Situs arkeologi sebenarnya merupakan salah satu asset daerah. Terhadap situs dapat digali potensinya untuk kepentingan pembangunan secara luas sesuai dengan kekuatan dan jenis potensi yang dikandungnya. Namun masih banyak situs yang belum menarik minat Pemerintah Daerah setempat untuk mengelolanya, apalagi mengembangkan untuk pemanfaatan secara maksimal. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah belum dimilikinya SDM yang dapat mengelola secara tepat dan benar, ataupun terabaikan karena adanya sumberdaya lain yang dipandang lebih berpotensi dari segi lain, misal ekonomi.
Akibat diterapkannya otonomi daerah, banyak situs-situs arkeologi dengan kandungan yang menarik diarahkan pemanfaatannya untuk kepentingan ekonomi, yaitu sebagai salah satu sumber Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) dengan menjadikannya sebagai obyek wisata. Pengelolaan yang salah maupun pemaksaan pemanfaatan yang tidak sesuai dengan potensinya akan dapat merugikan kelestarian situs maupun pengelola itu sendiri yang telah menanamkan modalya. Situs arkeologi merupakan salah satu kawasan lindung yang harus dijaga kelestariannya. Oleh karena itu dalam pemanfaatan situs arkeologi harus benar-benar mengacu pada kelestarian situs tersebut. Selain itu, untuk menjadikannya sebagai obyek wisata harus didukung oleh penunjang lainnya seperti prasarana, sarana, maupun lokasinya.
Sangiran, merupakan salah satu situs arkeologi yang sangat terkenal di Indonesia maupun di dunia. Nilai yang terkandung pada situs yang berskala internasional ini tidak diragukan lagi. Mengingat akan nilainya ini, Pemerintah Pusat melakukan pengelolaan yang terkait dengan penelitian dan pelestarian situs melalui UPT nya yang ada di daerah. Dan sadar akan potensinya pula yang ada pada Situs Sangiran, Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen telah berupaya pula memanfaatkan asset tersebut untuk kepentingan pembangunan daerah, yaitu sebagai obyek wisata maupun pendidikan. Pemanfaatan dan pengembangan Situs Sangiran tidak luput dari permasalahan, khususnya yang menyangkut peraturan kelestarian situs. Berikut adalah gambaran potensi dan permasalahan dalam pemanfaatan dan pengembangan pada Situs Sangiran yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Sragen.
Persepsi Penduduk Sangiran terhadap Situs Sangiran sebelum Tahun 1930-1940
Pada akhir abad ke-19, nama Sangiran mulai dikenal di kalangan ilmuwan Eropa setelah Raden Saleh, seorang pelukis sekaligus pemerhati budaya dari Keraton Surakarta, menceritakan tentang banyaknya fosil yang ditemukan di daerah tersebut. Bahkan, ia sendiri pernah melakukan penggalian di Kedungbrubus, Ngawi, Jawa Timur. Meskipun demikian, masyarakat Sangiran pada masa itu belum mengenal istilah "fosil." Mereka menyebutnya sebagai balung buto atau "tulang raksasa" dan menghubungkannya dengan mitos yang berkembang di masyarakt. Mitos balung buto diyakini sebagai kisah nyata yang diwariskan turun-temurun dan berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat Sangiran. Mitos ini lahir dari pertanyaan mengenai asal-usul tulang-tulang besar yang tersebar di lingkungan mereka, yang sulit dijelaskan secara rasional. Dengan demikian, mitos ini menjadi acuan bagi masyarakat dalam memahami lingkungannya dan mengatur perilaku mereka.
Kepercayaan terhadap balung buto tidak hanya sebatas pada asal-usulnya, tetapi juga pada kekuatan magis yang dikaitkan dengan fosil tersebut. Penduduk Sangiran meyakini bahwa tulang-tulang ini memiliki khasiat penyembuhan untuk berbagai penyakit, seperti demam, sakit perut, sakit gigi, hingga gigitan hewan berbisa. Selain itu, balung buto juga digunakan sebagai jimat perlindungan dan kekebalan tubuh, yang diyakini berasal dari kekuatan para raksasa dalam mitologi mereka, khususnya raja raksasa Tegopati yang tak terkalahkan kecuali dengan bantuan dewa. Karena kepercayaan ini, masyarakat tidak sembarangan mengganggu atau mengambil fosil yang ditemukan di lingkungan mereka. Fosil-fosil tersebut dibiarkan berserakan di tepi sungai dan lereng bukit hingga akhirnya tertimbun kembali oleh tanah akibat erosi. Namun, jika ada keperluan mendesak seperti pengobatan, mereka akan mencari balung buto yang dianggap keramat tersebut.
