Sejarah keluarga sering muncul dari tempat yang tak disangka-sangka. Dari lembar arsip lama, catatan kolonial yang berdebu, sampai cerita turun-temurun di meja makan. Begitu juga dengan kisah ini.
Namanya Chen Guo Bin. Dalam logat Hokkian jadi Tan Kok-pin, di lidah Belanda berubah lagi jadi Tan Koe Pien. Ia lahir dari keluarga sarjana di Fujian, Tiongkok. Pada awal abad ke-18, negeri asalnya sedang gelisah. Kaisar Kangxi dari Dinasti Qing melarang rakyatnya meninggalkan tanah Tiongkok. Tapi justru larangan itu yang melahirkan eksodus besar-besaran. Orang-orang Fujian kabur diam-diam, menyeberang laut, mencari dunia baru di Asia Tenggara.
Chen Guo Bin ikut arus itu. Mula-mula ia singgah di Tidore, lalu tahun 1731 berpindah ke Ternate.
Ia bukan perantau sembarangan. Ia datang dengan bekal literasi dan pendidikan. Sarjana klasik. Paham tata bahasa. Bisa bahasa Melayu. Bisa juga beradaptasi dengan sistem Belanda. Semua itu membuatnya dilirik VOC. Ia diangkat jadi juru tulis di kantor keresidenan Hindia Belanda di Ternate.
Jabatan ini lebih dari sekadar tukang catat. Juru tulis saat itu adalah penghubung budaya. Ia menulis, menerjemahkan, bahkan menafsirkan maksud antara orang Belanda dan orang Nusantara. Dari meja tulis itu, Chen Guo Bin ikut menggerakkan roda administrasi kolonial.
Tak berhenti di situ. VOC kemudian memberinya peran politik: memimpin komunitas Bugis-Makassar di Ternate. Tahun 1731 ia dilantik sebagai Kapita Makassar pertama. Kampung Makassar sendiri waktu itu berdiri persis di sebelah utara Benteng Oranje, berbatasan langsung dengan kekuasaan Sultan Ternate.
Di situ, Chen Guo Bin mengatur kehidupan perantau Bugis, Makassar, Jawa, dan Melayu. Mengurus soal nikah, waris, sampai keamanan. Ia adalah kapiten, kepala kampung, sekaligus tokoh agama.
Dari sinilah sebuah garis keturunan lahir. Nama Chen kemudian berubah jadi Baay.
Kapiten Tan Koe Pien melahirkan generasi berikut: Kapitan Koe Pien Balanda - Kapitan Aboe Kasim - Letnan Aboe Bakar - Kapitan Bae bin Aboe Bakar - Letnan Hasan Baay - Hi. Oemar Baay - H. Saleh Baay.
Keturunan inilah yang kemudian mewarnai Ternate.
Ada dua nama menarik: Nya Eng dan Nya Kem, dua bersaudara dari keturunan Kapiten Pien. Mereka masuk Islam, hidup sederhana, dan tak menikah. Tahun 1959, keduanya menghibahkan tanah milik keluarga untuk jadi pemakaman Islam di Kelurahan Santiong, Ternate Tengah. Dari tangan mereka, tanah keluarga perantau Tionghoa berubah jadi lahan wakaf umat.