkan dalam banyak ayat bahwa Allah berada di atas 'Arsy. Allah 'Azza wajalla berfirman,
"(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah beristiwa' di atas 'Arsy." (QS. Thaha: 5)
Kata istawa dalam bahasa Arab, menurut para ahli bahasa dan tafsir salaf, bermakna 'ala wa irtafa'a' (berada di atas dan tinggi). Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Baghawi dalam Ma'alim at-Tanzil dan Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur'an al-'Azhim. Tidak ada satu pun sahabat atau tabi'in yang menafsirkan istawa sebagai menguasai (istawla) seperti penafsiran kalangan Jahmiyyah dan Mu'tazilah belakangan.
Selain itu, dalam ayat lain disebutkan,
"Apakah kalian merasa aman terhadap (Allah) yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?" (QS. Al-Mulk: 16)
Kata fis-samaa' dalam ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta'ala dalam Majmu' al-Fatawa, bukan berarti Allah berada di dalam langit, akan tetapi menunjukkan ketinggian dzat-Nya di atas makhluk, di atas langit tertinggi. Hal ini adalah bentuk penetapan sifat 'uluw (ketinggian) bagi Allah sebagai sifat yang diakui oleh seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Dalil dalam As-Sunnah