Dengan demikian, sistem kepercayaan ini menjadi cara masyarakat Sangiran sebelum tahun 1930 dalam menyesuaikan diri dengan keberadaan fosil di sekitar mereka. Kepercayaan terhadap kekuatan balung buto sebagai obat dan jimat berfungsi sebagai landasan dalam kehidupan mereka, menciptakan hubungan erat antara manusia, lingkungan, dan mitos yang diwariskan turun-temurun. Pada rentang waktu 1930--1940, dalam upaya mengumpulkan sebanyak mungkin temuan fosil, para peneliti asing, terutama Von Koenigswald, secara berkala menetap di rumah Toto Marsono, Kepala Desa Krikilan di Sangiran saat itu. Selama hampir satu dekade tinggal di desa tersebut, paleontolog asal Jerman ini berinteraksi erat dengan masyarakat setempat dalam proses pencarian dan pengumpulan fosil. Secara tidak langsung, kegiatan eksplorasi ilmiah ini membentuk kebiasaan baru di kalangan penduduk, yakni berburu fosil. Hingga kini, bagi penduduk Sangiran yang telah berusia lebih dari 70 tahun, nama Von Koenigswald masih dikenal karena sikapnya yang ramah dan murah hati.
Kehadiran para peneliti asing membawa perubahan dalam cara masyarakat Sangiran memandang fosil sebagai bagian dari warisan budaya. Pada awalnya, fosil dikenal sebagai balung buto dan dianggap memiliki nilai religius-magis. Namun, setelah berinteraksi dengan para peneliti, masyarakat mulai menyadari bahwa fosil juga memiliki nilai ekonomi. Akibatnya, mereka semakin giat mencari fosil demi mendapatkan upah. Dalam proses ini, mereka pun belajar mengenali jenis fosil yang bernilai tinggi serta memahami teknik pencarian, perlindungan, dan identifikasinya.
Dengan kondisi geografis Sangiran yang berbukit dan gersang, eksplorasi fosil tidak dapat dilakukan hanya oleh para peneliti. Oleh karena itu, Von Koenigswald melibatkan penduduk setempat dalam pencarian fosil, terutama setelah hujan turun, ketika tanah yang mudah tererosi mengungkap fosil di permukaan. Ia menerapkan sistem upah, di mana besarnya bayaran bergantung pada jenis dan kelangkaan fosil yang ditemukan. Menurut Toto Marsono, setiap warga yang aktif mencari fosil mendapat upah dua ketip per hari, sementara fosil yang dianggap penting dihargai hingga lima atau sepuluh ketip.
Periode 1930--1940 menjadi fase penting dalam perubahan sikap masyarakat Sangiran terhadap fosil. Kehadiran Von Koenigswald dan para peneliti asing menggeser pandangan masyarakat dari yang awalnya bersifat religius-magis menjadi berorientasi ekonomi. Generasi yang tumbuh dalam periode ini mulai mengasosiasikan fosil dengan nilai tukar uang. Dengan demikian, Von Koenigswald dan tim ilmuwannya dapat dikatakan berperan dalam meletakkan dasar perubahan persepsi dan perilaku masyarakat terhadap warisan budaya di Sangiran.
Persepsi penduduk: pencari fosil pada masa sekarang
Persepsi masyarakat terhadap pencari fosil di sekitar Museum Sangiran, Sragen, telah mengalami perubahan signifikan dari waktu ke waktu. Pada masa lalu, fosil sering dianggap sebagai "Balung Buto" atau tulang raksasa yang memiliki nilai magis. Namun, sejak kedatangan peneliti asing seperti von Koenigswald pada tahun 1930-an, pandangan ini mulai berubah. Koenigswald melibatkan masyarakat dalam penelitiannya dengan memberikan pengetahuan tentang fosil dan menawarkan imbalan bagi temuan mereka. Hal ini mengubah persepsi masyarakat, yang mulai melihat fosil sebagai objek bernilai ekonomi dan ilmiah.
Pada masa kini, masyarakat di sekitar Sangiran menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya fosil dan situs arkeologi. Mereka tidak hanya mengenali nilai ilmiah fosil, tetapi juga terlibat aktif dalam pelestariannya. Misalnya, masyarakat yang menemukan fosil sering melaporkannya langsung ke Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran atau melalui perangkat desa setempat. Temuan masyarakat ini kemudian menjadi bagian dari koleksi BPSMP Sangiran, menunjukkan keterlibatan aktif mereka dalam pelestarian situs.
Namun, tantangan tetap ada. Beberapa aktivitas eksploitasi fosil dilakukan dengan modus operandi baru, seperti membeli atau menyewa bukit dengan alasan penggalian tanah dan pasir, padahal tujuan utamanya adalah mencari fosil. Aktivitas semacam ini melibatkan penduduk setempat sebagai tenaga kerja, menciptakan lapangan pekerjaan alternatif bagi mereka. Meskipun memberikan keuntungan ekonomi, praktik ini dapat merusak situs arkeologi yang penting bagi studi evolusi manusia.
Selain itu, aktivitas pertambangan galian C yang diduga ilegal di sekitar Museum Sangiran telah menimbulkan keluhan dari warga. Operasi truk pengangkut tanah tanpa penutup terpal menyebabkan polusi debu dan kemacetan, mengganggu aktivitas harian masyarakat, termasuk anak-anak sekolah Lokasi tambang ini berada di wilayah cagar budaya warisan dunia Situs Manusia Purba Sangiran, yang seharusnya dilindungi.
Dampak Perubahan Nilai Warisan Budaya di Situs Sangiran
Perubahan nilai budaya dalam masyarakat mempengaruhi cara pandang dan perilaku, termasuk dalam memaknai warisan budaya. Di Situs Sangiran, perubahan ini membawa dampak fungsional (positif) dan disfungsional (negatif). Dampak positifnya terlihat dari munculnya industri rumah tangga berbasis batuan dan fosil, yang meningkatkan perekonomian penduduk. Banyak warga yang beralih profesi dari buruh tani menjadi perajin atau pedagang suvenir, termasuk para wanita yang kini lebih mandiri secara finansial. Industri ini juga membuka lapangan kerja baru, mengurangi isolasi desa, serta meningkatkan interaksi dengan wisatawan.Â
Namun, dampak negatifnya mencakup eksploitasi fosil secara ilegal, munculnya sindikat perdagangan fosil, serta meningkatnya praktik pemalsuan fosil yang menyulitkan pihak berwenang. Selain itu, perubahan sosial menyebabkan pergeseran gaya hidup, peningkatan fasilitas umum, dan perubahan peran wanita dalam rumah tangga. Banyak wanita yang lebih fokus pada pekerjaan, sehingga tugas domestik beralih ke mertua atau orang tua mereka.Â
Berkunjung ke Museum Manusia Purba Sangiran menjadi sebuah perjalanan penuh makna, mengingat museum ini menyimpan warisan prasejarah yang tak ternilai dari situs arkeologi Sangiran, salah satu situs terpenting untuk penemuan fosil manusia purba. Artefak yang ditemukan dan dipamerkan di museum ini bukan hanya menjadi yang tertua di Indonesia, tetapi juga menjadi saksi bisu evolusi manusia dan kehidupan di zaman prasejarah. Sebuah situs warisan dunia UNESCO di Sragen, Jawa Tengah, tempat pengunjung dapat menyaksikan langsung Homo erectus Sangiran 17 (S-17), sebuah fosil Homo erectus unik yang dikenal sebagai satu-satunya fosil di Asia yang masih memiliki "wajah" saat pertama kali ditemukan.
Pengalaman mengunjungi museum ini akan membuka diri kita pada penghormatan dan pemahaman tentang kekayaan sejarah yang telah diberikan oleh bumi kepada kita. Dari Klaster Krikilan sebagai titik awal, yang merangkum keseluruhan narasi museum dan memperkenalkan pengunjung kepada Homo erectus Sangiran, hingga ke Ngebung, Bukuran, Manyarejo, dan Dayu, setiap klaster menyajikan bagian dari puzzle besar evolusi manusia. Melalui artefak dan fosil yang tertua di Indonesia, pengunjung diajak untuk menyelami kisah-kisah tentang bagaimana nenek moyang kita beradaptasi, berkembang, dan berinteraksi dalam lingkungan mereka. Dengan demikian, ziarah ke Museum Manusia Purba Sangiran bukan hanya sebuah perjalanan edukatif, tetapi juga sebuah pengalaman spiritual yang menghubungkan kita dengan masa lalu, memberi penghargaan pada jejak langkah manusia purba yang telah membentuk peradaban kita saat ini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI